Jayapura, Jubi – Gubernur Papua, Lukas Enembe mengatakan pemekaran Provinsi Papua atau Daerah Otonomi Baru (DOB) yang direncanakan oleh pemerintah pusat belum mungkin dilakukan. Jika tetap dipaksakan, itu akan menjadi keputusan yang tidak bijaksana,
“Saya menjadi bupati selama 10 tahun. Kemudian jadi Gubernur ini sudah dua periode. Jadi saya sangat paham kemampuan Papua, baik kemampuan sumberdaya ekonomi maupun kemampuan sumberdaya manusianya. Papua belum bisa memenuhi kebutuhan tiga provinsi baru,” jelas Gubernur Enembe kepada Jubi, Jumat (27/5/2022) di Jakarta.
Penduduk Provinsi Papua, menurut Enembe tidak bisa memenuhi kebutuhan sumberdaya manusia yang dibutuhkan oleh DOB yang direncanakan tersebut. Demikian juga kebutuhan fiskal DOB baru tersebut akan sangat bergantung pada pemerintah pusat atan APBN. Pemerintah Pusat merencanakan tiga DOB yakni, Provins Papua Pegunungan Tengah, Papua Tengah dan Papua Selatan.
“Berapa jumlah penduduk Papua? Hanya 3 jutaan saja. Belum lagi kalau kita bicara Orang Asli Papua (OAP). Ini yang jadi kekhawatiran Rakyat Papua. Ini membuka pejuang bagi saudara-saudara kita dari luar Papua untuk masuk ke Papua. Bukan hanya untuk mengisi pos-pos pemerintahan namun juga sektor-sektor swasta yang dibutuhkan sebuah provinsi baru,” kata Enembe.
Enembe mengatakan, polemik pemekaran Papua ini sebenarnya sudah diantisipasi oleh pemerintahannya saat periode pertama kepemimpinannya sebagai Gubernur Papua. Provinsi Papua telah mengajukan Draft UU Otsus Plus kepada Jakarta unduk dibahas dan diundangkan. Ia menambahkan draft UU Otsus Plus juga telah mengantisipasi meningkatnya kekerasan bersenjata di Papua.
“Tapi UU Otsus Plus ditolak Jakarta. Jakarta merevisi UU Otsus yang sekarang sedang diberlakukan,” kata Enembe.
Disisi lain, Peneliti utama dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Profesor Cahyo Pamungkas melihat rencana pemekaran Provinsi Papua menjadi tiga provins baru ini sebagai kebijakan yang kontroversial.
Kebijakan pemekaran Papua yang terbaru akan mendorong ketidakpercayaan Papua yang meluas kepada pemerintah pusat dan akan semakin menyulitkan negara dalam mengakhiri konflik bersenjata Papua,” kata Cahyo,
Menurutnya, pemekaran provinsi Papua yang dibuat oleh pemerintah pusat ini dilanjutkan oleh pemerintah pusat pada tahun 2003, dan dilegalkan pada tahun 2021.
“Pemekaran ‘top down’ yang dibuat sepihak oleh pemerintah pusat ini seperti mengulangi model tata kelola kekuasaan Belanda untuk terus melakukan eksploitasi sumber daya alam dan menguasai tanah Papua,” tegasnya.
Meski demikian, Gubernur Enembe berharap rencana pemekaran ini bisa menghormati proses yang sedang berjalan di Mahkamah Konstitusi (MK). Saat ini, Majelis Rakyat Papua sedang mengajukan permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Otonomi Khusus (UU Otsus) Papua di MK.
“Rencana pemekaran ini seharusnya menghargai proses yang sedang berjalan di MK,” ujar Enembe. (*)
