Oleh: Lewi Pabika
Eksistensialisme berkembang pada abad ke-20 di Prancis dan Jerman akibat dari meletusnya Perang Dunia I dan Perang Dunia II. Pasca Perang Dunia I dan Perang Dunia II peradaban Barat yang sebelumnya stabil runtuh. Nilai kebebasan dan keadilan tidak begitu nampak dalam dinamika kehidupan masyarakat waktu itu. Situasi yang demikian, mengantarkan para eksistensialis untuk menemukan kebebasan eksistensial manusia yang sesungguhnya.
Kaum eksistensialis hendak membedakan antara eksistensi dan esensi. Kedua pokok tersebut menjadi perbincangan menarik di kalangan para filsuf. Menurut Kamus Filsafat eksistensi berarti keadaan yang aktual, yang terjadi dalam ruang dan waktu; dan bereksistensi yaitu menciptakan dirinya secara aktif, berbuat menjadi dan merencanakan. Sedangkan esensi merupakan sesuatu yang membedakan antara suatu benda dan corak-corak benda lainnya. Esensi adalah yang menjadikan benda itu seperti apa adanya, atau suatu yang dimiliki secara umum oleh bermacam-macam benda. Yang pertama adalah esensi baru kemudian muncul eksistensi. Asumsi ini ditolak oleh kaum eksistensialis, utamanya Sartre yang justru mengatakan bahwa ‘eksistensi sebelum esensi’ atau eksistensi mendahului esensi.
Berdasarkan itu, para filsuf eksistensial hendak berusaha menemukan kebebasan manusia dengan menunjukkan suatu fakta terhadap benda-benda sebagai objek yang tidak mempunyai makna tanpa keterlibatan empiris manusia. Kaum eksistensial mengklaim bahwa manusia merupakan suatu titik sentrum dari segala relasi, sebagai subyek dengan pengalamannya. Justru dengan kesadaran ‘keberadaannya’, eksistensi manusia tersebut diakui oleh Sartre melalui cara berada manusia dengan dua cara yaitu etre-en-soi (berada pada dirinya) dan etre-pour-soi (berada untuk dirinya).
Paul Jean Sartre: Kebebasan eksistensialisme
Paul J. Sartre adalah seorang filsuf eksistensialisme asal Prancis (1905-1980). Dalam pemikiran filsafat eksistensialisme Sartre bukanlah orang pertama. Eksistensialisme mulai lahir melalui pemikiran filsuf Denmark Soren Kierkegaard (1813-1855) mengenai filsafat Kristiani, sehingga ia disebut sebagai bapak eksistensialisme.
Namun, pemikiran Sartre dapat dipengaruhi oleh Heidegger (1917-1976) seorang tokoh eksistensialisme asal Jerman juga beberapa kaum eksistensialis lainnya.
Dalam perkembangan eksistensialisme Sartre menjadi salah satu tokoh di abad ke-20. Aliran filsafat yang dianut Sartre termasuk dalam kelompok eksistensialisme atau aliran filsafat yang bertitik tolak dari eksistensi manusia.
Etimologi dari ‘eksistensialisme’ terdiri dari kata ex (keluar), sistere (ada) dan me (aliran/konsep). Dalam Kamus Bahasa Indonesia, makna dari pada eksistensi, adalah paham (nya) berpusat pada manusia individu yang bertanggung jawab atas kemauannya yang bebas tanpa mengetahui mana yang benar dan mana yang tidak benar, (Sazza, 2014). Sehingga eksistensi manusia selalu memiliki kebebasan sejauh tindakannya mendatangkan manfaat bagi eksistensi hidupnya.
Manusia harus selalu siap bereksistensi dan mengisi nilai sendiri bagi eksistensi hidupnya. Untuk mewujudkan eksistensi tersebut Sartre mengakui bahwa ‘aku terhukum bebas’. Dalam konsep umum ‘manusia terhukum bebas’. Itu berarti bahwa tidak ada pengecualian dalam kebebasan, selain kebebasan itu sendiri. Itulah makna kebebasan manusia.
Kebebasan Sartre memperlihatkan dalam filsafatnya tentang kebebasan manusia melalui dua hal mendasar yaitu etre-en-soi (berada pada dirinya) dan etre-pour-soi (berada untuk dirinya). Kedua hal ini sebenarnya Sartre menunjukkan eksistensi manusia terhadap eksistensi manusia itu sendiri.
Maksud dari berada pada dirinya ‘etre en soi’ adalah kesadaran dirinya yang berada. Banyak hal yang berada seperti pohon, manusia, hewan dan benda-benda lainya sebagai yang berada dengan kekhasan masing-masing. Semua benda tersebut berada untuk dirinya sendiri tanpa ada alasan konkret mengapa ia berada. Semua memiliki kebebasan untuk berada. Manusia salah satu makhluk yang memiliki kebebasan dengan sadar akan dirinya sendiri sebagai subjek yang berada.
