Reporter: Theo Kelen, Rabin Yarangga, Dominggus A Mampioper, Angela Flassy
Timika, Jubi – Aktivitas tambang PT Freeport Indonesia sejak 1972 telah mengubah gunung menjadi jurang raksasa, menggerus dan melumat batuan kaya mineral emas, dan membuang “sisa” batuannya ke sungai di Kabupaten Mimika, Papua Tengah. Sisa batuan disebut tailing itu mendatangkan rejeki bagi ribuan pendulang, namun juga menimbulkan pendangkalan sungai dan pesisir Mimika. Jubi dan CNN Indonesia berkolaborasi meliput beragam cerita keberadaan tailing PT Freeport Indonesia, baik sebagai pembawa rejeki ataupun sebagai pembawa masalah. Tulisan ini merupakan bagian kedua dari tiga laporan kolaborasi peliputan tersebut.
Toko emas yang terletak di Jalan Ahmad Yani, Timika, Ibu Kota Kabupaten Mimika, Provinsi Papua Tengah itu ramai didatangi para pendulang emas. Para pendulang itu hendak menjual emas yang mereka peroleh dari hasil dulang limbah tailing PT Freeport Indonesia di Sungai Ajkwa, Mimika.
Seorang pendulang merogoh tasnya, mengeluarkan beberapa kantong plastik bening berukuran kecil yang biasa dipakai untuk membungkus obat, namun kini berisi butiran atau serbuk emas hasil dulang tailing PT Freeport Indonesia. Ia menaruh plastic clip itu di atas meja kaca toko emas itu.
Sang penjaga toko kemudian menyalakan lampu, lantas memeriksa serbuk emas itu di bawah sinar lampu. Ia meraba dan merasai kantong plastik bening pembungkusnya, menaksir kemurnian butiran atau serbuk emas yang dibawa sang pendulang.
“[Kami harus diperhatikan baik-baik], karena [serbuk emas dulang itu ] ada campuran tembaga. Semakin ke atas [di hulu Sungai Ajkwa dan dekat tambang], [serbuk hasil dulang punya] banyak [kandungan] tembaga. Kalau di bawah [atau di hilir Sungai Ajkwa], kualitas emas lebih bagus. Tapi, volume emas lebih banyak di atas [atau daerah hulu],” ujar Ari, pengelola toko emas itu, kepada Jubi pada Februari 2023.
Setiap hari Ari biasa melayani hingga 50 sampai 100 pendulang emas. Ia menyatakan rata-rata per hari biasa membeli emas dulang hingga 70 gram. “Paling tinggi satu orang pendulang itu lima kaca sampai tujuh kaca. Itu [kalau dihitung] seratus orang, bisa sampai 70 gram,” ujarnya.
Harga butiran emas dari pendulang ditentukan dari kemurnian serbuk emas pendulang itu. Emas dengan kemurnian tinggi akan dihargai Rp600 ribu hingga Rp700 ribu per gram. Jika serbuk emas pendulang dinilai kotor karena masih bercampur terlalu banyak pasir atau batuan, dihargai Rp350 ribu per gram.
Terkadang pemilik toko merugi lantaran salah menaksir harga emas. “Ini tadi salah beli [10 gram itu] harusnya beli Rp500 ribu per gram, tapi saya beli Rp650 ribu. Selisih ruginya [bisa besar, sementara] kalau untung, untungnya tidak seberapa,” aku Air.
Dilebur
Butiran atau serbuk emas kotor dari pendulang itu akan dibersihkan dengan cara dilebur. Ari mengambil butiran emas yang baru dibeli dari para pendulang itu menuju bagian belakang toko. Di ruangan ukuran sekitar 3×4 meter persegi, ia biasa melebur emas dulang yang dibelinya.
Kali ini Ari membakar 10,5 gram serbuk emas hasil dulang. Serbuk emas dulang seberat 10,5 gram itu ia campur dengan serbuk putih sendawa bersama dengan air. Serbuk putih itu berfungsi sebagai pembersih emas saat proses peleburan.
Serbuk emas bercampur bubuk putih itu lalu diletakan di dalam wajan kecil yang terbuat dari tanah liat. “Cawannya [wajan yang dipakai melebur itu] khusus, harus dari tanah liat. [Kalau pakai wajan logam, butiran emas] akan nyangkut,” ujarnya.
