Oleh: Bernardus Bofitwos Baru, OSAย
Isi surat gembala uskup Jayapura
Dalam surat gembalanya, uskup pertama orang asli Papua, Mgr. Yanuarius Theofilus Matopai You, uskup Keuskupan Jayapura, mengangkat beberapa hal yang berkaitan dengan keadilan ekologis, dan dampak negatif investasi bagi masyarakat di Tanah Papua umumnya, dan secara khusus masyarakat asli Papua atau orang asli Papua.
Keadilan ekologis dan dampak-dampak negatif ini diangkat oleh Bapak Uskup berdasarkan tema Aksi Puasa Pembangunan Nasional (APPN) 2023, โKeadilan Ekologis Bagi Seluruh Ciptaan: Semakin Mengasihi dan Lebih Peduliโ.
Beberapa dampak negatif yang berkaitan dengan keadilan ekologis dan investasi dalam konteks Papua, di antaranya:
Pertama, perubahan iklim yang melanda dunia saat ini juga terjadi di seluruh Tanah Papua. Dampak-dampak negatif dari perubahan iklim tersebut sedang dialami oleh seluruh masyarakat di Tanah Papua, seperti, menurunnya debit air di mata air, menurunnya tingkat kesuburan tanah, punahnya keanekaragaman spesies (habitat), seperti burung cenderawasih, burung kakatua hitam, burung maleo, kanguru, dan masih banyak lagi yang lainnya;
Kedua, berkurangnya luas dan kualitas hutan akibat pengambilan kayu atau pembabatan hutan besar-besaran. Penggundulan hutan (deforestation) terjadi karena puluhan, bahkan ratusan perusahaan HPH (Hak Pengusahaan Hutan), perkebunan kelapa sawit, pertambangan dan penebangan kayu ilegal (illegal logging) merusak dan menghancurkan hutan di Tanah Papua;
Ketiga, kerusakan hutan โ alam berakibat kepada manusia, yaitu banyak masyarakat yang terjangkit berbagai penyakit, bahkan berbagai wabah merenggut nyawa manusia.
Melalui surat sembalanya, Bapak uskup dengan tegas mengatakan, โMemburuknya kesehatan yang berakibat pada hilangnya generasi penerus yang tangguhโ. Penegasan ini secara jelas menunjukkan bahwa di Tanah Papua banyak korban tak terlihat (invisible victims), khususnya orang asli Papua (OAP) karena kesehatan yang sangat buruk.
Pernyataan bapak uskup ini menegaskan bahwa OAP berada dalam pemusnahan generasi dan menurunnya demografi atau jumlah penduduk OAP. Hilangnya generasi OAP adalah proses pemusnahan manusia Papua di tanah leluhurnya.
Ini adalah sebuah cara pembuahan terhadap OAP yang tak terlihat, tetapi secara terencana dan sistematis, yang dilakukan oleh berbagai perusahaan raksasa yang selama ini mengeksploitasi sumber daya alam (SDA) di Tanah Papua.
Tentang masalah korban-korban tak terlihat (invisible victims) ini, karena kesehatan yang memburuk, telah diangkat oleh Stella Roos Peters dalam penelitiannya yang berjudul, “Invisible victims, The effects of structural violence on Infant and Child mortality in Papua Barat, Indonesia in the context of Human Rights“, Utrecht University 2012.
Menurutnya, jumlah angka kematian bayi dan ibu OAP sangat tinggi dibandingkan dengan kematian bayi dan ibu non-OAP. Hal ini terjadi karena faktor kesengajaan terkait kebijakan kesehatan oleh negara. Negara dengan sengaja mengabaikan program-program kesehatan bagi ibu dan bayi OAP.
Karena itu, berbagai penyakit dapat menimpa ibu dan anak OAP. Perilaku manusia ini terkait dengan ulah manusia yang membabat habis hutan di seluruh Tanah Papua. Praktik ini terjadi karena adanya dukungan kebijakan dari pemerintah pusat dan daerah, sebagaimana ditegaskan oleh uskup Jayapura dalam surat gembalanya.
Ia menulis, โPerilaku manusia juga menjadi penyebab ketidakadilan ekologis. Banyak praktek ketidakadilan ekologis seperti: penjualan tanah yang menjadi bagian hak ulayat suku tertentu kepada pihak perusahaan, misalnya kebun kelapa sawit di Arso, Taja-Lereh, Merauke.โ
Perusakan hutan hak ulayat masyarakat adat ini berakibat fatal terhadap hidup manusia, khususnya masyarakat asli Papua yang hidup di tanah adatnya secara turun-temurun. Mereka terancam punah karena diserang oleh berbagai wabah penyakit, dan kehilangan sumber pencarian hidup, pengobatan dan sumber spiritualnya.
