Oleh: Thomas Ch Syufi*
Pada tanggal 5 September 2022, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) resmi menetapkan Gubernur Papua Lukas Enembe (LE) sebagai tersangka korupsi atas dugaan suap dan gratifikasi dana 1 miliar rupiah yang mengalir ke rekening pribadinya. Namun, langkah KPK ini dinilai cacat hukum, karena persangkaannya tidak didasarkan pada dua alat bukti permulaan, seperti, keterangan minimal dua orang saksi dan keterangan dari calon tersangka, LE.
Kuasa hukum LE juga membantah bahwa uang 1 miliar rupiah yang diduga KPK sebagai hasil gratifikasi tersebut adalah uang pribadi LE, untuk kepentingan pengobatan kesehatannya ke Singapura (setelah mendapat izin dari Menteri Dalam Negeri, 9 September 2022) yang bersumber dari dana operasional gubernur yang telah ditetapkan melalui APBD oleh DPR Papua.
Selain itu, penetapan LE sebagai tersangka dugaan gratifikasi tidak sesuai prosedur hukum atau setidaknya cacat formil. Karena persangkaan yang dilakukan KPK tersebut tidak berdasar pada minimal dua alat bukti permulaan, termasuk keterangan dari LE sebagai calon tersangka sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
LE disangkakan lembaga antirasuah tanpa proses pemeriksaan awal untuk menemukan ada atau tidaknya suatu tindak pidana suap dan gratifikasi oleh LE. Hal ini sudah diatur secara eksplisit dalam ketentuan umum pasal 1 bagian 2 KUHAP bahwa penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut tata cara yang diatur dalam undang-undang ini, untuk mencari dan mengumpulkan bukti, yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.
Jadi, dalam proses penyidikan untuk membuat terang benderang suatu dugaan tindak pidana, termasuk kasus gratifikasi, menyidik harus mencari dan mengumpulkan bukti-buktinya lebih awal guna menemukan tersangkanya.
Artinya, dalam kasus dugaan suap dan gratifikasi oleh LE, KPK harus terlebih dahulu meminta keterangan dari minimal dua orang saksi sesuai pasal 184 bagian (1) KUHAP, yaitu saksi merupakan bukti pertama (primary evidence) secara hierarkis dari lima jenis alat bukti yang sah.
Hal ini relevan dengan asas hukum nullus testis unus testis (satu saksi bukanlah saksi), maka keterangan dari satu saksi tidaklah sah. Apalagi dalam kasus ini belum ada seorang pun yang diminta memberi keterangan oleh KPK sebagai saksi, hingga persangkaan terhadap LE dianggap tidak sah secara hukum. Pentingnya saksi adalah memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan peradilan tentang perkara ini yang ia dengar, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu.
Bukan sebaliknya, KPK menetapkan tersangka lalu mencari barang bukti, ini bisa menimbulkan miscarriage of justice (peradilan sesat) karena proses persangkaan mengalami cacat formil. Artinya, hal tersebut tidak diatur dalam hukum acara pidana dan sangat berbahaya bagi dunia penegakan hukum serta berpotensi terjadinya pelanggaran HAM.
Bagaimana penyidik KPK bisa mengetahui mens rea (adanya niat) dan actus reus (adanya tindak pidana) oleh LE dalam kasus gratifikasi dana 1 miliar rupiah yang mengalir ke rekeningnya, sementara penyidik saja belum pernah meminta keterangan dari saksi-saksi dan LE sendiri. Ini merupakan penegakan hukum yang tidak fair, karena tidak didukung dua alat bukti permulaan sesuai KUHAP.
Dan secara praktik dan teoritik belum pernah ditemukan ada orang atau suatu proses peradilan yang menabrak hukum acara hanya dalam rangka mencari suatu kebenaran (materil) atau keadilan. Karena hukum acara itu berlaku tiga prinsip, yaitu lex scripta (hukum pidana harus tertulis), lex certa (rumusan pidana harus jelas), dan lex stricta (tidak boleh diterjemahkan lain selain dari apa yang tertulis).