Ari lalu menyalahkan alar pembakar genggam (torch) berbahan bakar gas dan kompresor. Ia mulai membakar serbuk emas kotor itu, hingga emasnya mencair dan terpisah dari pasir batuan.
Ari lalu mencampurinya dengan bubuk putih yang berfungsi merekatkan atau menyatukan tiap lelehan emas. Ia lantas menaikan tekanan kompresor, membuat semburan api dari pembakar genggamnya menguat.
Sambil terus membakar, Ari memisahkan cairan emas dari pasir atau dan logam mineral lainnya. Perlahan, cairan emas itu lalu menyatu menjadi bongkahan kecil emas.
Proses peleburan emas membutuhkan 10 hingga 20 menit tergantung dari berat emas yang dilebur. “Kalau sudah kelihatan mengkilat berarti sudah menyatu,” kata Ari sambil mematikan torch dan kompresornya.
Gumpalan emas itu ia biarkan mendingin, lalu ditimbangnya. Serbuk emas yang awalnya berbobot 10,5 gram itu susut menjadi bongkahan kecil emas seberat 6,95 gram. Besaran susut itu menggambarkan tingginya risiko bisnis para pengelola toko emas yang biasa menampung serbuk emas para pendulang tailing PTFI.
Menurut Ari, rata-rata kemurnian emas dulang setelah dilebur bisa mencapai 92 persen. Namun tantangan utama para pemilik toko emas di Timika adalah tak boleh salah menaksir tingkat kebersihan atau kemurnian hasil dulangan yang akan dibeli.
“[Untuk menentukan kadar emas] itu sih harus belajar bertahun-bertahun. Butuh keahlian,” ujarnya.
Nantinya, bongkahan kecil emas itu akan dilebur lagi menjadi batangan emas. Ari menuturkan bongkahan bijih emas itu harus dikumpulkan hingga totalnya berbobot sekitar 1 kilogram untuk bisa dilebur lagi menjadi batangan emas. Batangan emas itu nantinya bisa dijual dengan harga hingga Rp 900 ribu per gram.
“Butuh satu kilogram [bijih emas] untuk [bisa dilebur] jadi batangan. Pasti [bobotnya] akan menyusut [setelah dilebur],” ujar Ari.
Menguntungkan, tapi tak mudah
Ketua Perhimpunan Pengusaha Emas di Timika, Muhammad Thahir menyatakan berbisnis emas dulang tak selamanya untung toko emas. Ia menyatakan para pengusaha “toko serbuk” harus jeli memperhatikan serbuk emas yang disetor pedulang, lantaran serbuk emas dulang kerap bercampur tembaga atau kuningan.
Thahir mengaku pernah mengalami kerugian jutaan rupiah gara-gara emas yang dibeli bercampur kuningan. Ia menyatakan membutuhkan ketelitian dan pengalaman bertahun-tahun untuk bisa menentukan harga emas sesuai kemurniannya.
Ia memastikan semua serbuk emas dulang pasti masih kotor, dan butuh keahlian untuk menaksir harga yang sesuai. “Ada masyarakat jual ke saya bersih 10 gram, itu saya taksir secara pengalaman saya. [Saat diolah bubuk emas itu akan] susut 2 gram, jadi tinggal 8 gram. Tetapi kadang ada barang saya taksir 10 gram, [dan saat diolah akan susut] setengah, ya saya kasih turun lagi harganya. Jadi harga emas itu relatif,” ujarnya.
Ia menyatakan harga emas dulang dibeli dengan cara ditaksir sesuai kemurnian emas itu. Harga emas dulang paling rendah dibeli Rp 350 ribu, dan harga paling tinggi Rp600 ribu hingga Rp 700 gram per gram.
Thahir menyatakan serbuk emas dibeli dari pendulang kemudian dibersihkan. Selanjutnya emas itu kemudian dijual ke toko emas yang lebih besar atau ke pemberi modal. Thahir menyatakan emas itu pasti akan dilebur menjadi batangan, dan akan dijual lagi keluar Timika.
