Jayapura, Jubi – Hanya bermodalkan martelu, betel, dan gergaji besi, orang Papua era 1980-1990-an mencari dan membongkar bom sisa Perang Dunia Kedua. Risiko jelas terjadi jika terlambat menyiram air saat menggergaji bom. Akibatnya panas dan meledak. Nyawa pun melayang, bahkan ada pula yang sampai cacat tubuh dan kaki buntung alias putus.
Itulah kisah pula, para pembongkar bom di Tanah Papua kala itu. Hingga tak heran kalau mantan Kapolres Manokwari era 1990-an, mendiang Kolonel Polisi (Purn) Amandus Mansnembra, secara guyon atau mob (cerita lucu orang Papua) mengatakan kalau orang Amerika menjinakkan bom atau meledakkan bom harus memakai alat pelindung diri yang lengkap mulai dari masker, jaket, dan topi pelindung diri.
“Berbeda dengan para profesor dari Papua hanya bermodal martelu, kapak, betel, dan gergaji besi, mereka berani membongkar bom peninggalan Perang Dunia Kedua. Padahal berbahaya tetapi mereka nekat menggergajinya,” katanya kala itu sebagaimana dituturkan Karel Septinus, warga Manokwari, kepada jubi.id, Minggu (25/12/2022).
Lebih lanjut Septinus menambahkan kala itu memang sedang maraknya warga di sana menggergaji bom sisa peninggalan PD II.
“Terkadang sisa bom itu merenggang nyawa manusia,” katanya.

Berbeda dengan Papua kala itu, kini pemerintah Amerika Serikat baru saja mengirim tim ahlinya untuk menelisik sisa-sisa bom di Honiara, Kepulauan Solomon.
Maklum, pada 80 tahun lalu, terjadi pertempuran antara Jepang dan Amerika Serikat di Pulau Guadalcanal hingga menewaskan banyak pasukan. Sampai sekarang sisa-sisa amunisi masih tertinggal dan sedang selidiki untuk dihancurkan.
Begitupula di Frankfurt Jerman, Suara.com melaporkan, kini setelah 75 tahun berakhirnya PD II, warga masih sering menemukan beberapa senjata perang yang masih aktif dan bisa meledak setiap saat.
Pada Juni 2022, sebuah bom seberat 500 kilogram ditemukan di halaman pusat konvensi Frankfurt. Sebelumnya, pada Juli 2019, bahan peledak besar lainnya ditemukan di dekat markas besar Bank Sentral Eropa dan membuat 16.500 orang terpaksa dievakuasi
Pada September 2017, sekitar 65.000 warga Frankfurt dipaksa meninggalkan rumah mereka agar bom dua ton bisa dijinakkan dengan aman. Insiden tersebut merupakan evakuasi publik terbesar sejak akhir perang tahun 1945.
Jepang mulai masuk ke Hollandia (Jayapura sekarang) pada 19 April 1942, setelah menyerbu pangkalan militer di Pearl Harbour, Hawii pada 7 Desember 1941. Selanjutnya Jepang mendiami Hollandia (Papua) sejak 1942-1943, dan pada 24 April 1944 tentara Sekutu pimpinan General Douglas Mac Arthur menyerbu Hollandia dan Jepang menyerah.
Dua negara yang berperang di Papua sehingga bom yang tersisa jelas milik Jepang dan Amerika Serikat. Saking seringnya tahu membongkar bom, orang Papua dapat membedakan model bom Jepang dan Amerika Serikat. Mereka bilang kalau bom Jepang jelas ada tulisan Jepang atau huruf Kanji.
“Kalau hendak membetel bom Jepang harus mulai dari arah kiri sedangkan bom Amerika Serikat jelas petunjuknya bahasa Inggris dan kalau mau betel diketok dari arah kanan,” itulah kisah yang diceritakan kembali oleh Karel Septinus.

Kisah tragis bom meledak, pernah pula terjadi di depan Kantor Gubernur Papau era 1970-an di Kota Jayapura. Waktu itu di depan Kantor Gubernur Irian Jaya terdapat sebuah kapal karam sisa PD II.
Bertepatan dengan itu, ada warga yang sedang menggergaji bom peninggalan PD II. Di saat yang bersamaan anak-anak dari kompleks Bhayangkara di atas Dok II sedang berpiknik atau mandi-mandi di atas kapal karam tersebut.
Tiba-tiba bom meledak dan menimpa anak anak Bhayangkara. Ada yang meninggal dan cacat. Almarhum Elly Tiba, mantan penjaga gawang Persipura, sempat terkena serpihan ledakan bom membuat kaki kirinya agak pincang. Beruntung Elly Tiba selamat dan sempat menjadi penjaga gawang Persipura.
Begitulah kisah peninggalan bom Perang Dunia Kedua yang dikerjakan secara manual dan tanpa pelindung serta bukan orang uang ahli. (*)
