Oleh: Lewi Pabika
Tulisan ini merupakan “sebuah refleksi teologis”. Tak terlepas dari sejarah masa lalu–salah satu pemicu penderitaan bagi orang Papua–1 Mei 1963. Dalam tulisan ini memberikan sebuah gambaran refleksi teologis tentang penderitaan Yesus dan penderitaan orang Papua: penderitaan umat Allah yang tersalib.
Pertanyaan penuntunnya adalah apa relevansi teologis yang membuktikan bahwa penderitaan orang Papua adalah penderitaan umat Allah yang tersalib?
Penderitaan Yesus ‘yang tersalib’
Dalam gereja perdana banyak teolog yang memperdebatkan kodrat Yesus. Penginjil Markus mengklaim dua kodrat yang dimiliki oleh Yesus. Pertama, dapat ditafsirkan secara insani: bukankah Dia ini tukang kayu anak Maria? (Mrk. 6:3). Kedua, keputraan Ilahi yang diakui oleh setan: “Putra Allah yang Mahatinggi” (Mrk. 5. 7).
Dua tema ini merupakan kristologi yang diperdebatkan pada gereja perdana. Di sini muncul juga gelar-gelar kristologis. Gelar yang paling fundamental adalah sebutan ‘logos’.
Dengan sebutan kata logos, dapat memberikan jawaban tepat tentang siapa itu Yesus. Injil Yohanes mengakui bahwa “Firman itu telah menjadi manusia” (Yoh. 1. 14). Firman itu mengacu pada Yesus Kristus.
Logos adalah firman. Dengan demikian, Yesus adalah Putra Allah yang menjadi manusia. Secara Kristologis Yesus adalah anak manusia (insani) dan anak Allah (ilahi). Atau “100% Allah dan 100% manusia.
Kenapa Yesus harus menjadi manusia dan ke dunia? Hemat penulis, kehadiran Yesus ke tengah dunia sebagai seorang revolusioner dalam teologis kebebasan. Dan mungkin revolusi teologi kebebasan itulah kehendak Allah yang mengutamakan soteriologis pada pribadi Yesus.
Revolusi kebebasan yang dimaksudkan adalah pertama, penjajahan dunia; penindasan, kemiskinan, ketidakadilan, dan diskriminasi. Dalam teologi sosial, penjajahan dunia adalah dosa sosial.
Kedua, pelanggaran yang dibuat oleh manusia (Hawa dan Adam) terhadap Tuhan. Dalam teologi pembebasan dapat dikatakan sebagai dosa awal. Maka, dalam konteks ini Yesus adalah sosok revolusioner kedamaian, yang hendak membebaskan manusia dari penjajahan dunia dan mendamaikan manusia dengan Tuhan.
Artinya, bahwa Ia hendak mendamaikan dunia; manusia dengan manusia dan manusia dengan Tuhan. Namun, untuk mencapai pada misi Allah itu, Yesus harus mengalami proses penderitaan sampai kematian.
Kematian yang dialami oleh Yesus bukanlah kematian biasa. Tetapi ada misteri yang tersembunyi di balik penderitaan Yesus yang tersalib itu. Hal tersebut harus melalui proses penderitaan yang cukup ekstrem.
Orang Yahudi waktu itu melihat sisi negatif pergerakan revolusi Yesus. Karena pandangan negatif itulah Yesus harus menerima kematian. Taman Getsemani menjadi puncaknya. Sebab titik tolak penderitaan-kematian Yesus dapat terlihat dari situ.
Proses penyekapan penyiksaan, kesengsaraan dan perolok-olokan hingga di kayu salib tanpa protes, merupakan penyerahan diri Yesus secara totalitas demi misiologis Allah terhadap soteriologis manusia.
Empat belas pengalaman Yesus dalam perjalanan menuju Kalvari, memperlihatkan perjuangan yang sesungguhnya sebagai seorang revolusioner Allah dan manusia. Kematian-Nya di Kalvari mencerahkan revolusi-Nya bahwa diri-Nya adalah pelaksana misiologis Allah dalam kebebasan manusia. Pada akhirnya sang revolusioner itu menyatakan bahwa “Tugas-Ku sudah selesai” (Yoh. 19: 30).
Penderitaan orang Papua ‘yang tersalib’
Penderitaan yang dialami oleh orang Papua bukanlah hal baru. Alm. Pater Neles Tebai menyebut penderitaan orang Papua diterima sejak 1 Mei 1963. Kemudian, peristiwa Pepera 1969 menjadi pemicu penderitaan berkepanjangan orang Papua. Sejak itu orang Papua mulai merasakan penjajahan di atas tanahnya. Orang Papua mulai menyadari bahwa orang Yahudi yang menyalib Yesus di masa kini adalah TNI/Polri yang membunuh orang Papua.
Dalam buku “Dialog Jakarta-Papua” Alm. Pater Neles Tebai menuliskan sejumlah operasi militer Indonesia terhadap orang Papua, diantaranya, Operasi Dasar (1965-1967), Operasi Bratayudha (1967-1969), Operasi Wibawa (1969), Operasi Militer Di Kabupaten Jayawijaya (1977), Operasi Sapu Bersih I Dan II (1981), Operasi Galang I Dan II (1982), Operasi Tumpas (1983-1984), Dan Operasi Sapu Bersih (1985), (2019: 1-2).
Pada tahun 2001 muncul Undang-Undang Otonomi Khusus (Otsus) di Papua sebagai jalan perdamaian. Namun kekerasan masih dipakai oleh militer Indonesia.