Thahir menyatakan batangan emas dijual ke Makassar untuk dibuat menjadi perhiasan, karena Timika kekurangan perajin emas. Menurut Thahir, terkadang emas batangan itu dibawa para pebisnis toko emas Timika ke luar Papua. Namun terkadang ada pula orang dari luar datang untuk membeli emas batangan di Timika.
“Bukan hanya yang di Timika, kadang biasa [orang] di luar yang datang [beli emas batangan di Timika]. Untuk memproduksi menjadi hiasan di Timika itu kan masih minim. Pemilik modal itu pasti [tahu kenapa] dia bikin emas batangan begitu,” kata Thahir.
Kehadiran toko serbuk emas sangat membantu sebab para pendulang bisa menjual hasil kerja mereka. Charles yang mendulang tailing PT Freeport Indonesia pada kurun waktu 2007 hingga 2013 tahu betul bagaimana “toko serbuk” menghidupi ribuan pendulang sepertinya. Saat itu, Charles bisa mendapatkan serbuk emas seberat 38 gram per minggu, yang kalau itu bisa dijual dengan kisaran harga Rp120 ribu per gram.
Dalam seminggu, Charles bisa mengumpulkan penghasilan hingga Rp4,7 juta dari hasil mendulang tailing PT Freeport Indonesia. “Saat saya masih mendulang, memang emasnya waktu itu banyak,” ujarnya.
Charles yang pernah mendulang selama lima tahun itu menuturkan bawa dari hasil mendulang yang dijual ke toko serbuk ia biasa membeli tanah dan membangun rumah. Ia juga bisa bisa membiaya pendidikan empat anaknya.
“Kita disini dulang kita punya anak-anak kuliah, sekolah, bangun rumah. [Awalnya] tinggal numpang dengan keluarga terus kos satu tahun. Saya pikir dari pada saya kos terus pasti tidak punya rumah akhirnya saya putuskan untuk beli tanah dan bangun rumah. Saya bangun rumah 2011 itu dari hasil dulang. Bukan di sini saja kita bangun rumah, di kampung juga kita bangun rumah [itu dari hasil dulang],” kata Charles, pada 2 Februari 2023.
Ia memutuskan berhenti mendulang tailing Freeport setelah diterima menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Mimika. “Kalau menurut pendapatan, kita tidak bisa pungkiri pendapatan pendulang lebih menggiurkan daripada PNS. [Tetapi] ada pertimbangan lain, tidak mungkin selamanya kami tenaga kuat. Dulang memang jelas hasilnya menggiurkan, tetapi masa depan tidak mungkin kita mendulang terus,” ujarnya.
Pernah dijerat hukum
Muhammad Thahir menyebut rata-rata toko emas yang menampung emas dulang telah memiliki surat izin berusaha dan membayar pajak. Ia juga menyatakan selama ini tidak ada pungutan liar terhadap toko-toko emas yang menerima hasil emas dulang tailing Freeport.
“Kalau pungutan liar tidak ada. Kami tidak pernah dapat semacam itu, pungutan liar, karena kami ada izin. Kami bekerja juga sesuai aturan dan peraturan yang berlaku di Timika. Tidak pernah kami mendapatkan pungutan ‘kamu harus bayar sekian’. Kalaupun pernah ada, kami tidak layani,” ujar Thahir.
Namun Thahir mengakui bisnis emas dulang tidak selamanya berjalan aman dan lancar. Pria 58 tahun itu menuturkan puluhan toko emas di Timika harus tutup gara-gara salah satu pebisnis besar emas dulang dicokok polisi pada tahun 2018. “Mungkin sudah umum tahu di Timika bahwa ada kasus,” ujar Thahir.
Kasus itu menjerat salah saatu pemilik toko emas di Timika. Kepolisian Daerah Sulawesi Selatan menangkap pemilik Toko Emas Rezki Utama di Timika berinisial DA (49), pemilik Toko Emas Bogor berinisial JKF (50), dan seorang warga Papua berinisial A (45).
Mereka ditangkap di Bandara Internasional Sultan Hasanudin di Maros, Sulawesi Selatan, karena kedapatan membawa 10 kilogram emas batangan dari Timika. Emas batangan yang didapatkan dari peleburan hasil pendulangan PT Freeport Indonesia itu dinilai ilegal oleh polisi di Makassar.
