Oleh: Immount de Dthem
Sudah satu bulan bapak itu belum pulang kampung. Karena tidak ada tanda-tanda, saya mencoba turun ke kota.
Tujuan saya ke kota sebenarnya mau beli sabun, gula, dan teh. Memang ada harapan bahwa saya menemuinya dan mengingatkan dia agar pulang secepatnya.
Saya keluar rumah pada pukul 5 pagi meski cuaca Wamena sangat dingin. Perjalanan dua sampai tiga jam dengan jarak kira-kira 20-50 km, harus melewati Kampung Iwiranya, Sugunekama, Sinetma, Pawiroma, Papayekelekma, Parema, Wesaput, dan tiba di Agamua.
Sungguh perjalanan yang melelahkan. Jalan kaki naik-turun gunung dan lembah.
Saya sudah dengar cerita bahwa bapak ini menjadi tim sukses salah satu pasangan calon bupati dan wakil bupati Jayawijaya. Jadi saya jalan kaki melalui Sinakma-Bhayangkara-Yos Sudarso.
Rupanya ada orang dari kampung yang melihat saya. Mereka lalu memberi tahu bapak Hageyaro. Dia kemudian datang menemui saya.
Kami saling sapa, jabat tangan, dan menceritakan perjalanan masing-masing.
Karena saya lihat dia lapar dan “mati rokok”, saya mengajaknya untuk mencari warung di sekitar kantor pengadilan dan gereja Baptis
Sambil makan dia menceritakan alasan tidak naik-naik ke kampung.
Bapak ini memang tidak mengenal abjad dan tidak hafal angka dengan baik. Namun, tim sukses mempercayai dia menjadi ketua tim sukses di wilayahnya.
Bagi saya ini penunjukan yang unik dan “gila”. Orang tidak sekolah, tidak tahu baca-tulis, dan bahasa Indonesia seadanya, toh disuruh pimpin di kampung. Namun demikian, dia memiliki pengaruh yang begitu kuat, untuk meraup suara rakyat di kampung.
Saat itu dia sangat lapar. Dia bercerita bahwa mereka makan nasi kosong selama di sini. Tak sedikit orang yang sakit perut dan diare, hingga masuk rumah sakit, karena nasi yang tidak matang.
Dia juga bercerita bahwa mereka sering tahan mata dan tidak istirahat baik. Kondisi ini membuatnya tersiksa.
Mereka juga dijanjikan oleh kandidat tersebut akan mendapatkan banyak uang, jabatan, kendaraan, dan lain-lain. Itu sebabnya mereka harus tahan mata selama berhari-hari.
Sambil makan, saya mengajak dia untuk tinggalkan urusan politik praktis itu. Akan tetapi, dia tetap bertahan di sini sampai pemilihan bupati selesai.
Saya juga tidak bisa memaksanya. Saya hanya mengingatkan dia agar tidak lupa pulang kampung.
Setelah makan saya kasih dia uang. Kami pun berpisah setelah makan di depan Kodim. Saya melanjutkan perjalanan untuk belanja kebutuhan saya sebelum akhirnya pulang ke kampung.
Pendataan penduduk ‘palsu’
Singkat cerita pilkada sudah usai. Banyak kampung dan distrik yang dimekarkan. Bapak Hageyarogo ini menjadi kepala kampung.
Setelah kampung dibentuk, pemerintah mewajibkan 140-an kampung baru di Jayawijaya mendata jumlah penduduknya.
Lalu bapak ini ke rumah saya, yang saya bangun atas bantuan masyarakat adat di kampung itu. Bantuan ini saya terima karena saya dianggap sudah lama tinggal di sini; sangat dekat dengan mereka, dan sering membantu mereka untuk ketik surat.
Tujuan kedatangannya adalah untuk meminta tolong membuat database tentang kependudukan. Data penduduk ini akan dimasukkan di Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil dan digunakan oleh Badan Pusat Statistik (BPS).
