Opini  

Kekerasan seksual di Indonesia

kekerasan seksual
Ilustrasi stop kekerasan seksual. - Freepik

Oleh: Andi Waine

Kekerasan seksual di lingkungan pendidikan kini menjadi perbincangan internasional maupun nasional. Kekerasan seksual yang paling mendominasi korban ada pada pihak perempuan. Bisa dikatakan perempuan sebagai kaum inferior, karena dampak dari kekerasan seksual tidak hanya terjadi satu sisi, tetapi di segala sisi.

Inferior yang berarti manusia yang merasa dirinya direndahkan sehingga dipinggirkan atau adanya ancaman dalam bentuk gender, ras, maupun yang lainnya. Kekerasan seksual ini mencoba perempuan dalam mencari kehidupan yang layak sama dengan pihak laki-laki.

Apakah pihak laki-laki kurang memahami perempuan atau sebaliknya? Sudah banyak juga literasi yang dibangun, tetapi itu hanya teori semata. Hal ini menjadi fundamental dalam konsep kesetaraan dari sisi kekerasan seksual maupun aspek lain.

Sempat teringat perkataan dari Ayanokoji, bahwa konsep kesetaraan sebagai konsep yang penuh dusta. Namun, perkataan ini secara filosofi mempunyai arti luas sehingga bukan hanya berarti kekerasan seksual.

Kejelasan kasus

Tahun 2021 ada sebuah film kekerasan seksual yang dirilis Kemendikbud dengan judul “Demi Nama Baik Kampus”. Film ini hampir pasti berangkat dari kekerasan seksual yang pernah terjadi di Universitas Sumatera Utara, Universitas Gadjah Mada, Universitas Negeri Jakarta, dan kampus-kampus lainnya.

Apa yang dilakukan Kemendikbud bisa diapresiasi. Kasus ini bisa dibuka terang-terangan. Cuman, ada yang perlu juga digali. Sebab tidak hanya kasus kekerasan seksual saja di lingkungan pendidikan, tetapi juga ada sejarah yang simpang siur dan hal lainnya yang perlu dipahami. Berbicara tentang pendidikan berarti mencakup semua jenjang yang mengaitkan peristiwa.

Dalam Catatan Tahunan Komnas HAM Perempuan tahun 2012-2021, kekerasan seksual sebanyak 338.496 kasus terhadap perempuan di Indonesia. Catatan ini terjadi di berbagai perguruan tinggi, komunitas, maupun lingkungan lainnya.

Namun kekerasan seksual di ruang pendidikan diduduki urutan pertama oleh perguruan tinggi (kampus) dengan perolehan angka sebanyak 35% kasus dengan pelaku dosen maupun mahasiswa. Kemudian, posisi kedua oleh pendidikan agama dari lingkup pesantren maupun santri dengan persentase 16% kasus. Kekerasan seksual tidak hanya terjadi di kalangan muslim, tetapi juga semua agama. Walaupun data belum ada di Komnas HAM Perempuan, namun dapat lirik pada referensi lain. Kasus ini dilakukan oleh pelaku (petinggi agama) yang berkedok agama.

Selanjutnya, tidak mau kalah posisi ketiga diambil oleh SMA maupun SMK dengan pemerolehan skor sekitar 15% kasus. Korban yang terjadi pada siswi-siswi dilakukan pelaku dari seorang guru maupun siswa.

Para pelaku dari dosen, petinggi agama, dan guru yang berstatus laki-laki bisa menjadi preseden buruk bagi pengajar dan dicap sebagai sosok yang tidak bermoral. Lalu, dunia pendidikan Indonesia bagi perempuan akan berjalan penuh kehati-hatian dalam berinteraksi dengan seorang pengajar.

Sedangkan, mahasiswa dan siswa masih dalam pola hidup yang mengambang sehingga tidak akan mudah merasakan tindakan baik atau tidak. Syukur-syukur kalau masih menganggap tindakan tersebut salah. Sempat terpikir, apakah perlu pelaku seorang pengajar harus dimutasi atau dicopot dari pekerjaannya sampai harus dilarang bekerja dalam dunia pendidikan? Lalu, pelaku dari mahasiswa dan siswa ini apakah perlu penanganan khusus dari dalam kampus maupun sekolah?