Bahkan, menurut pasal 38 UU Nomor 30 Tahun 2002 juga mengandung asas Lex Certa, maka segala kewenangan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan KPK adalah tunduk dan mengikat dengan kewenangan yang mengatur tentang penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan yang ada dalam UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP, kecuali kewenangan yang sama diatur secara khusus pada UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK. Maka, tidak dibenarkan atas nama keadilan dan kebenaran, KPK melakukan pemeriksaan terhadap LE di luar hukum acara yang berlaku.
Apalagi, Indonesia adalah negara hukum dan demokrasi yang harus menjunjung tinggi persamaan semua orang di depan hukum (equality before the law) dan kebebasan setiap warga negara yang dituduh melakukan tindak pidana, berhak untuk melakukan berbagai upaya hukum, termasuk pembelaan dirinya. Dan hukum pidana menganut prinsip “In criminalibus probationes esse luce clariores” (dalam perkara-perkara pidana, bukti-bukti harus lebih terang daripada cahaya).
Postulat ini mengandung makna bahwa pembuktikan seseorang pelaku tindak pidana tidaklah hanya berdasarkan persangkaan semata-mata, tetapi juga bukti-bukti yang jelas, terang, akurat, dan tak terbantahkan. Yang dalam konsep pembuktian di negara-negara common law dikenal adagium beyond a reasonable doubt, harus tidak ada keraguan sama sekali.
Maka, LE mempunyai hak untuk mengklarifikasi melalui keterangan awal sebelum ditetapkan sebagai tersangka, bukan bantahan atau pembelaan tersebut dilakukan dalam proses pengadilan (atau pasca ditetapkan sebagai tersangka atau terdakwa). Sebab, misalnya, ia tidak terbukti menerima suap dan gratifikasi saat bersaksi di pengadilan sementara ia sudah dihukum (ditahan).
Ini akan berakibat pada kegaduhan dan mengganggu aktivitas pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat di provinsi Papua yang mana ia sebagai gubernurnya. Apalagi sekarang Papua hanya memiliki seorang gubernur tanpa wakil gubernur, hingga gubernur diperhadapkan (dililit) dengan persoalan hukum seperti ini, segala urusan pemerintahan bakal semrawut dan menimbulkan disorder, serta resistensi dari masyarakat Papua terhadap KPK, termasuk pemerintah pusat.
Publik juga akan menilai apakah dugaan kasus gratifikasi ini hanya menjadi pintu masuk KPK untuk menelusuri berbagai persoalan hukum lainnya terhadap LE. Padahal Indonesia belum menganut sistem hukum (atau membentuk undang-undang pembuktian terbalik), yang membebankan pembuktikan kepada tersangka atau terdakwa, tetapi pembuktian masih tetap dibebankan kepada negara, yaitu penyidik, antara lain kepolisian, kejaksaan, dan KPK, sama seperti pembuktian dalam aspek hukum perdata yang terkenal dengan asas Actori in cumbit pro batio (siapa yang menggugat/menuduh, dialah yang wajib membuktikannya).
Maka, untuk kasus LE, kredibilitas dan profesionalisme KPK dipertaruhkan, jika melakukan persangkaan terhadap Gubernur Papua ini tanpa melalui hukum prosedur (KUHAP) serta bukti-bukti yang tidak kuat. Bisa dibilang jangan-jangan KPK tengah melakukan upaya kriminalisasi (dinyatakan sebagai pelaku kejahatan hanya karena pemaksaan) atau rekayasa politik terhadap LE. Maka, kasus ini perlu ditangani KPK secara profesional dan dilakukan menurut standar dan nomor hukum, terutama hukum acara pidana yang berlaku di Indonesia.
Memang kekuasaan itu perlu dibatasi dan diawasi. Namun semua harus dilakukan dalam koridor hukum, bukan menurut kehendak pribadi atau kelompok, hingga terjadi abuse of power (penyalahgunaan kekuasaan).
Jadi, fungsi hukum acara adalah antara lain, menegakkan hukum materiil (dalam bingkai hukum formil), menjadi sumber perwujudan negara hukum, dan mengatur wewenang sekaligus batasan-batasan dalam penegakan hukum.
Dan, hukum dibentuk bertujuan untuk menciptakan ketertiban, membatasi kesewenang-wenangan yang menjerumuskan ke dalam apa yang oleh Titus Maccius Plautus (254-184 SM), filsuf dan penulis naskah drama Romawi kuno yang kemudian diperkenalkan oleh Thomas Hobbes (1588-1679), filsuf empirisme Inggris, Homo homini lupus est (manusia adalah serigala bagi manusia yang lain).
