Jayapura, Jubi – Aktivis Hak Asasi Manusia Papua, Theo Hesegem menilai Keputusan Presiden Nomor 17 Tahun 2022 tentang Pembentukan Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang Berat Masa Lalu hanya upaya Pemerintah Indonesia untuk mencegah intervensi Perserikatan Bangsa-Bangsa atas pelanggaran HAM di Tanah Papua. Hal itu dinyatakan Hesegem dalam Diskusi Kelompok Terpumpun Aliansi Demokrasi untuk Papua di Kota Jayapura, Selasa (4/10/2022).
Hesegem menyatakan Keputusan Presiden Nomor 17 Tahun 2022 tentang Pembentukan Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang Berat Masa Lalu (Kepres Tim Pelanggaran HAM Masa Lalu) dibuat untuk menghindari intervensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) atas berbagai kasus kekerasan aparat di Tanah Papua. Ia menilai Kepres itu akan sulit memberikan keadilan bagi korban.
“Tim yang dibentuk itu akan menyelesaikan berbagai kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia, seperti Wasior, Wamena, dan Paniai yang sementara disidangkan di Makassar. Saya menilai Keputusan Presiden itu dibuat hanya untuk menutup [kemungkinan] intervensi PBB terhadap berbagai persoalan pelanggaran HAM yang terjadi di Tanah Papua,” katanya.
Hesegem mengatakan bahwa tidak menutup kemungkinan pegiat HAM lainnya telah mengupayakan penyelesaikan berbagai bentuk pelanggaran HAM yang terjadi. Akan tetapi, selama ini pemerintah tidak pernah merespon berbagai upaya itu dengan baik.
“Negara baru merespon satu kasus, yakni Paniai Berdarah yang [sidangnya sedang] berjalan. Sementara kasus-kasus besar di Papua belum diselesaikan oleh pemerintah Indonesia. Kalaupun Negara mau menyelesaikan berbagai macam pelanggaran HAM, semestinya menyiapkan segala sesuatunya dengan baik dan benar,” kata Hesegem.
Hesegem mengatakan orang Papua dipaksa menerima kehendak pemerintah, termasuk dalam upaya untuk menyelesaikan pelanggaran HAM. Ia menilai pemerintah akan mengalami kesulitan jika masyarakat Papua meminta pemerintah untuk melakukan dialog politik, dan bukan dialog HAM.
“Menurut saya, itu sangat sulit. Saya yakin pemerintah dengan waktu yang singkat ini tidak mungkin menyelesaikan berbagai pelanggaran HAM yang ada, apalagi mau menjawab dialog politik yang ditawarkan masyarakat,” katanya.
Hesegem mengatakan keluarga korban meminta kasus pelanggaran HAM di Tanah Papua diselesaikan melalui pelurusan sejarah. Ia mengingatkan bahwa para pendamping dan aktivis HAM tidak boleh mendikte keluarga korban untuk menerima penyelesaian non-yudisial yang akan ditawarkan pemerintah.
“Kami sebagai pendamping selama ini tidak mungkin mau memaksa masyarakat atau keluarga korban untuk menerima tawaran, sebab merekalah yang layak untuk berbicara proses penyelesaiannya mereka mau seperti apa. Kami selama ini juga [mengalami] dilema, sebab ada pihak keluarga korban yang meminta untuk menyelesaikan pelanggaran HAM melalui mekanisme dialog atau perundingan. Apapun bentuknya, semua akan bermuara kepada keluarga korban, bahkan korban pelanggaran HAM itu sendiri,” katanya.
Menurut Hesegem, Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang Berat Masa Lalu yang dibentuk pemerintah sebaiknya diarahkan untuk mengunjungi korban pelanggaran HAM terlebih dahulu. Setelah itu, barulah tim itu bertemu dengan para pendamping dan penggiat HAM.
“Apabila mereka datang ke pegiat HAM untuk menanyakan berbagai pelanggaran HAM, sebagai pegiat HAM kami bisa menyampaikan kepada mereka sejumlah kasus HAM yang terjadi di Tanah Papua. Tetapi, apakah keluarga korban akan mendapatkan rasa keadilan? Menurut saya, tim yang dibentuk Presiden itu harus bertemu dengan korban. Mereka datang menerima aspirasi langsung dari korban, apa yang korban mau, itu yang mereka harus mendengarkan dan menyampaikan kepada Presiden,” katanya. (*)