Setelah Otsus diberikan kepada Papua, konflik terus meningkat. Fenomena yang terjadi setelah Otsus, seperti operasi di Wamena (2003), di Puncak Jaya 2004, pelanggaran HAM di Wamena (2005), dan beberapa tempat lainnya. Dari tahun ke tahun penjajahan terus meningkat. Pada 2019 kasus rasisme di Surabaya yang mengakibatkan banyak korban jiwa di Papua.
Upaya penyelesaian pelanggaran HAM dan konflik di Papua belum selesai. Artinya, bahwa kehadiran Otsus bukan solusi atas kedamaian di Papua.
Pada 2021 dapat otsus diperpanjang menjadi Otsus “jilid 2” berdasarkan UU Otsus tahun 2001. Kemudian muncullah pemekaran provinsi baru atau daerah otonomi baru (DOB) di Papua pada 2022.
Rupanya perpanjangan Otsus dan DOB hendak memperpanjang penderitaan orang Papua. Karena penderitaan yang terjadi setelah DOB dan Otsus jilid II, seperti kasus mutilasi di Timika pada 2021, penembakan terhadap 9 warga di Wamena pada 2022, hingga terjadi pengungsian besar-besaran di Maybrat, Intan Jaya dan Kiwirok pada 2022.
Masyarakat mengalami penderitaan yang cukup mengerikan di rumahnya, seperti, kelaparan, kedinginan, kematian, ketidakadilan, intimidasi dan ketidakbahagiaan. Filep Karma dalam bukunya menyebut “Seakan Kitorang Setengah Binatang”.
Terhitung dari 1963-2023, selama 60 tahun orang Papua mengalami penderitaan. Dan masih memikul salib hingga hari ini.
Salib penderitaan yang dimaksudkan adalah dosa sosial; tragedi, pemerkosaan, penindasan, ketidakadilan, intimidasi, dan lain-lain. Yang paling disayangkan lagi adalah masyarakat Papua (Kiwirok dan Intan Jaya) sedang berada di hutan. Salib semakin berat. Bahkan luka busuk pelanggaran HAM belum pernah diselesaikan sesuai mekanisme hukum nasional dan internasional.
Penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan menjadi sebuah hukum lelucon. Sebab peri kemanusiaan di Papua masih dijajah oleh Indonesia.
Penderitan Yesus dan penderitaan orang Papua
Penderitaan ‘yang tersalib’ dialami oleh Yesus merupakan bagian dari penderitaan misiologi Allah. Tujuannya adalah teologi kebebasan dan sosial pada rencana soteriologis.
Sedangkan penderitaan ‘yang tersalib’ yang dialami oleh orang Papua adalah penderitaan teologis sosial. Tujuannya adalah demi kepentingan manusia (Indonesia dan dunia). Persoalan fundamental yang kemudian menyebabkan penderitaan yang tersalib bagi orang Papua adalah masalah pengintegrasian (Papua ke dalam NKRI) dan ekologis.
Perjalanan Yesus dari Getsemani ke rumah Pilatus adalah perjalanan manusia Papua dari tahun 1993-1969. Perolok-olokan yang terjadi pada Yesus di rumah Pilatus bagi orang Papua adalah kebebasan politik dari Pangkuan ke Pangkuan (Agus A. Alua).
Sedangkan keputusan oleh orang Yahudi “salibkan dia” (Mat. 27: 22), bagi orang Papua adalah peristiwa Pepera 1969 yang tidak demokratis. Ungkapan orang Yahudi itu bagi Yesus adalah sebuah luka yang harus diterima. Demikian juga peristiwa Pepera, keputusan secara paksa yang harus diterima oleh orang Papua.
Menurut pandangan orang Papua, dituliskan oleh Piet Yobee dalam bukunya “The Happen Slavery Of History In West Papua” bahwa yang menjadi akar persoalan penderitaan orang Papua, bukan masalah kesejahteraan, pembangunan dan infrastruktur, tetapi status politik dan sejarah pengintegrasian Papua (Pepera 1969) yang tidak demokratis.
Persoalan ini yang menjadi bara api dan luka busuk bagi Papua (2019: vii), sebagai salib yang harus dipikul oleh orang Papua. Sementara perjalanan Yesus dari rumah Pilatus menuju Kalvari memperlihatkan perjalanan orang Papua dari tahun 1963-2023. Jatuh-bangun Yesus dalam 14 perhentian adalah jatuh bangunnya orang Papua demi memperjuangkan teologi sosial.
Penderitaan umat Allah yang tersalib
Pengalaman hidup dan penderitaan yang tersalib dialami oleh Yesus sebagai insani dan orang Papua memberikan kesan teologis sebagai umat Allah yang menderita dan tersalib. Dalam sejarah dunia, umat Israel mengalami penderitaan; “Aku telah memperhatikan dengan sungguh kesengsaraan umat-Ku di tanah Mesir” (Kel. 2: 7a). Ungkapan ini jelas bahwa Allah menyapa manusia sebagai umat-Nya.
Yosep Riki Yatipai menuliskan sebuah opini dengan tema “Metafora ‘rakyat yang tersalib’ dan penderitaan orang Papua” dalam hubungannya dengan refleksi teologis yang dituliskan oleh Ignacio Ellacuria (filsuf dan teolog, Amerika Latin) tentang rakyat miskin dan tertindas di El Salvador. Ellacuria berpendapat bahwa ‘orang yang miskin dan menderita adalah kenyataan hamba Allah yang menderita’. Titik teologisnya menjadi jelas bahwa penderitaan orang Papua adalah kenyataan umat Allah yang menderita dan tersalib. (*)
*Penulis adalah mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Teologi (STFT) Fajar Timur Abepura, Jayapura-Papua
Untuk melihat lebih banyak content JUBI TV, click here!