Thahir menyatakan kasus itu memaksa puluhan toko emas berhenti membeli emas pendulang. Menurutnya, salah satu alasan toko emas tutup lantaran tidak memiliki modal untuk membeli emas para pendulang. Thahir menyatakan pemilik toko yang ditangkap polisi itu biasa meminjamkan modal kepada toko emas yang lebih kecil agar bisa membeli serbuk emas pendulang.
“[Yang ditangkap dalam] kasus itu pemilik modal. Artinya, dana yang kami [pinjam] mau pakai [beli emas] ini sudah tidak ada. Otomatis kas kami kurang. Waktu itu situasinya betul-betul sulit, karena tidak ada uang. Masyarakat mau jual emasnya, kami tidak mampu beli lagi,” ujar Thahir.
Urusan hukum di Makassar itu memacetkan perputaran uang banyak orang di Timika. Bukan hanya pendulang atau pemilik toko emas yang terdampak, kasus hukum di Makassar itu membuat para penyedia barang dan jasa lain di Timika kesusahan karena omset mereka anjlok.
“Tidak ada ekonomi yang bisa membantu untuk perekonomian masyarakat Timika kalau bukan dari para pendulang. Bisa dicek, tanya toko di pasar, bagaimana gejolaknya jika pendulang ditutup, bisa tanya ke sana. Karena bukan kita saja yang merasakan, kasihan juga teman-teman kita yang ada di pasar,” kata Thahir.
Di tengah kebuntuan itu, Thahir menemukan jalan bekerja sama dengan pegadaian. Ia menyatakan membeli serbuk emas dulang dengan uang seadanya, lalu mengolahnya, dan menggadaikan bongkahan emas ke pegadaian. Namun, kemampuan Thahir membeli serbuk emas itu jauh di bawah volume pasokan para pendulang.
Seminggu setelah puluhan “toko serbuk” tutup, para pendulang menggelar demonstrasi besar-besaran, menuntut “toko serbuk” dibuka lagi karena mereka kesulitan menjual emas hasil dulangnya. “Waktu itu memang kacau. Masyarakat di sini tidak mau tahu, pokoknya ‘saya mau kau harus beli’. Pertanyaannya, uangnya dari mana? Kami punya pemodal ada kasus. Dampaknya, saat itu ramai ada pembakaran, perusakan. Cepat polisi tentara menghadapi situasi itu, akhirnya bisa diredam,” kata Thahir.
Ketegangan itu mereda setelah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Mimika turun tangan mempertemukan para pemangku kepentingan. Dalam pertemuan dengan DPRD Mimika, Thahir menceritakan kondisi usahanya, termasuk ketergantuan modal para pemilik “toko serbuk” kepada pegadaian.
“Saya sempat sampaikan saat pertemuan di DPRD Mimika, [uang yang] kami pakai beli [serbuk] emas [pendulang] itu melalui [sebatas uang hasil] gadai saja. Saya sempat perlihatkan kwitansi pegadaian itu. Untung saat itu pegadaian mau bantu untuk mengantisipasi gejolak yang lebih besar,” kata Thahir.
Salah satu pendulang bernama Edo masih ingat ia kelabakan mencari uang gara-gara “toko serbuk” ditutup pada 2018. Ia pun mengingat bagaimana para pendulang kala itu berunjuk rasa menuntut “toko serbuk” dibuka kembali. “[Kami] demo ke DPRD Mimika sampai [toko emas kembali ] di buka,” ujarnya.
Edo mengaku hasil emas sekarang sudah jauh berkurang dibandingkan pada 2018. Ia mengaku pada 2018 hasil emas yang diperoleh bisa mencapai 15 gram sampai 20 gram dalam seminggu. Kini ia mengaku tiga hari bekerja hanya mendapatkan satu gram emas.
Walaupun hasil emas telah berkurang. Edo tetap memilih mendulang lantaran telah mencoba melamar pekerjaan lain tetapi tidak diterima. Ia biasa mendulang pulang pergi tiap hari.
Pria yang telah empat tahun mendulang itu berharap toko emas tetap buka dan membeli hasil emas para pendulang. “Kami merantau untuk keluarga. Kehadiran tokoh serbuk sangat membantu [kami],” ujar Edo.
