Sentani, Jubi – Kepala Suku Kampung Ketmug, Distrik Kemtuk Gresi, Kabupaten Jayapura, Yance Waicang menegaskan bahwa di dalam kampung adat tidak boleh ada dualisme kepemimpinan. Hal ini terkait dengan adanya kepala kampung adat yang bukan kepala Suku pada kampung tersebut.
Waicang menyampaikan dualisme kepemimpinan itu masih berjalan di kampung-kampung, yang sudah beralih status dari kampung dinas ke kampung adat di Kabupaten Jayapura.
“Kepala kampung adat yang bukan kepala suku tidak bisa memerintah saya sebagai kepala suku, sebagai pemilik hak ulayat dan masyarakat di kampung ini,” katanya saat ditemui di Kampung Ketmug, Selasa (13/9/2022).
Dikatakan, selama kepala kampung adat menjalankan roda pemerintahannya, tidak pernah ada koordinasi dengan dirinya sebagai kepala suku. Bahkan menurutnya sebagian besar Alokasi Dana Kampung (ADK) yang diterima, dari tahap pertama maupun tahap kedua, kesannya dipergunakan secara diam-diam tanpa menjawab keluhan masyarakat, apalagi berkoordinasi dengan kepala suku.
“Sebagai kepala suku, ada dana afirmasi yang kami terima sebesar 100 juta, dan itu hanya sekali dalam dua tahun yang lalu. Sampai hari ini, dana afirmasi yang kami pergi koordinasikan ke Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Kampung, belum ada jawaban,” katanya.
Ia berharap agar pemerintah daerah dapat memperhatikan hal ini dengan serius, sebab kampung adat tidak bisa berjalan ketika ada dualisme kepemimpinan di dalamnya, karena kepala suku satu-satunya pemimpin di dalam kampung adat.
“Masyarakat di kampung sangat menghormati kepala suku, tidak mungkin seseorang yang bukan kepala suku mau atau bisa membuat keputusan atau kebijakan terhadap hak ulayat, prosesi adat, dan hal-hal yang menyangkut ritual adat dan sebagainya,” jelasnya.
Hal senada juga disampaikan oleh Kristian Done, Kepala Suku Kampung Waibron Bano, Distrik Sentani Barat Moi. Menurutnya dana afirmasi bagi kepala suku yang awalnya 100 juta rupiah, berkurang menjadi 94 juta lalu berkurang lagi sampai hanya 20 juta.
Menurutnya, setelah 14 kampung yang mendapat nomor registrasi atau pengakuan sebagai kampung adat, maka status kampung dinas dihilangkan dan semua sistem pemerintahan kampung di bawah kendali seorang kepala suku, done, ondofolo, atau ondoafi.
“Ada banyak kesalahan, penyelewengan dana bantuan pemerintah daerah, dan program pembangunan tidak berjalan di dalam kampung. Hak masyarakat adat diabaikan, ekonomi dan kesejahteraaan masyarakat tidak diperhatikan. Oleh sebab itu, dualisme ini dihentikan saja di dalam kampung adat, dan biarkan kepala suku yang berkuasa serta memerintah atas semua masyarakatnya, hutan, tanah, dan air serta seluruh potensi yang ada di dalam kampung adat tersebut,” tegasnya. (*)