Sementara, berada untuk dirinya ‘etre pour soi’ yaitu berada dengan sadar akan dirinya yaitu cara berada manusia. Etre-pour-soi tidak mentaati prinsip identitas seperti halnya ’etre-en-soi. Manusia memiliki relasi intim dengan dirinya sendiri sebagai yang berada. Keberadaan tersebut memperlihatkan tanggung jawab manusia atas fakta yang berbeda dengan benda-benda atau hewan. Karena manusia tidak memiliki aspek kesamaan dengan benda-benda, benda tetaplah benda toh. Manusia memiliki kesadaran, yaitu kesadaran yang reflektif dan kesadaran yang pra reflektif.
Sartre mengakui bahwa kesadaran manusia bukalah akan kesadaran dirinya saja melainkan juga kesadaran pada dirinya. Dalam kesadaran itu memiliki jarak yang disebut ketiadaan antara kesadaran dan diri. Karena kesadaran tak dapat dipandang sebagai kesadaran toh tetapi berada pada dirinya (etre en soi) ke untuk dirinya (etre pour soi). Kesadaran yang muncul dari dirinya membuat dirinya mencari dimana harus ia berada atau berdiri. Ia akan berusaha untuk dapat “berada dalam diri”, akan tetapi hal itu tidak mungkin, karena tidak mungkin makhluk yang “berada untuk diri” berubah menjadi “berada-dalam-diri”.
Oleh karena itu, manusia merasa terhukum kepada kebebasan.
Kebebasan adalah hakikat atau esensi manusia. Sehingga manusia itu sendiri berusaha untuk menciptakan kebebasan untuk dirinya. Dengan kebebasan tersebut manusia dapat mengatur, memilih dan dapat memberi sebuah makna terhadap semua realitas.
Pembungkaman Ruang Kebebasan di Papua
Orang Papua dipandang oleh Jakarta sebagai pemberontak, separatis, kepala batu, dan pengacau tatanan negara Indonesia. Sebetulnya tidak demikian. Orang Papua selalu menuntut hak dan kebebasan bukan hanya sekadar hak dan bebas untuk berkeliaran di Indonesia. Bukan pula sekadar bebas dari aturan, hukum undang-undang dan norma-norma yang berlaku di Indonesia. Tetapi menuntut hak dan kebebasan untuk menentukan nasib sendiri berdasarkan mekanisme Undang-Undang 1945 “kemerdekaan ialah hak segala bangsa”.
Berarti jelas bahwa tuntutan orang Papua adalah tuntutan kemerdekaan atau kebebasan untuk mendirikan West Papua sebagai suatu negara seperti negara-negara di belahan dunia lain.
Namun, kebebasan tersebut selalu dibungkam oleh Jakarta melalui berbagai cara. Cara-cara tersebut selalu berdasarkan kekuatan militerisme.
Kita boleh melihat dari bentuk-bentuk atau cara-cara pembungkaman kebebasan yang dilakukan oleh Jakarta berdasarkan kekuatan militer terhadap orang Papua sebagai berikut;
Pertama, secara defacto Papua Barat sudah merdeka pada 19 Oktober 1961, dan sesungguhnya 1 Desember 1961 itu sudah diakui secara de jure oleh Belanda, Australia dan Inggris. Hal itu orang Papua sudah tahu bahwa 1 Desember 1961 adalah hari kemerdekaannya. Namun, hanya karena permainan politik kolonial Indonesia membungkam secara terang-terangan sejarah 1 Desember 1961 melalui kekuatan militer yang memuncak pada Perjanjian New York 15 Agustus 1962.
Persoalan ini merupakan pembungkaman yang paling sadis dilakukan oleh Jakarta terhadap orang Papua. Rupanya Jakarta bekerja sama dengan Amerika dan PBB untuk kepentingan ekonomi belaka yang menjadi bukti merebut kekayaan alam di Papua (PT Freeport). Maka, secara paksa Jakarta mengambil kebijakan melalui peristiwa Pepera 1969.
Orang Papua menilai bahwa Pepera itu dilakukan secara tidak demokratis. Karena yang dilibatkan hanya sebagian orang Papua melalui kekuatan militer. Sehingga muncullah Organisasi Papua Merdeka (OPM) yang hingga kini masih eksis menuntut kebebasan. Kemudian muncul organisasi-organisasi lain sebagai wadah persatuan menuju kebebasan menentukan nasib sendiri.