Meskipun kasus hukum di Makassar, Sulawesi Selatan, telah menimbulkan gejolak sosial yang besar karena memacetkan perputaran uang banyak pihak, Peneliti Madya Badan Pusat Statistik Kabupaten Mimika, Rafael L Toruan S ST MSi menyatakan kontribusi bisnis serbuk emas dulang terhadap perekonomian Kabupaten Mimika sangat kecil.
Menurut Rafael kontribusi perputaran uang para pendulang terhadap perekonomian Timika hanya 0,2 persen sampai 0,3 persen. Rafael menyatakan pendapatan hasil mendulang berkisar Rp500.000 hingga Rp1.000.000 sehari.
Akan tetapi, peredaran uang atau kontribusi ekonomi dari hasil bisnis dulang hanya berkisar Rp2 miliar hingga Rp3 miliar per tahun. “Jadi [kontribusinya] tidak begitu banyak, karena bukan lapangan usaha yang tetap di Mimika,” kata Rafael pada 27 Januari 2023.
Rafael mengakui aktivitas pendulangan yang dilakukan warga di Kabupaten Mimika ini banyak. Namun, Rafael menyatakan mendulang tidak menjadi tumpuan penghidupan masyarakat di Kabupaten Mimika. Mendulang menurut Rafel hanya pekerjaan sampingan.
“Kalau dikatakan tumpuan, tidak semua bisa dijadikan tumpuan, karena ada [pendulang] yang [punya] pekerjaan tersendiri seperti petani atau peternak di kampungnya. Pada saat dia belum punya pendapatan, dia mendulang. Beberapa tahun ini sudah ada larangan mendulang di tempat-tempat tersebut. Kalau dibandingkan yang dulu, sudah menurun drastis, bisa 50 persen dibandingkan saat dulu,” ujarnya.
Nyata menghidupi
Kesimpulan bahwa bisnis dulang tailing tidak membawa dampak signifikan terhadap perekonomian lokal Timika itu disanggah Ketua Asosiasi Pendulang Emas di Timika, Simon Rahajaan. Ia menyatakan pendapat berbeda aktivis pendulang membantu pertumbuhan ekonomi di Timika, karena jumlah pendulang mencapai lebih dari 4 ribu orang.
Rahajaan menyatakan ribuan pendulang itu berasal dari berbagai suku, yakni Manggarai, Flores Timur, Bugis, Makassar, Toraja, Manado, Buton, Maluku, Jawa, dan Orang Asli Papua. “Mereka naik ke atas dengan harapan pulang [bawa hasil] bisa kasih makan anak-istri di rumah,” kata Rahajaan pada 31 Januari 2023.
Rahajaan menyatakan ribuan pendulang menghasilan perputaran uang miliaran rupiah. Menurutnya, setelah “toko serbuk” tutup sepekan gara-gara kasus hukum di Makassar pada 2018, nilai perputaran uang dalam tiga hari pertama transaksi serbuk emas mencapai Rp13 miliar. “Itu pun [dibatasi, karena setiap pendulang] yang punya 5 gram serbuk emas hanya bias jual 2,5 gram, biar [pendulang] yang lain juga [bisa menjual hasil dulangnya],” kata Rahajaan.
Rahajaan meyakini pendulang emas sangat ikut berkontribusi dalam perkembangan ekonomi di Kabupaten Mimika. “Kita taruhlah dari 4.000 ini yang 100 orang [mendulang dengan cara] pulang-pergi. Dia dari rumah naik ojek ke pasar, terus dia beli makan. Sorenya balik [ke kota], naik ojek ke toko emas, jual hasilnya. Dia ke pasar lagi, beli sayur, beli ikan, beli beras untuk anak istrinya di rumah. Terus [besok] dia [kembali kerja], dia harus naik ojek lagi. Itu ekonomi bertumbuh, dan itu sangat banyak,” ujarnya.
“Saya kasih contoh, salah satu gereja namanya GPI, itu dibangun pendulang, 85 persen [biaya pembangunan didapat dari] hasil dulang. Dari hasil mendulang, teman-teman juga bisa menyekolahkan anak dan keluarga sampai ke perguruan tinggi. Bahkan ada yang bikin rumah mewah. Ada yang beli mobil dari hasil dulang, bikin kos-kosan dari hasil dulang. Itu dampak positif yang mereka dapat dari mendulang,” ujarnya.
