Jayapura, Jubi – Pada puncak Perayaan Dies Natalis Uncen ke-62 tahun, civitas academica Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, ada suguhan teater Putri Boki di Auditorium Cenderawasih Kampus Uncen Abepura, Jayapura, Papua, Senin (11/11/2024) malam. Cerita Putri Boki diangkat dari cerita rakyat di Fakfak, Papua Barat.
Penampilan teater tersebut disambut riuh tepuk tangan dan teriakan. Salah satunya,mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Trestania Kambu. Dia mengapresiasi teater yang disajikan oleh dosen, pegawai, dan mahasiswa dari FKIP Uncen dalam menyukseskan perayaan dies natalis.
“Teater tadi sangat luar biasa, sangat wow sekali. Saya kira tadi mahasiswa, tahu-tahunya selain mahasiswa, ada Bapak Ibu dosen yang ikut berkolaborasi, sangat luar biasa,” katanya.
Mahasiswa semester akhir itu mengatakan adanya teater itu menambah pengetahuan terhadap mahasiswa maupun undangan yang hadir, adanya hubungan antara budaya Papua dan budaya Maluku.
“Dari pertunjukkan teater, cerita yang dari dulu belum diketahui oleh anak-anak sampai sekarang, ketika ditampilkan begini, masyarakat atau mahasiswa yang mengikuti Dies Natalis di auditorium ini, bisa mengetahui bahwa, oh iya budayanya seperti ini. Oh iya, ternyata dari dulu budayanya ada percampuran antara Kei dan juga Papua, dan di wilayah daerah tersebut,” katanya.
Rektor Uncen Dr Oscar O. Wambrauw SE MSc.Agr mengatakan persembahan teater dari dosen, pegawai, dan mahasiswa FKIP ini menarik karena mengangkat budaya cerita rakyat yang dituangkan menjadi karya seni peran.
“Itu bagus, tadi sudah diperlihatkan oleh teman-teman dari Panitia FKIP. Kami berharap panitia berikutnya lebih berkreasi dan ada dukungan dari Ibu Ina dan teman-teman yang memang konsen untuk mengangkat budaya lokal,” katanya.
Wambrauw menambahkan, kegiatan ini bisa menjadi bagian dari konten pembelajaran atau muatan lokal. “Mungkin nanti kita jadikan sebagai mata kuliah wajib universitas sebagai mata kuliah dasar umum (MKDU) untuk mendorong lestari budaya kita,” katanya.
Dr Ina Samosir Lefaan SPd MPd, dosen sekaligus yang menginisiasi teater Putri Boki yang ditemui Jubi setelah penutupan dies menjelaskan teater ini diangkat oleh cerita rakyat milik marga Gredenggo dan Kutanggas, suku Mbaham-Matta di Fakfak.
“Ini kali pertama, cerita rakyat Putri Boki ditampilkan dalam bentuk teater dan dipersembahkan pada Puncak Dies Natalis Uncen ke-62,” katanya.
Ina yang lahir dan besar di Fakfak, mengatakan sedari dulu mendengar cerita rakyat yang secara turun temurun disampaikan secara lisan. Sebagai pengajar bidang sastra,tradisi, dan budaya lisan, teater Putri Boki ini juga merupakan implementasi untuk mengembangkan nilai-nilai budaya lewat pendidikan karakter.
“Lewat teater ini, masyarakat mengetahui cerita rakyat Putri Boki bukan hanya dengan membacanya, melainkan melalui aksi dari pemeran cerita tersebut,” katanya.
Sebagai peneliti dan penulis cerita rakyat tersebut, dia mengatakan adanya pertalian darah antara masyarakat Maluku dan Fakfak, Papua Barat, lewat perkawinan campur.
Seperti yang dikisahkan, hubungan itu berawal dari melekatnya sisik ikan pada pusar Putri Boki, anak Raja dari Kerajaan Ver di Kepulauan Kei, Maluku Tenggara,itu menyebabkan ia hamil. Namun, kehamilan Putri Boki dianggap tidak masuk akal oleh manusia. Hal itu membuat Raja Ver marah karena dianggap putrinya berbohong karena mengatakan dirinya hamil tanpa berhubungan intim dengan laki-laki. Ia pun mengusir putri dari kerajaan karena hal itu melanggar hukum adat yang disebut Lar-vul Nggabal.
Ia memerintahkan pengawalnya untuk membuatkan rakit dan menyediakan bahan makanan selama perjalanan, hingga Putri Boki terdampar di suatu pulau kecil di Fakfak. Rakit yang ditumpangi Putri Boki ditemukan oleh satu pemuda Fakfak yang sedang memancing lalu ditolong dan kemudian diangkatnya sebagai saudara kandung.
Suatu ketika, ada pemuda lainnya, berasal dari Kampung Sakartemen. Ketika pertama kali melihat Putri Boki, pemuda tersebut merasakan debaran jantungnya lebih cepat. Ia pun mengutarakan niatnya kepada saudara jauhnya (pemuda yang menolong Putri Boki] untuk mempersunting Putri Boki. Pemuda itu juga bersedia menerima kondisi Putri Boki yang sedang hamil.
Dari pernikahan inilah terlahir anak perempuan yang kemudian melahirkan keturunan Mbaham-Matta, marga Kutanggas, Gredenggo, Ginuni, Rohrohmana, Mbaham, Kabes, Gewab, Wagab, Mendopa, dan marga lainnya yang hingga saat ini beranak cucu di Fakfak memenuhi negeri Mbaham dan menyebar ke seluruh bumi.
Sedangkan, pulau kecil yang menjadi tempat pertama Putri Boki terdampar, kini disebut Pulau Key-key menjadi destinasi wisata budaya Mbaham-Matta di Papua Barat.
Ina menjelaskan cerita tersebut mencerminkan budaya masyarakat Fakfak bahwa laki-laki tidak boleh menyusahkan perempuan, sebab yang melahirkan keturunan orang Fakfak adalah perempuan. Oleh karena itu, perempuan harus dijaga.
“Suku Mbaham-Matta memiliki budaya menjaga perempuan seperti menjaga buah pala, karena ketika perempuan itu menangis diyakini dan dipercaya oleh masyarakat berdampak segala usaha seperti kesuburan tanah yang mereka miliki sehingga buah pala tidak subur, dan hidup mereka tidak sedamai, sukacita seperti yang ditanamkan oleh leluhur,” katanya.(*)
Untuk melihat lebih banyak content JUBI TV, click here!