Bapak uskup lebih lanjut menuliskan, โPembakaran semak dan hutan secara tidak bertanggung jawab, penebangan kayu ilegal (illegal logging), selalu menyisakan penderitaan bagi masyarakatโ.
Masyarakat adat di Tanah Papua mempunyai falsafah hidup, pengetahuan (the traditional knowledgeโs) dan kebijaksanaan (the traditional wisdoms) yang diwariskan turun-temurun oleh leluhurnya, yaitu bahwa alam-hutan dan tanah adalah ibu, yang harus dijaga, dilindungi dan dirawat, bukannya dirusakkan dan dieksploitasi semaunya demi nafsu ketamakan manusia;
Keempat, banjir biasa maupun banjir bandang akibat penggundulan atau pembabatan hutan yang menelan korban nyawa manusia dan harta benda. Hancurnya hutan โ alam membuat hidup manusia terancam.
Selain nasib manusia, berbagai makhluk hidup lain pun mengalami kepunahan seperti yang telah disebutkan di atas. Ribuan spesies menjadi punah. Punahnya berbagai spesies turut pula mempengaruhi eksistensi manusia. Karena hidup manusia juga tergantung pada berbagai jenis spesies di hutan.
Dampak negatif investasi
Berkaitan dengan investasi dan eksploitasi sumber-sumber kekayaan alam, telah didokumentasi dengan baik oleh beberapa LSM. Forest Watch, mencatat bahwa laju deforestasi (penggundulan) hutan Papua setiap tahunnya sebesar 189.300 hektare. Per Januari-Maret 2020 saja tercacat terjadi laju deforestasi hutan di Papua sebesar 1.488 hektare.
Yayasan Pusaka juga mencatat sekitar 9.110.793 hektare hutan yang dieksploitasi oleh perusahaan pertambangan. Misalnya, berbagai perusahaan HPH, MIFEE (Merauke Integrated Food and Energy) dan MIRE (Merauke Integrated Rice Estate) tahun 2006 di Merauke, berbagai perusahaan kelapa sawit, pertambangan, kawasan ekonomi khusus (KEK) di Sorong, PT Freeport McMoRan, dan lain-lain.
Tanah hak ulayat atau tanah milik masyarakat adat orang Merauke telah dibagi-bagi oleh 33 perusahaan dalam negeri, yang bergerak di bidang perkebunan sawit, tebu, jagung, padi, dan pengolahan kayu, di antaranya, PT Kerta Kencana yang mengeksploitasi lahan 160.000 hektare, PT Balikpapan Forest Indo mengeksploitasi lahan 45.000 hektare; usaha sawit PT Energi Hijau yang mengeksploitasi lahan sebesar 90.000 hektare, di bidang pertebuan oleh PT Hardaya Sugar Papua 45.000 hektare, dan PT Agri Surya Agung 40.000 hektare, di bidang perjagungan oleh PT Medco Papua Alam 74.000 hektare dan masih banyak lagi yang lainnya (Sumber: Prof. Amien Rais, www.Youtube.com).
Kekuatan pemodal atau kaum kapitalis sangat mempengaruhi kebijakan politik dan ekonomi pemerintah pusat terhadap pembangunan di Tanah Papua. Terbukti dengan empat gelombang ekspansi eksploitasi kekayaan alam di Tanah Papua, sebagaimana dikatakan oleh Dandhy Laksono.
Gelombang pertama, ekspansi perusahaan Freeport di Timika, gelombang kedua ekspansi perusahaan gas bumi di Babo-Bintuni, gelombang ketiga ekspansi perkebunan kelapa sawit dan perkebunan berskala besar lainnya, seperti MIFEE di Merauke, dan perkebunan jagung di Kebar, Kabupaten Tambrauw, dan gelombang keempat ekspansi perusahaan batu bara. Semua perusahaan berskala besar yang beroperasi dan bereksploitasi terhadap sumber daya alam di Tanah Papua atas izin pemerintah pusat dan daerah.
Perampasan tanah adat ini semata-mata demi memenuhi ketamakan dan kerakusan perusahaan-perusahaan tersebut. Inilah mentalitas oligarki dan timokrasi yang didayai oleh nafsu epithumia sebagaimana dikatakan oleh filsuf Plato.
Epithumia adalah nafsu berlebihan untuk mengumpulkan uang dan kekayaan material sebanyak-banyaknya demi kepuasannya, tanpa perasaan perikemanusiaan dan keadilan bagi sesama manusia dan alam.
Alasan klasik pemerintah memberikan izin kepada pihak investor untuk mengeksploitasi sumber daya alam (SDA) Papua adalah pengelolaan dan penggunaan kekayaan alam Tanah Papua belum dimanfaatkan secara optimal, guna meningkatkan standar hidup penduduk pribumi. Karena terjadi kesenjangan yang cukup besar antara Provinsi Papua dan Papua Barat dengan daerah-daerah lainnya.
