Jayapura, Jubi – Pada setiap momen Hari Raya Idulfitri atau Lebaran, ketupat menjadi salah satu makanan wajib yang tak pernah absen. Namun kehadirannya tak hanya sebatas makanan, tapi juga pembawa berkah dan simbol persaudaraan.
Bagi sebagian orang, ketupat hanya sebagai makanan biasa. Tapi dibalik cerita budaya, sebungkus ketupat punya makna istimewa. Ketupat sangat lekat dengan budaya Jawa, konon sejak zaman Kanjeng Sunan Kalijaga sebagai sarana berdakwah dalam menyiarkan islam.
Ketupat berasal dari istilah Jawa “Kupat”, yang memiliki makna ganda yakni “Ngaku Lepat” yang artinya mengakui kesalahan dan “Laku Papat” atau empat tindakan. Empat tindakan yang dimaksud yakni Luberan (melimpahi), Leburan (melebur dosa), Lebaran (pintu ampunan terbuka lebar), dan Laburan (menyucikan diri).
Itu sebabnya, ketupat selalu menjadi makanan wajib yang disajikan saat Hari Raya saling bermaaf-maafan, Lebaran atau Idulfitri di hampir semua wilayah di Indonesia.
Meskipun ketupat identik sebagai makanan khas saat Hari Raya umat muslim, namun di Kota Jayapura, Papua, sejak lama ketupat juga sering disajikan pada Hari Raya Natal.
Ketika Idulfitri tiba, masyarakat Kota Jayapura yang nasrani selalu bersilaturahmi ke rumah rekan, sahabat maupun keluarga mereka yang muslim. Dan ketupat masih menjadi hidangan wajib yang turun temurun disajikan untuk para tamu untuk disantap bersama menu lainnya, seperti opor ayam, kari ayam, ataupun coto Makassar. Begitu pula saat Hari Raya Natal, bagi sebagian orang, ketupat selalu menjadi makanan pelengkap.
Karena kehadirannya yang diterima oleh semua kalangan dari berbagai keyakinan dan sebagai makanan untuk menjamu para tamu yang bersilaturahmi, Antropolog Universitas Cenderawasih (Uncen) Hanro Yonathan Lekitoo sepakat kalau ketupat bisa disebut sebagai simbol toleransi antar umat beragama.
“Kalau ketupat di Indonesia itu memiliki latar belakang dari acara keagamaan umat muslim saya pikir itu sangat menarik sekali, karena ketupat itu bisa diterima oleh semua kalangan termasuk muslim dan nasrani. Dan bahkan semua agama. Kalau itu bisa jadi simbol toleransi saya sangat setuju sekali karena ketupat itu makanan yang sangat familiar,” kata Hanro kepada Jubi, Rabu (10/4/2024).
Hanro mengatakan, ketupat bukan hanya menjadi simbol toleransi tapi juga kontak budaya. Yang mana orang di Papua bisa menerima walaupun bukan bagian dari budaya asli Papua.
“Karena itu makanan yang sebenarnya bukan budaya dari sini, tapi semua orang bisa menerima. Berkaitan dengan simbol toleransi, saya akui itu, dan ketupat memiliki makna yang sangat baik sekali,” ujarnya.
Ketupat juga membawa berkah bagi Mama-mama Papua yang menjadi pedagang musiman dengan berjualan anyaman atau kulit ketupat dari daun kelapa atau janur.
“Ketupat punya sisi positif secara ekonomi, sebagai dagangan musiman bagi Mama-mama Papua,” katanya.
Mama Laura, asli Biak, yang berjualan anyaman kulit ketupat setiap tahunnya menjelang lebaran juga mengaku hasil yang didapat cukup menguntungkan. Ia menjualnya dengan harga Rp10 ribu hingga Rp15 ribu perikat yang berisi 10 ketupat.
“Jualan anyaman ketupat dari daun kelapa ini sudah setiap tahun kalau mau lebaran dan juga pas mau natal. Banyak orang yang beli,” katanya.
Tradisi Ketupat
Dalam hikayat indraputra ( hikayat yang sudah tua usianya dan masuk dalam sastra zaman peralihan Hindu – Islam), ketupat telah dikenal sebagai panganan rakyat sejak 1700 Masehi. Kemudian berkembang dalam tradisi islam sejak masa Wali Songo, Sunan Kalijaga, yang menggunakan ketupat sebagai sarana untuk berdakwah menyiarkan islam di Tanah Jawa.
Sunan Kalijaga membudayakan dua kali bakda, yakni bakda lebaran dan bakda ketupat yang kemudian dikenal dengan lebaran ketupat. Tradisi itu digelar sepekan setelah lebaran atau pada 8 Syawal.
Tradisi berbagi ketupat juga pernah dilakukan oleh perantau Jawa di Batu Putih Atas, Polimak. Seusai Salat Idulfitri, warga muslim Jawa sering berbagi makanan berisikan ketupat dan kari ayam yang diantar menggunakan baki kepada tetangga yang nasrani.