Kedua, kehadiran PT Freeport. Berdasarkan catatan Markus Haluk dalam buku yang berjudul ‘Menggugat Freeport’, PT Freeport sudah direncanakan jauh sebelum Pepera. Kemudian, eksploitasi alam mulai nampak sejak 1967. Masyarakat Amungme-Kamoro yang adalah pemilik hak ulayat melakukan protes. Pada 9172 Indonesia mengirimkan TNI Angkatan Darat untuk mengamankan masyarakat yang hendak memprotes itu. Pada 1973, secara paksa Presiden Soeharto meresmikan PT Freeport.
Setelah diresmikan, pembangunan dan pembongkar masuk, tetapi masyarakat tetap melakukan protes. Pada 1977 seluruh masyarakat Papua melakukan protes dan penolakan. Sayangnya, aksi itu dihadang oleh TNI dengan kekerasan dan melakukan penembakan dan pengeboman (Haluk, 2014: 49).
Kemudian, muncullah operasi militer yang berkepanjangan hingga hari ini, yang menyebabkan masyarakat mengungsi dan masih ada dalam pengungsian sampai hari ini.
Ketiga, Otonomi Khusus (Otsus) 2001. Kehadiran Otsus merupakan solusi yang dibangun oleh Jakarta untuk menyelesaikan konflik berkepanjangan itu. Juga membangun aspek-aspek kehidupan seperti pendidikan, kesehatan, ekonomi dan lain sebagainya.
Namun, realitanya bukan meredakan konflik melainkan membangun konflik baru dan semakin merusak tatanan kehidupan orang Papua. Masyarakat sudah tidak bebas lagi membangun perekonomian lokal, kesehatan yang sehat, dan pendidikan yang layak.
Dan Keempat, adalah kehadiran DOB dan Otsus Jilid II. Jakarta dan tim sukses “DOB-Otsus”nya di Papua memang sangat “kepala batu” untuk meloloskan kebijakan DOB dan Perpanjangan Otsus Jilid II di Papua. Padahal, “libido politis abnormal” itu kontras dengan fakta hari ini yang menunjukkan bahwa mayoritas rakyat Papua dari pantai sampai gunung sudah terang-terangan defacto tapi juga dejure menyatakan secara tegas, keras dan jelas bahwa mereka menolak DOB, Otsus, dan menuntut referendum.
Sayangnya, DOB dan Otsus sudah disahkan berdasarkan mekanisme Undang-Undang Nomor 14 (Provinsi Papua Selatan), nomor 15 (Provinsi Papua Tengah) dan nomor 16 (Provinsi Papua Pegunungan) tahun 2022. Kemudian, Undang-Undang nomor 21 tahun 2001 tentang Otonomi khusus bagi Provinsi Papua dan Papua Barat dapat dilanjutkan.
Kesimpulan
Filsafat eksistensialisme dapat berbicara tentang cara berada manusia di dunia ini (etre-en-soi), cara tersebut hanya ada pada manusia, karena hanya manusialah yang bereksistensi. Semua hewan, benda dan tumbuhan memang ada tapi tidak bereksistensi.
Eksistensialisme menekankan bahwa manusia berhadapan dengan manusia kepada dirinya sendiri sebagai subjek eksistensial. Eksistensi memang mendahului esensi, namun Sartre menjelaskan bahwa makna dari eksistensi mendahului esensi manusia adalah manusia yang hidup di dunia ini harus memikul tanggung jawab yang besar untuk dirinya dan masa depannya. Sebab eksistensi manusia pada esensialnya menunjukkan kesadaran manusia (etre-pour-soi), karena manusia berhadapan dengan dunia dimana dia berada. Keberadaan tersebut dapat diberi kebebasan terhadap semua realitas.
Manusia Papua yang adalah manusia yang sadar dari dirinya, untuk dirinya merasa bahwa eksistensinya dan ruang kebebasan sedang dihancurkan dan dibumkam oleh kepentingan para politikus, kapitalis dan mafia NKRI. Maka, dengan sadar menuntut kebebasannya guna mempertahankan eksistensinya serta seluruh kosmos yang ada di Papua. Jadi, orang Papua bukan menuntut kebebasan sekedar bebas melainkan menuntut kebebasan sebagai bagian dari dirinya untuk dirinya guna membangun dan membentuk Papua sebagai suatu Negara. (*)
Referensi:
Sartre, Eksistensialisme dan Humanisme, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2002
Firdaus M. Yunus, Kebebasan Dalam Filsafat Eksistensialisme Jean Paul Sartre, jurnal Al- Ulum, Desember 2011
Polanyi, Kajian Tentang Manusia, Yogyakarta, PT. Kanisius, 2001
*Penulis adalah mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Teologi (STFT) Fajar Timur Abepura, Jayapura-Papua