Kemendikbud telah menetapkan Permendikbud Riset Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Lingkungan Perguruan Tinggi. Lalu, bagaimana dengan penanganan kekerasan seksual di lingkungan pendidikan khusus agama dan sekolah SMA maupun SMK? Apakah, karena kasusnya rendah?

Keputusan yang dibuat Kemendikbud baik dan harus dimonitoring setiap kampus. Karena kebijakan ini bisa saja tidak membentuk satgas penanganan kekerasan seksual, walaupun ada beberapa yang menerapkan hal tersebut. Apalagi Indonesia timur yang masih darurat kekerasan seksual, akibat lemahnya penangan kekerasan seksual di wilayah tersebut.

Adanya kekerasan seksual

Sigmund Freud mengatakan setiap manusia memiliki libido (dorongan seks) yang selalu menuntut untuk dilampiaskan. Namun, keinginan untuk melampiaskan libido tidak selalu dilakukan manusia, karena masih terikat dengan norma-norma sosial dalam agama, kesusilaan, dan hukum. Norma tersebut yang mengunci libido manusia dalam tubuh sehingga berujung pada pola pikir positif dan negatif dalam pengalihan target (korban).

Pengalihan positif berarti pelaku akan saling berbagi pengetahuan dengan target dalam suatu komunitas, tetapi ujung-ujungnya dilampiaskan dengan cara bersetubuh. Sedangkan, pengalihan negatif berarti pelaku melakukan target dengan paksaan maupun kekerasan, serta kontak fisik lainnya demi bersetubuh. Apakah bisa juga pengalihan secara miras, obat-obatan, dan mungkin juga pelet?

Lalu, literasi sex education (pendidikan seks) apakah perlu diterapkan di lingkungan pendidikan khusus agama, maupun sekolah?

Kembali lagi, pada pernyataan Sigmund Freud bahwa kekerasan seksual berakar pada tidak adanya kontrol kolektif terhadap tindakan individu sesuai dengan norma-norma sosial yang sudah dibuat masyarakat setempat.

Tindakan para pelaku ini dapat ditafsirkan secara logika, menimbulkan prasangka bahwa korban ini sama seperti perempuan lain yang pernah disentuh dan aman-aman. Stigma buruk terhadap perempuan inilah yang jarang disadari manusia (kaum laki-laki) karena perempuan juga sama dengan manusia pada umumnya.

Menurut Kartono, prasangka merupakan suatu penilaian yang terlalu terburu-buru, berdasarkan generalisasi yang terlalu cepat, serta sifatnya berat sebelah, dan diikuti dengan tindakan yang langsung menyederhanakan sebuah realitas. Sedangkan, Papalia dan Sally, mendefinisikan prasangka sebagai sebuah sikap dan perilaku negatif yang ditujukan kepada orang lain yang berbeda dengan kelompoknya, tanpa dibarengi dengan alasan yang mendasar dari pribadi atau individu tersebut.

Untuk menghindari adanya kekerasan seksual dapat dilakukan dengan dua cara. Pertama, undang-undang maupun hukum  yang mengatur perempuan dan laki-laki harus seadil-adilnya baik dari negara, sosial budaya dan agama. Kedua, penerapan sex education tidak hanya dalam keluarga, tetapi juga dalam dunia pendidikan (kampus dan sekolah) perlu diterapkan. Hal ini mengacu pada kontrol kolektif dalam lingkungan masyarakat setempat. (*)

*) Penulis adalah mahasiswa Universitas Negeri Malang

Comments Box

Dapatkan update berita terbaru setiap hari dari News Room Jubi. Mari bergabung di Grup Telegram “News Room Jubi” dengan cara klik link https://t.me/jubipapua , lalu join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.
banner 400x130
banner 728x250