Bedasarkan visi ini, maka pemerintah pusat mengeluarkan Instruksi Presiden No.5/2007 (Inpres No.5/2007) tentang percepatan pembangunan Papua dan Papua Barat. Berdasarkan ketentuan hukum dan politik ini, maka pemerintah memberikan peluang yang besar kepada investor, baik dalam negeri, maupun luar negeri berbondong-bondong untuk berinverstasi di Tanah Papua (Kementrian Australia dan Indonesia, Berinvestasi Untuk Masa Depan Papua Barat, Infrastruktur untuk Pembangunan yang Berkelanjutan, Bank Dunia, Jakarta, Oktober 2009).
Perizinan kepada investor oleh pemerintah pusat dan daerah, seperti, pertambangan (emas, batubara, nikel, minyak, gas bumi, pasir, dll), perkebunan (kelapa sawit, jagung, dll), peternakan (sapi, ayam), perikanan (tambak ikan, udang, dll) dan investasi HPH (perusahaan kayu). Para investor tersebut bukan hanya investor asing, melainkan juga investor dalam negeri, seperti anggota MPR dan DPR RI dan orang-orang di pemerintahan maupun TNI-Polri.
Mereka menanamkan saham di berbagai perusahaan pertambangan, perkebunan (kelapa sawit) dan HPH. Para investor elite politik pusat dan para pejabat pemerintahan, termasuk petinggi militer (TNI dan Polri) adalah investor-investor berbahaya, yang mengancam kehancuran hutan dan berdampak negatif bagi kelangsungan hidup masyarakat pribumi. Karena tujuan utama berinvestasi adalah mengeruk kekayaan alam demi keuntungan yang sebesar-besarnya demi keuntungan pribadi dan keluarganya beserta kroni-kroninya.
Mereka masa bodoh dengan penderitaan rakyat akibat ulah mereka yang merusak hutan demi keuntungannya. Mereka menggunakan perahu jabatan MPR, DPR, pejabat negara, dan jabatan militer untuk memuluskan kepentingan pribadi, keluarga, dan kroninya. Maka para politikus dan pejabat negara, TNI-Polri yang berperilaku demikian disebut oligarki.
Setelah sumber daya mineral habis dikeruk dan hutan ditebang habis, apa yang akan tersisa sebagai penopang perekonomian masyarakat pribumi atau masyarakat asli? Ketika hutan semakin hilang โ punah dengan begitu cepatnya apa dampak keanekaragaman hayati, hilangnya kesempatan untuk memperlambat perubahan iklim, dan secara umum, hilangnya kesempatan sumber-sumber daya alam bagi kelangsungan hidup anak cucu di masa yang akan datang?
Eksploitasi sumber daya alam yang begitu masif dan cepat, pasti dapat membawa begitu banyak dampak negatif terhadap penduduk pribumi atau masyarakat asli Papua.
Apakah masyarakat asli Papua akan kembali dengan pengetahuan dan keterampilan pada waktu yang tepat, agar dapat menyesuaikan diri dengan perubahan yang pesat tersebut, serta mengambil manfaat dari perubahan tersebut? Sebagian besar di antara mereka akan kehilangan bahasa ibunya, warisan budaya, pengetahuan tradisional dan kebijaksanaan mereka, serta sumber spiritualnya, maupun mata pencaharian tradisional mereka, akibat perusakan hutan sebagai tempat hidupnya.
Demikian juga, karena rusaknya tatanan ekosistem dan kekayaan hutan, turut menghancurkan identitas budaya OAP. Karena alam mengandung falsafah hidup, religiusitas, dan prinsip kebudayaan yang lahir dari relasi manusia dengan alam-hutan, dan sebaliknya alam โ hutan dengan manusia serta dengan Sang Pencipta.
Hutan sebagai tempat yang menyediakan berbagai kebutuhan untuk menjamin keberlangsungan hidup manusia, baik kekayaan alamnya, udaranya, keindahannya, maupun sebagai representasi misteri ilahi bagi manusia.
Banyak aspek kehidupan tradisional yang telah, sedang dan akan lenyap dari muka bumi ini. Terjadi pula kepunahan jumlah OAP karena kematian yang disebabkan oleh berbagai penyakit, gizi buruk, alkohol, obat-obatan terlarang, dan pembunuhan akibat perang atau konflik bersenjata karena perebutan sumber daya alam Papua. Karena adanya investasi yang begitu besar, maka menarik jutaan kaum pencari kerja masuk ke Papua, sehingga akan mempengaruhi komposisi demografi jumlah penduduk asli Papua dan non-Papua semakin lebar. (*)
Penulis adalah Ketua Sekolah Tinggi Filsafat Teologi (STFT) Fajar Timur Abepura-Jayapuraย