Jimi, salah satu warga di kompleks tersebut menuturkan dahulu tradisi itu sempat berjalan saat Hari Raya Lebaran setiap tahunnya mulai dari 1990-an hingga pertengahan 2000-an. Namun, tradisi itu sudah tidak terlihat lagi karena warga sekitar sudah banyak yang berpindah tempat tinggal, pulang kampung dan meninggal dunia.
“Dulu waktu masih zaman kita sekolah dulu sampai lulus, tetangga yang muslim sering antar makanan lebaran. Macam-macam isinya, ada ketupat, kari ayam, sama ayam saos. Setiap tahunnya mereka lakukan tradisi itu,” kata Jimi.
Tradisi itu sama dengan yang dilakukan oleh umat katolik dari Gereja Santo Yohanis di Ciamis, Jawa Barat, yang membagikan paket ketupat kepada umat muslim yang merayakan lebaran. Apa yang mereka lakukan itu sebagai bentuk toleransi antar umat beragama.
Dituturkan oleh Antropolog Uncen, Hanro Yonathan Lekitoo, ketupat sudah dikenal lama oleh masyarakat Maluku, daerah asal leluhurnya. Sebagai nasrani, ia mengatakan dahulu orang tuanya sudah membuat ketupat santan untuk dijual.
“Ketupat ini sudah diketahui oleh banyak orang, termasuk saya. Keluarga saya berasal dari Maluku, waktu saya masih kecil saya sering melihat mama saya membuat ketupat untuk dijual,” kata Hanro.
“Di Papua pun kalau ada acara tertentu kadang kita menemukan makanan ketupat ini sebagai teman untuk menu lainnya. Di Maluku juga sudah dari dulu mengenal ketupat. Ini sangat menarik sekali karena sampai saat ini ketupat bisa diterima dan sangat familiar,” tambahnya.
Ketupat juga sudah menjadi bagian dari tradisi adat di beberapa daerah di Indonesia sejak dahulu. Di Medan misalnya, ketupat dianggap sebagai simbol kesatuan dan persatuan, melambangkan kebersamaan, kesucian dan kesederhanaan. Bagi orang Betawi, ketupat digunakan untuk menggelar sebuah hajatan adat atau yang mereka sebut dengan Ketupat Lepas ketika seseorang telah dikabulkan nazarnya.
Di Kalimantan Barat, ketupat menjadi hidangan wajib saat berlebaran dan menjadi tradisi saat berkumpul bersama sanak saudara yang baru pulang dari perantauan. Warga Madura di Banjarmasin, Kalimantan Selatan, juga masih menjaga tradisi lebaran ketupat, tujuh hari setelah Idulfitri.
Di Sulawesi Utara, tepatnya di Tondano, ketupat juga sebagai simbol toleransi antar masyarakat Jawa dengan masyarakat asli Minahasa.
Di Lombok, Nusa Tenggara Barat, tak hanya ada lebaran ketupat, tapi ada sebuah tradisi unik bernama Perang Topat atau perang ketupat. Tradisi itu sudah turun temurun dilakukan sepeninggal penjajahan Bali di Lombok di masa lampau. Perang topat saling lempar ketupat antara umat islam dan hindu Lombok. Bagi mereka, tradisi itu merupakan pencerminan dari kerukunan umat beragama di Lombok.
Di Bali, juga ada tradisi perang ketupat yang digelar setiap setahun sekali pada hari suci purnama kapat untuk memohon kesejahteraan serta wujud syukur atas kesuburan lahan pertanian.
Di Leihitu, Maluku Tengah, pada saat bulan ramadan, ada tradisi sedekah ketupat yang digelar untuk memperingati berakhirnya malam Lailatul Qadar. Berawal dari tradisi ketupat, Pemerintah setempat kemudian menggelar Festival Ketupat sebagai simbol kekeluargaan dan persaudaraan.
Menurut Guru Besar Antropolog Universitas Gadjah Mada (UGM), Heddy Shri Ahimsa-Putra dinukil dari CNNIndonesia, mengatakan ketupat diperkirakan sudah ada sejak zaman nenek moyang ratusan tahun yang lalu.
Heddy menambahkan, fungsi ketupat yang mudah disimpan dan tahan lama cocok sebagai bekal berlayar sampai ke berbagai pulau di wilayah nusantara, sehingga ketupat tak hanya populer di Pulau Jawa tapi juga ke seluruh wilayah di Indonesia.
“Kalau melihat persebaran ketupat itu cuma ada di wilayah Kepulauan Asia Tenggara karena di Mainland Asia nggak ada, ketupat yang digantung di kapal itu dibawa saat berlayar dari pulau ke pulau karena ketupat menjadi bekal yang sangat praktis,” katanya. (*)
Discussion about this post