Yapen, Jubi – Masyarakat Kampung Asai, Distrik Windesi, Kepulauan Yapen, Papua melakukan kesepakatan buka sasi, setelah satu tahun dilaksanakan.
Sasi “Tasamu Rawanang” merupakan bentuk konservasi tradisional dengan menutup sebagian kawasan perairan dengan tujuan melindungi, menjaga dan memulihkan sumber daya perikanan di tiga kawasan yaitu Depawawo, Owondau dan Mangkomamuni.
Acara buka sasi dibuka pada Selasa (29/8/2023), Sekretaris Daerah (Sekda) Kabupaten Kepulauan Yapen, Kasdim 1701 Kepulauan Yapen-Waropen, Asisten 1 Sekda Yapen, Pemerintah Distrik Windesi, Pemerintah Kampung Asai, Tokoh gereja, dan perwakilan masyarakat dari tiga kampung serta masyarakat Kampung Asai.
Sekda Kabupaten Kepulauan Yapen, Erni R Tania, mengapresiasi langkah positif yang dilakukan masyarakat dengan tidak melakukan perburuan terhadap habitat dan biota laut dalam kurun waktu tertentu. Hal ini dimaksud agar seluruh proses pertumbuhan dan regenerasi bagi habitat laut dapat berjalan dengan baik.
Dikatakan, selain upaya dan komitmen masyarakat dalam melaksanakan perlu dengan dan pelarangan selama waktu yang ditentukan. “Kepada pihak-pihak yang terlibat langsung dalam kegiatan ini, seperti WWF yang terus mendampingi masyarakat di Kampung Asai ini, atas nama Pemerintah Daerah, kami sampaikan banyak terimakasih.
“Hal yang baik ini kiranya bisa dilakukan juga oleh masyarakat di kampung-kampung lain sehingga pertumbuhan dan potensi habitat laut yang melimpah ini bisa tetap ada dan dinikmati oleh anak cucu kita serta generasi-generasi yang akan datang,” ujar Sekda Erni.
Kepala Distrik Windesi, Simon Bonay menjelaskan, dalam kurun waktu satu tahun sasi laut “Tasamu Rawanang” tinggal tanpa disentuh atau dimasuki oleh masyarakat dalam kesehariannya sebagai nelayan.
Kesadaran masyarakat sangat tinggi, dan kegiatan seperti ini diharapkan akan terus berjalan di waktu-waktu berikutnya.
Menurut Bonay, sasi dilakukan karena adanya penurunan jumlah hasil tangkap selama kurun waktu lima tahun terakhir.
Hal ini ditandai juga dengan berkurangnya jumlah dan jenis ikan, serta jarak yang semakin jauh bagi masyarakat nelayan untuk mencari ikan.
Setahun belakangan ini Yayasan WWF Indonesia telah memfasilitasi pengambilan data pesisir laut menggunakan pendekatan Ecosystem Approach for Fisheries Management (EAFM), atau Pengelolaan Perikanan berbasis Ekosistem.
Melalui pendekatan tersebut, didapat bahwa kondisi perikanan di Kampung Asai kurang baik, hanya terdapat 39 jenis ikan. Hal tersebut diperburuk dengan adanya aktivitas masyarakat dari luar kampung yang masih melakukan praktik penangkapan ikan dengan menggunakan potasium.
Sementara total luasan diberlakukannya sasi mencapai 284 hektar, ketiga kawasan ditutup dari aktivitas pengambilan hasil laut sampai kedalaman 8-12 meter.
“Tasamu Rawanang” yang diberlakukan di Asai, merupakan Sasi pelarangan pemanfaatan yang didasarkan pada lokasi (sasi tempat), dan jenis (sasi jenis).
“Harapan kami apa yang telah dilakukan satu tahun, tidak hanya berakhir di hari ini saja, tetapi ke depannya lebih banyak lagi hal yang bisa dilakukan. Misalnya pelatihan untuk masyarakat yang ada di sembilan kampung, sehingga masyarakat bisa lebih memilki kesadaran untuk melestarikan alam laut yang ada di sekitarnya,” kata Bonay.
Wika Rumbiak, Acting Head of Forest & Wildlife Program, WWF-Indonesia, menjelaskan wujud dukungan dan komitmen terkait penguatan niai-nilai lokal yang berlaku di masyarakat sangat penting.
Sehingga, masyarakat saling terhubung dan menemukan solusi lokal berbasis alam yang efektif dan inklusif untuk pengelolaan yang berkelanjutan, resiliensi pada bencana iklim, dan juga terbuka untuk kolaborasi bersama Pemerintah Daerah, Perguruan Tinggi, mitra pembangunan dan masyarakat adat.
“Harapannya masyarakat sekitar paham mengenai aturan tangkap dengan tetap menjalankan kearifan tradisional serta pembelajaran tentang konservasi inklusif yang dilakukan masyarakat adat, demi menjaga sumber daya laut yang dapat dipergunakan bersama untuk kelangsungan hidup kini dan masa mendatang.
Oleh sebab itu, untuk menjamin keamanan dan ketertiban, telah dibentuk kelompok pengelola sasi yang akan melakukan patroli di wilayah sasi dan melakukan sosialisasi kepada kampung-kampung tetangga untuk memastikan aturan-aturan yang berlaku,” ujarnya.
Pembukaan sasi diawali dengan atraksi tarian adat, dan ibadah singkat buka sasi di Gereja. Upacara pembukaan sasi dilakukan di atas perahu yang dilakukan di tengah laut dengan dipimpin oleh Pendeta dan dihadiri tamu undangan dan masyarakat Kampung Asai.
Sasi resmi dibuka dengan ditandai oleh Pendeta yang melakukan doa buka sasi sembari membentangkan tangan ke arah laut.
Dengan dibukanya Sasi, hasil laut kembali melimpah sehingga dapat meningkatkan sumber pendapatan keluarga dan masyarakat setempat. Kemudian, mereka juga berharap bahwa masyarakat dapat tetap mematuhi aturan dan mempraktikan aktivitas memancing ramah lingkungan dengan menggunakan alat tangkap tradisional.
Tidak hanya Kampung Asai saja menanti buka sasi. Namun, turut dinanti pula oleh masyarakat kampung lain yang juga memanfaatkan hasil laut di wilayah yang sama. (*)