Oleh: Siorus Degei*
Penulis melihat dan merefleksikan bahwa kebanyakan organisasi “pemberontakan” Papua dan orang-orang yang berkecimpung di dalamnya cenderung bertingkah dengan kiblat “individualisme descartesian”. Orientasi, output, dan implikasi konkret yang mereka hasilkan hanya bermuara dan berkutat dalam balutan iklim sentimen kategorial dan sentimen genetikal mereka.
Bahwa bukan kebaikan, kebahagiaan, dan kedamaian bangsa dan tanah Papua yang tercipta, melainkan kebaikan, kebahagiaan dan kedamaian organisasi, kelompok, suku, golongan, gender, agama, wilayah adat, kota studi, haluan politik, visi-misi, dan unsur sempit semu lainnya.
Kiblat organ dan orang yang ada di dalamnya masih berkutat dalam alam “individualisme dan egoisme Descartesian”. Katakanlah adagium perjuangannya berbunyi “aku berjuang, maka aku ada”, “aku beraksi, maka aku ada”, “aku berontak, maka aku ada”, “aku melawan, maka aku ada”.
Seumpama juga dengan yang terjadi bahwa “kita berjuang, maka kita ada”, “sukuku berjuang, maka kita ada”, “agamaku berjuang, maka kita ada”, “organisasiku berjuang, maka kita ada”, “genderku berjuang, maka kita ada” dan lain sebagainya. Sehingga tidak salah juga jika yang terjadi di babak akhir pun demikian, yakni tereksposnya egoisme dan individualisme sentimen kategorial dan genetikal.
Sangat jarang atau sulit kita jumpai aspek common good atau bonum commune bangsa dan tanah Papua itu terwujud di balik passion dan kiprah organ dan orang dalam siklus perjuangan, perlawanan, dan pemberontakan. Bukan berarti tidak ada. Memang ada, tetapi belum optimal.
Sehingga penulis merasa bahwa arah dasar, pola pikir atau paradigma organ, dan orang yang berjuang demi kedaulatan bangsa dan tanah Papua itu mesti didekonstruksi dan direkonsiliasi kembali perlu ada semacam upaya “scan otak; download jantung; dan install hati”. Pendeknya “service eksistensi”.
Hemat penulis, pemikiran Camus cukup relevan dan kontekstual untuk digubris dan dimaknai oleh semua pihak yang merindukan Papua menjadi tanah damai. Terutama untuk keluar dari jebakan batman kolonial dalam rangka implementasi politik devide et impera (politik adu domba) yang terpatri dalam strategi polarisasi, segmentasi dan segregasi seperti di muka.
Bahwa adagium yang harus melandasi arah dasar kiblat perjuangan, pergerakan, perlawanan dan pemberontakan menuju Papua tanah damai itu adalah bahwa “aku berpikir, maka kita ada”, “aku beraksi, maka kita ada”, “aku berontak, maka kita ada”, “aku membaca, maka kita ada”, “aku menulis, maka kita ada”, aku melukis, maka kita ada”, “aku bernyanyi, maka kita ada”. Singkatnya “aku berjuang, maka kita ada”. Bahwa sentimen yang mesti ditonjolkan adalah “sentimen humanisme dan universalisme Camusian”, bukan sentimen “individualisme dan egoisme Descartesian” dalam roh perjuangan Papua tanah damai.
Dalam konteks itu sosok Egianus Kogoya dan kawan-kawan di Ndugama (Provinsi Papua Pegunungan) yang hangat diperbincangkan pasca pembakaran pesawat Susi Air dan penyanderaan pilot Philip Mark Mehrtens asal Selandia Baru, 7 Februari 2023 itu, bisa menjadi soko guru dan teladan paling baik bagi orang asli Papua, yang bergulat menuju tanah Papua damai.
Egianus tidak berjuang untuk suku, organisasi, uang, harta, jabatan, pemekaran, otsus berjilid, pembangunan bias diskriminatif junto marginalisasi kapitalistik, aspal jalan, bandara, pelabuhan, perusahaan, dan sumber daya alam seperti tambang mineral, migas, dan sawit. Hanya satu tuntutan mereka, yakni Papua merdeka.
Papua merdeka adalah kunci kebebasan bagi pilot Mark Marhtens, bukan pengiriman militer dan pembentukan tim negosiasi. Marketing politik TPNPB-OPM tegas, jelas, dan keras: jika Indonesia mengakui Papua merdeka, maka pilot Marhtens akan bebas, jika tidak ia akan disembunyikan di 32 distrik di Ndugama.
Poin yang hendak penulis angkat di sini adalah sikap patriotisme dan nasionalisme Panglima Kodap III Ndugama Egianus Kogoya dan kawan-kawannya, yang memperlihatkan bahwa “mereka berjuang, maka bangsa dan tanah Papua ada”, “Egianus berjuang, maka kita (Papua) ada” bukan Ndugama, bukan tujuh wilayah adat, bukan gunung atau pantai, bukan Protestan, Katolik, atau Islam, bukan laki-laki versus perempuan, bukan organ A organ B, tokoh A tokoh B, melainkan hanya Papua merdeka.
Inilah suri tauladan yang hendak dicontoh oleh semua oknum dan pihak yang merindukan dan senantiasa memperjuangkan Papua sebagai tanah damai.
Aksara pojok
Ada beberapa ihwal yang hendak penulis ketengahkan;
Pertama, filsafat rasionalitas Descartes tidak sepenuhnya kurang mutakhir. Pemikiran tersebut adalah sumbangsih terbesar yang pernah ditelurkan oleh manusia sebagai homo ratio.
Namun, perlu ada kecerdasan kontekstual dan emosional dalam menerjemahkan pemikiran-pemikiran yang notabene datang dari imperium Eropa kontinental, filsafat Barat ke iklim filsafat Timur, yang secara tegas menyisihkan gab filosofis dan teologis yang tegas dan jelas.
Kedua, semua perangkat organisasi atau pergerakan humanisme yang berkecambah dalam dinamika dan dialektika perjuangannya, penting juga untuk mendahulukan kepentingan umum ketimbang kepentingan khususnya.
Dalam hal ini paradigma dan sentimen “individualisme dan egoisme Descartesian” yang mungkin telah eksis mapan itu mesti secara berani dan berangsur-angsur didekonstruksi dan direkonsiliasi dengan dan dalam paradigma dan sentimen “humanisme dan universalisme Camusian”.
Ketiga, terkait situasi dan kondisi gejolak kompleksitas konflik dan problematika kemanusiaan serta keutuhan ciptaan di West Papua sudah saatnya pula virus dan pandemi bernama “sentimen kategorial dan genetikal” itu dipangkas dari dalam jati diri setiap oknum dan pihak yang memperjuangkan Papua sebagai tanah yang damai.
Bahwa jiwa-jiwa yang sedang memperjuangkan hak, harkat, dan martabat manusia dan alam Papua itu mesti dipupuk dengan nilai-nilai dan ilham-ilham patriotisme dan nasionalisme yang utuh dengan berprinsip “humanisme dan universalisme Camusian”.
Bahwa “aku berontak, maka kita ada”, “aku berjuang, maka kita ada” sesuai dengan kharisma, karuniai dan talenta yang sudah diberikan oleh alam, leluhur dan Tuhan Yang Maha Esa demi “mewujudkan Bumi Cenderawasih seperti di dalam honai damai surga”, bukan “neraka yang menganga ganas”. Aku berjuang, maka kita ada. Aku Papua, pasti merdeka. (*)
*Penulis adalah mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Teologi (STFT) Fajar Timur Abepura-Papua