Anggota DPRD Kabupaten Mimika, Elminus Balinon Mom juga menyatakan hasil dulang emas menggerakkan ekonomi masyarakat Mimika. Ia menyatakan ribuan masyarakat di Mimika menggantung kehidupan dari tailing Freeport.
“Luar biasa [manfaat ekonomi bagi masyarakat]. Bukan [hanya orang] Mimika saja, tetapi [orang dari] seluruh Indonesia ada di sini [karena pendulangan tailing]. Orang yang susah hidup, susah biayai anak, hingga mau bangun gereja, masjid, semua datang mendulang,” kata Elminus pada 27 Januari 2023.
Elminus menyatakan Pemerintah Kabupaten Mimika, DPRD Mimika, PT Freeport Indonesia, hingga gereja pernah bersepakat melarang pendulangan tailing Freeport. Menurut Elminus, pelarangan itu disebabkan keprihatinan mereka terhadap keselamatan dan kesehatan pendulang.
“Waktu itu kami melarang untuk masuk [kerja], karena berbahaya limbah. Limbah pembuangan tailing itu racun, jangan sampai dampaknya kena masyarakat bisa meninggal dan jangan [sampai saat] banjir bisa hanyut,” ujarnya.
Elminus menyatakan kini Pemerintah Kabupaten, DPRD Mimika, hingga gereja tidak lagi melarang pendulangan tailing PT Freeport Indonesia, karena aktivitas itu menggerakkan ekonomi masyarakat dan mengurangi pengangguran di Kabupaten Mimika.
“Ekonomi itu sudah dampaknya lari ke masyarakat, semua rasa. Salah satunya, mereka bisa sumbang bangun gereja, bangun masjid, bangun rumah. Hasil dulang [dipakai untuk] beli babi, kemudian mereka taruh [atau bayar] mas kawin. Sekarang kami tidak bisa larang mereka,” ujarnya.
Elminus juga menyatakan aktivitas toko serbuk yang menampung hasil dulang legal. Ia menyatakan toko serbuk telah memiliki surat izin usaha. Ia menolak anggapan bahwa transaksi emas dulang itu illegal.
“Jualan [emas dulang] itu resmi. Sudah ada surat ijin semua. Mereka datang jualan hasil di toko ini, mereka punya langganan. Itu bukan ilegal, itu sah. Orang bilang ilegal itu tipu. Itu bukan satu hari jualan, tetapi sudah puluhan tahun jualan,” kata Elminus Mom.
Elminus menyatakan apabila aktivitas pendulang dilarang, pelarangan itu akan berdampak terhadap keamanan di Timika. Ada ribuan masyarakat yang selama ini menggantungkan hidup dari mendulang, dan mereka akan kehilangan pekerjaan.
“Mereka punya hidup sehari-hari di situ [dari hasil dulang]. Kalau [ditutup] pengangguran makin naik [dan] masalah akan naik lagi. Siapa yang tanggung jawab?” Elminus bertanya.
Bagi pengusaha toko emas seperti Muhammad Thahir, kepastian hukum sangatlah penting dalam menjalankan usahanya. Ia mengakui banyak pengusaha toko emas yang menopang hidup para pendulang namun selalu dibayangi kekhawatiran bahwa bisnis mereka diintai jeratan hukum.
Thahir berharap Pemerintah Kabupaten Mimika maupun Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Mimika dapat membuat payung hukum yang melindungi para pendulang maupun pemilik toko emas yang membeli emas dulang.
“Mudah-mudahan jangan kami disuruh bubar [ditutup]. Pemerintah daerah sudah tahu juga, bahwa kalau ada apa-apa, [dan toko emas di tutup], kasihan juga masyarakat. Mau membayarkan anak-anaknya sekolah bagaimana? Ia mau biayai yang lain-lain, kontrak rumah, bagaimana ia mau makan [semua itu dari hasil dulang],” ujar Thahir. (*)
Untuk melihat lebih banyak content JUBI TV, click here!