Katanya, bantuan dana atau material dalam bentuk apapun akan diturunkan berdasarkan jumlah penduduk. Jadi, siapa yang dianggap wilayahnya luas dan penduduknya banyak, akan mendapatkan banyak dana dalam jumlah yang besar.
Pemerintah sudah menyiapkan formatnya untuk dibagi ke setiap kampung. Tiap kampung memasukkan identitas (nama-nama orang/penduduk) dalam formulir yang sudah disiapkan. Saya bantu mereka untuk mengisi data pada formulir yang sudah tersedia.
Di sini saya masukkan nama-nama penduduk yang unik dan aneh. Saya diminta agar memasukkan 23 kepala keluarga di Kampung Yogonima itu terlebih dahulu. Dua puluh tiga kepala keluarga ini terdapat beberapa anak.
Setiap anak dianjurkan untuk dijadikan suami/istri kedua atau dengan kakak/adik. Selain itu, ada janda dan duda yang terpaksa harus memiliki suami dan istri, untuk dimasukkan ke dalam data pemerintah.
Saya juga diminta untuk memasukkan nama penduduk yang sudah meninggal.
Bahkan nama kayu, batu, pohon, rumput, tanah, udara, burung, dan lain sebagainya. Tapi menggunakan marga yang ada di kampung ini.
Data penduduk asli yang saya tahu hanya 23 orang pada saat itu (2006). Tetapi dalam pendataan ada 3.500 jiwa. Dengan demikian, sangatlah jelas bahwa tiga ribuan jiwa itu adalah data palsu.
Meskipun demikian, data tersebut sudah diterima oleh pemerintah daerah. Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil dan Badan Pusat Statistik sudah menerimanya.
Saya tidak tahu bagaimana mereka memverifikasi dan memvalidasi data tersebut. Mirisnya di media sering dikabarkan bahwa jumlah penduduk di kampung ini meningkat. Di samping itu, banyak angka kematian daripada kelahiran. Ini yang saya saksikan selama 20 tahun.
Dampak dari pemekaran kampung
Sebelum meninggalkan kampung ini, saya mulai mencatat beberapa gejala baru yang muncul akibat pemekaran kampung dan distrik.
Pertama, orang mulai melupakan kebiasaan berkebun, beternak, berburu, dan meramu;
Kedua, mereka mulai melupakan honai adat, keluarga, gereja, dan cerita-cerita dari kampung yang tidak ada di daerah lain;
Ketiga, ambisi, sentimen kebencian, dan iri hati mulai muncul;
Keempat, perpecahan muncul, kedamaian dan keharmonisan kehilangan makna;
Saya pulang ke Jayapura pada 2012 dengan kekhawatiran besar, bahwa kelak di kampung ini saya tidak betah dan tidak hidup damai seperti dulu, sebelum adanya pemekaran.
Jalan yang tepat untuk membuat masyarakat tenang adalah dengan mengajak mereka, untuk kembali pada budaya berkebun, beternak, berburu, dan meramu. Hanya itu yang bisa membuat mereka menikmati hidup tenang. Selain cara itu tidak akan pernah ada perubahan di Tanah Papua.
Masyarakat harus hidup dalam sistemnya sendiri. Orang tidak boleh memaksakan masyarakat keluar dari budayanya.
Otonomi khusus dan pemekaran daerah otonomi baru boleh-boleh saja, tetapi itu tidak akan benar-benar mensejahterakan orang Papua, selama mereka menjauhi budayanya.
Kalau pemerintah sayang dan punya hati, seharusnya orang Papua dikasih alat kerja, bukan otsus dan DOB. Pada hakikatnya mereka kuat, pintar kerja dan seterusnya.
Hanya dengan jalan itu, orang Papua bisa bangkit dan sejahtera. Saya pesimistis bahwa Otsus dan DOB yang sarat dengan kepentingan politik dan ekonomi global tadi bisa mensejahterakan orang Papua. Selesai. (*)
Penulis adalah masyarakat Papua, tinggal di Jayapura
Discussion about this post