Oleh: Siorus Degei
Mantan Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono pada 9 November 2011 mengumumkan pentingnya dialog terbuka dengan rakyat Papua. Hal ini baik untuk mencari dan menyepakati solusi-solusi konflik Papua, serta pilihan terbaik dari berbagai masalah di Tanah Papua.
Namun hingga hari ini banyak masyarakat asli Papua yang terbujur mati di tanahnya sendiri. Kekerasan terus merajalela di tanah ini.
Inikah keadilan di ibu pertiwi? Bukankah masyarakat Papua juga warga negara Indonesia? Lalu kapankah mereka merasa suka cita di tanahnya sendiri? Inikah dialog damai ataukah dialog yang membawa duka cita?
Dialog dan Sokrates: Sebuah tesis
Sederhananya konsep dialog paling kurang persis seperti apa yang dilakukan oleh Sokrates di Pasar Agora dan seantero imperium Athena (Yunani) dua ribuan tahun silam. Filsuf tersohor Yunani kuno (470 SMโ399 SM) ini selalu mengadakan diskusi bersama para politisi, seniman, sastrawan, pedagang, dan rakyat biasa.
Diskusi Sokrates dilakukan untuk membahas fenomena sosial dan dicari pemahaman bersama, demi mencapai kebaikan bersama. Itulah kebenaran objektif dan rasional.
Bagi Sokrates, kebenaran itu bukan milik seseorang atau sekelompok orang, tetapi merupakan buah dari pencarian bersama dalam sebuah diskusi atau musyawarah (Sharul M, 2-15:2018).
Sokrates menampik bahwa dirinya diakui sebagai orang yang paling cerdas di Yunani kala itu. Ia malah berkata, “pengetahuanku adalah ketidaktahuanku.” Sokrates tidak hadir dalam proses dialog atau diskusi publik itu sebagai seorang filsuf yang hebat.
Akan tetapi, ia hadir dengan polosnya, dengan ragam pertanyaan bak seorang anak kecil, yang tidak tahu apa-apa dan ingin tahu apa-apa.
Kelebihannya dalam setiap diskusi atau dialog adalah bahwa ia tahu apa yang bersemayam dalam budi lawan bicaranya. Ia hadir bukan sebagai orang yang mendikte lahirnya sebuah kebenaran, melainkan sebagai fasilitator, mediator, atau katalisator daripada proses pencarian kebenaran itu.
Ia lebih tampil layaknya seorang bidan yang membantu masyarakat atau siapa saja yang ia jumpai dalam proses persalinan kebenaran. Seperti alinea kelima Pancasila secara falsafah menyatakan bahwa musyawarah untuk mufakat merupakan sarana paling demokratis dan etis untuk memperoleh kebijaksanaan bersama atau kebaikan berbangsa dan bernegara.
Dialog dan Pater Neles Tebai: Sebuah sintesis konflik Jakarta-Papua?
Pastor Neles Tebay dalam bukunya “Dialog Jakarta-Papua: Sebuah Perspektif Papuaโ (2009) secara gamblang, terperinci, sistematis dan cukup sederhana, menawarkan konsep dialog sebagai sebuah pendekatan kontekstual dalam menciptakan perdamaian di Papua. Bahwa antara konsep dialog tersebut dan konsep musyawarah mufakat orang Papua dalam menyelesaikan masalah, memiliki paralelisme.
Jadi, sebenarnya konsep dialog yang hendak direalisasikan dalam konteks hiruk-pikuk konflik Papua-Jakarta atau tarik-menarik antara pihak “Papua merdeka harga mati” dan “NKRI harga mati” bukan merupakan sesuatu yang asing atau tabu bagi negara demokrasi dan berideologi Pancasila seperti Indonesia.
Hanya saja memang disadari bahwa dialog tersebut terasa asing dan tabu karena tesis Jakarta atau orang di luar Papua, melihat dan menanggapinya sebagai sebuah seruan merdeka dan bercokol banyak kepentingan. Padahal bila ditilik secara kritis, analitis dan teoritis dengan berpedoman pada kajian ilmiah, di sana dapat ditemukan bahwa dialog tersebut merupakan cara paling dewasa, modern, demokratis, dan humanis dalam membahas pelbagai masalah, hingga menemukan kebaikan bersama.
Dialog: Diskursus konflik Papua-Jakarta
Tebalnya โasap konflikโ dan hangatnya โselimut separatismeโ di Tanah Papua semenjak aneksasi 1962 dan Pepera 1969 hingga kini, menunjukkan bahwa masih ada masalah serius dan upaya penyelesaian yang belum maksimal.
Jakarta terkesan tidak punya cukup formula, variabel, alternatif, dan treatment. Atau lebih tepatnya Jakarta salah kaprah dalam meneropong konflik Papua selama iniโterhitung 61 tahun (sejak 1962). Mengapa demikian?
