Sorong, Jubi – Agustinus R. Kambuaya, anggota DPD RI, mengkritik pelaksanaan perayaan Hari Ulang Tahun (HUT) Otonomi Khusus (Otsus) yang dianggap tidak memberikan makna signifikan bagi keberlanjutan Otsus Jilid II di Papua Barat Daya.
Kambuaya menilai perayaan Otsus kali ini hanya dilakukan secara seremonial tanpa kegiatan strategis yang mendorong langkah konkret dalam implementasi kebijakan tersebut.
Kambuaya menyampaikan kekecewaannya terhadap pandangan beberapa pejabat yang memanfaatkan Otsus sebagai kesempatan untuk meraih jabatan dan keuntungan pribadi, tanpa memahami tujuan utama dari Otsus yang seharusnya menjadi solusi penyelesaian konflik, seperti yang tercapai di Aceh melalui Perjanjian Helsinki, atau di luar negeri seperti di Spanyol dan Quebec.
Meskipun Otsus bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan Orang Asli Papua (OAP), kebijakan ini dinilai semakin kabur dalam hal afirmasi, proteksi, dan pemberdayaan.
Sebagai anggota DPR yang terlibat aktif dalam pembahasan dan penulisan Tim Pansus Revisi Otsus Papua Barat serta Tim Panja DOB PBD, Kambuaya menilai pemerintah daerah Papua Barat Daya dan perangkat OPD tidak menjiwai HUT Otsus kali ini.
Ia menyarankan agar perayaan Otsus menjadi momentum untuk menggelar diskusi serius mengenai pencapaian Otsus selama 20 tahun, mengidentifikasi hambatan yang ada, serta merumuskan langkah-langkah konkret, khususnya di sektor pendidikan yang semakin terpuruk.
Kambuaya juga menekankan pentingnya pengelolaan kewenangan yang lebih terstruktur, termasuk implementasi UU Nomor 2 Tahun 2021 dan Peraturan Pemerintah (PP) 106 dan 107 yang berkaitan dengan izin besar seperti HGU sawit dan IUP pertambangan, yang harus dikendalikan secara terpusat.
Ia juga menyarankan agar masalah pengakuan masyarakat adat dalam Otsus dapat diterjemahkan dalam Peraturan Daerah Khusus (PERDASUS).
Terkait kebijakan ASN, Kambuaya mengusulkan agar pengangkatan dan penempatan ASN dalam kerangka Otsus diatur lebih bijak dalam PERDASUS untuk menghindari ketidakpuasan publik yang sering muncul akibat demonstrasi terkait isu kepegawaian.
Tak kalah penting, Kambuaya menyoroti isu pengendalian penduduk di Papua Barat Daya yang semakin sulit dikendalikan, mengingat terbatasnya anggaran daerah (APBD) yang hanya mencapai 3 triliun rupiah, sementara arus migrasi terus meningkat.
Ia mengusulkan agar kebijakan pengendalian penduduk di Yogyakarta dan Bali dapat menjadi contoh bagi Papua.
Kambuaya menegaskan bahwa semua pihak yang terlibat dalam Otsus harus lebih serius dan tidak hanya menjadikannya sebagai isu politik atau keuntungan pribadi. Otsus, katanya, bukanlah kebijakan yang datang begitu saja, melainkan hasil perjuangan panjang yang melibatkan darah, air mata, dan pengorbanan para pejuang keadilan di Papua.
“Jangan hanya menuntut, tetapi kita harus bekerja dengan kewenangan yang sudah ada di tangan kita. Otsus bukan turun dari langit, ada perjuangan yang harus dihargai. Kita harus membangun sistem sosial, politik, dan pemerintahan yang mampu menyelesaikan masalah di Papua,” tegas Agustinus R. Kambuaya, anggota Tim Pansus Otsus DPR Papua Barat dan Tim Panja DOB Papua Barat Daya.
Sementara, Ketua Yayasan Pelita Hidup Papua yang bergerak di bidang pendidikan, Timotius Daud Yelimolo, meminta tegas kepada Pemerintah Provinsi Papua Barat Daya untuk segera melakukan evaluasi kebijakan Otonomi Khusus (Otsus) Papua.
Yelimolo menegaskan bahwa evaluasi ini merupakan perintah Undang-Undang Otonomi Khusus Nomor 2 Tahun 2021 Pasal 78 yang mengharuskan pelaksanaan undang-undang ini dievaluasi setiap tahun, dan evaluasi pertama harus dilakukan pada akhir tahun ketiga setelah undang-undang ini berlaku.
Yelimolo juga menekankan bahwa yang perlu dievaluasi dari Otsus adalah pola pikir pejabat Papua yang telah menjabat selama 23 tahun. Ia menyoroti bagaimana mereka mengimplementasikan amanat Undang-Undang Otsus untuk mewujudkan pemberdayaan, perlindungan, dan keberpihakan terhadap Orang Asli Papua (OAP).
“Sejauh mana orang Papua dilindungi dari ancaman genosida? Sejauh mana orang Papua diberdayakan untuk mendapatkan posisi dan jabatan penting di lembaga kementerian, BUMN, dan organisasi internasional yang berbicara tentang hak-hak orang Papua?” tegas Yelimolo.
Ia juga menambahkan evaluasi ini harus dilakukan secara objektif dan melihat konteks bangsa Papua, bukan berdasarkan suku tertentu. Jika hasil evaluasi menunjukkan bahwa pejabat hanya mementingkan kelompok atau suku mereka saja, maka sebaiknya Otsus dikembalikan ke Jakarta atau dievaluasi tegas oleh Presiden, karena kebijakan Otsus harus berlaku untuk setiap anak Papua tanpa sekat suku dan kelompok.
“Jangan hanya euforia di atas penderitaan dan air mata anak negeri. Mulailah bekerja sebagai pelayan yang benar-benar melayani masyarakat dengan hati dan rasa tanggung jawab,” tutupnya. (*)
Untuk melihat lebih banyak content JUBI TV, click here!