Maka, hukum harus tegak lurus agar menjamin hak-hak setiap warga negara dengan mencerminkan aspek keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan, bukan saling menyudutkan, saling menyingkirkan, saling mengkriminalisasi, bahkan saling meniadakan.
Tidak sampai di situ. KPK juga mengeluarkan surat pencekalan terhadap LE untuk tidak bepergian ke luar negeri, termasuk urusan pengobatan kesehatannya ke Singapura ( 12 September 2022 hingga 7 Maret 2023)..Surat pencekalan ini dilakukan setelah LE mendapat izin dari Menteri Dalam Negeri 5 September 2022 untuk berobat ke Singapura dan sebelum menyandang statusnya sebagai tersangka KPK.
Padahal, masalah kesehatan adalah hak asasi yang wajib dilindungi, dihormati, dan dipenuhi oleh siapapun, termasuk negara tanpa memandang apapun status, kedudukan, warna kulit, suku, golongan, ideologi, dan pilihan politik seseorang.
Sesuai pasal 5 ayat (3), UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, mengatakan, “Setiap orang berhak dan bertanggung jawab menentukan sendiri pelayanan kesehatan yang diperlukan bagi dirinya. Dan LE memiliki hak untuk memilih tempat di mana ia merasa nyaman untuk berobat, termasuk ke Singapura, perlu dihormati dan difasilitasi oleh negara, karena ia juga dijamin oleh asas presumption of innocence (praduga tak bersalah) hingga ada putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde).
Dan KPK juga tidak bisa mengabaikan asas paling tertinggi dari semua tatanan hukum di dunia, yaitu “Salus populi suprema lex” (keselamatan jiwa-jiwa manusia adalah hukum tertinggi) atau secara teknis dalam dunia kesehatan dikenal “Salus aegroti suprema lex” (kesehatan pasien adalah asas/hukum tertinggi). Maka, kesehatan atau keselamatan pribadi LE harus menjadi hal prioritas yang dihormati dan dijamin seperti warga negara yang lain, bukan sebaliknya diabaikan atau dilanggar oleh KPK.
Terpisah dari itu, masalah HAM telah dijamin dalam sila kedua Pancasila, dan dijamin dalam konstitusi yang menjadi tiket untuk masuk menjadi bangsa yang beradab, yakni pasal 28H UUD 1945 tentang “hak asasi di bidang kesehatan” yang derajatnya lebih tinggi dari semua hukum positif, termasuk menyampingkan UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Ini menunjukkan bahwa hukum untuk manusia, bukan manusia untuk hukum. Jadi, kemanusiaan lebih tinggi dari hukum, maka hukum yang adil haruslah manusiawi.
Sebab itu, untuk kasus persangkaan terhadap LE ini bisa dihentikan oleh KPK, karena dinilai cacat formil, agar KPK mengulangi proses penyidikan dengan mencari barang bukti permulaan yang kuat, terutama minimal dua alat bukti termasuk meminta keterangan dari LE atas dugaan kasus suap dan gratifikasi yang dialamatkannya setelah masa jabatan gubernurnya berakhir tahun 2023!
Untuk mengakhiri prahara hukum ini, Presiden Joko Widodo harus dapat mengintervensi sesuai kewenangannya, dengan memerintahkan KPK segera menutup perkara ini atau mengeluarkan Surat Perintah Pemberhentian Penyidikan (SP3) atas alasan yuridis, sosiologis, dan kemanusiaan.
Akhirnya, segala upaya pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh KPK di Papua tentu didukung oleh mayoritas masyarakat Papua. Namun, semua niat baik KPK dalam pemberantasan korupsi di Bumi Cenderawasih harus dilakukan secara murni dan objektif berdasarkan hukum dan bukti-bukti yang kuat. Juga KPK diharapkan tidak membonceng kepentingan apa pun untuk menekan, membungkam, atau mengkriminalisasi dengan pasal-pasal persangkaan terhadap siapapun di Papua, termasuk Gubernur Papua Lukas Enembe! (*)
* Penulis adalah praktisi hukum dan advokat muda Papua