Pertama, karena pola pendekatannya masih sama, yakni represif-humanistik (operasi militer). Hal ini tampak dalam beberapa periode (dari Orde Lama, Orde Baru, Reformasi, Pasca-Reformasi, hingga sekarang). Kita sebut saja beberapa operasi militer, seperti, di Nduga, Intan Jaya, Kiwirok (Pegunungan Bintang), dan restorasi-infrastruktur (pembangunan dengan bendera kesejahteraan);
Kedua, penyelesaian akar masalah tidak menuai hasil yang memuaskan. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia atau LIPI (LIPI/BRIN) dalam “Papua Road Map” (2009) menemukan empat sumber konflik di Tanah Papua, yaitu marginalisasi dan diskriminasi terhadap orang Papua, kegagalan pembangunan di bidang kesehatan, pendidikan, dan pemberdayaan ekonomi rakyat, kontradiksi sejarah, serta konstruksi identitas politik antara Papua dan Jakarta.
LIPI kemudian merekomendasikan kepada pemerintah pusat untuk segera mengadakan dialog damai (Jakarta-Papua), guna membahas empat isu krusial penyebab konflik di atas, dengan menggunakan konsep dialog yang dipelopori oleh Jaringan Damai Papua (JDP). Sayangnya niat mulia tersebut hingga kini belum terealisasi.
Penyelesaian konflik Papua belum maksimal
Rupanya Indonesia keliru merespons asap konflik Papua. Kekeliruan tersebut terlihat dari pendekatan-pendekatan represif yang menimbulkan konflik baru.
Fakta dan data menunjukkan bahwa upaya-upaya negara tidak mempan dalam meredam konflik Papua. Malahan sebaliknya. Upaya-upaya negara justru mencoreng nama baik Indonesia di hadapan komunitas internasional.
Hal ini menunjukkan bahwa kekerasan tidak dapat diselesaikan dengan kekerasan. Kekerasan justru menimbulkan kekerasan lainnya. Lantas apa solusinya?
Banyak pihak bisa merancang kerangka penyelesaian konflik di Tanah Papua. Dari sekian banyak kemungkinan metode penyelesaiannya, dialog cukup relevan untuk menemukan solusi atas konflik Papua.
Namun demikian, adanya isu tolak otonomi khusus (otsus) dan kampanye referendum, menunjukkan bahwa dialog tidak lagi mendapat perhatian dari pemerintah pusat dewasa ini. Menurut berbagai kajian dan referensi otsus (sejak 2001) dinyatakan gagal. Mungkin hanya referendum yang dituntut oleh rakyat Papua saat ini.
Sebagai manusia yang hidup di era post-modern, kedewasaan dan kebijaksanaan dalam berpikir, berkata, dan bertindak setiap individu adalah sebuah keniscayaan. Kemudahan yang ada pun tidak hanya mentok pada aspek IPTEK, perindustrian, perekonomian, pemerintahan, pertahanan dan keamanan, hukum dan HAM, serta aspek kehidupan lainnya, tetapi juga meliputi bagaimana suatu negara memanajemen dan merestorasi kehidupan berbangsa dan bernegara, demi mewujudkan visi dan misi negara.
Dalam konteks konflik Papua-Jakarta dan dialog, maka ada beberapa usul penting yang bisa menjadi bahan refleksi bersama, sehingga Papua tanah damai itu tidak berhenti pada spanduk dan slogan semu. Di antaranya, rasa percaya dan jujur tanpa diskriminatif, intimidasi, stigmatisasi, dan jenis pelabelan vulgar lainnya yang mesti dihilangkan dari perspektif Papua dan Jakarta.
Presiden Joko Widodo mempunyai utang kepada rakyat Papua untuk merealisasikan dialog Papua-Jakarta. Evaluasi otsus jilid 2 dan referendum adalah dua agenda penting di Tanah Papua, yang harus dibahas dalam kerangka dan mekanisme dialog, dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan dalam tempo sesingkat mungkin.
Papua akan selalu menjadi luka paling membusuk dalam tubuh NKRI, yang baunya tercium hingga ke seluruh penjuru dunia, jikalau Jakarta tidak serius membahas akar konflik Papua melalui dialog. Dengan menemukan solusi dan menyelesaikan konflik Papua, Indonesia akan memperoleh nama baik dari komunitas internasional sebagai negara hukum yang demokratis, pancasilais, dan humanis.
Konflik Papua dan penyelesaiannya seakan menjadi pilihan bagi Indonesia untuk hidup atau mati. Dalam artian menjadi Indonesia raya impian Soekarno dan bapa bangsa lainnya atau Indonesia bubar tafsiran Prabowo, atau juga Indonesia bersyariat islam utopis Habib Rizieq. Sekali lagi, masa depan Indonesia terletak pada konsistensinya menjadi negara yang bijak, dewasa, dan modern dalam menyikapi konflik Papua. (*)
Penulis adalah mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Fajar Timur Abepura, Papua