Jayapura, Jubi – Aliansi Demokrasi untuk Papua atau AlDP menilai kepolisian lamban merespon dan mengantisipasi potensi dampak aksi kekerasan yang terjadi di Tanah Papua.Ā Akibatnya, aksi kekerasan cenderung berlanjut dan meluas menjadi konflik antar warga atau konflik antara warga dan aparat keamanan.
Hal itu disampaikan Koordinator Administrasi dan Umum Aliansi Demokrasi untuk Papua atau AlDP, Antoni Ibra Nalaki di Kota Jayapura, Provinsi Papua, pada Jumat (15/12/2023). āAparat penegak hukum [dalam hal ini kepolisian] tidak mampu merespon dengan tepat pada peristiwa awal,ā ujarnya.
Ibra mencontohkan kasus kekerasan di Kabupaten Dogiyai, Provinsi Papua Tengah yang terjadi pada 21 Januari 2023 dan kembali terjadi pada 13 hingga 14 Juli 2023.
Pada 21 Januari 2023, seorang warga sipil bernama Yulianus Tebai tewas dengan luka tembak di punggung bagian kanan. Seorang warga lainnya bernama Vincen Dogomo juga tertembak di bagian paha dan sempat menjalani perawatan di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Nabire, namun akhirnya meninggal dunia.
Selang enam bulan kemudian, pada 13 Juli 2023, seorang warga sipil bernama Yosua Keiya (20) meninggal dunia karena tembakan yang diduga dilepaskan personal Satuan Brimob di Kampung Idakebo, Distrik Kamu Utara, Kabupaten Dogiyai.
Penembakan itu menimbulkan kemarahan warga, dan akhirnya berkembang menjadi insiden kekerasan baru. Lembaga Bantuan Hukum Talenta Keadilan Papua atau LBH-TKP dan Jaringan Advokasi HAM menyatakan penembakan terhadap Yosua Keiya diikuti penembakan lain yang terjadi di Moanemani pada 13 Juli 2023 malam, dan menyebabkan Yakobus Pekey (20) dan Stepanus Pigome (19) meninggal dunia. Versi LBH-TKP dan Jaringan Advokasi HAM itu telah dibantah polisi.
Menurut Ibra, kemarahan warga yang berkembang menjadi amuk massa terjadi karena polisi lamban menangani insiden kekerasan yang jadi pemicunya, yaitu kasus penembakan terhadap Yulianus Tebai dan Yosua Keiya. āKonflik itu meluas karena aparat kepolisian lamban menangani masalah awal. [Padahal] peristiwa-peristiwa itu terjadi dengan pola yang sama,ā kata Ibra.
Direktur AlDP, Latifah Anum Siregar mengatakan seharusnya kekerasan dengan pola berulang seperti peristiwa Dogiyai lebih cepat diantisipasi aparat kepolisian. Menurutnya, kelambanan penanganan kasus kekerasan bisa memicu kasus kekerasan baru, dan menimbulkan dampak yang lebih besar.
āKalau kita lihat [kedua kasus penembakan di Dogiyai itu] polanya sama. Jadi harusnya [kerja-kerja] intelijen itu lebih menjadi peka karena kasus seperti ini akan diikuti pembakaran [lalu] penumpukan massa, [lalu] pembakaran [lain yang diikuti] penumpukan massa [lain],ā ujarnya.
Anum mengatakan keterlambanan kepolisian dalam merespon aksi kekerasan bisa berdampak menurunkan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap lembaga kepolisian. Hal itu berisiko membuat masyarakat memakai cara-caranya sendiri.
āIni seperti orang tidak percaya dengan penegakan hukum. Ketika aparat tidak menanggapi, orang jadi main hakim sendiri. Jadi, dari segi intelijen, Ā [harus cepat] mengatasi/antisipasi, [cepat mencari] penyelesaian kasusnya,ā katanya.
Anum mengatakan, para pelaku kekerasan harus diproses hukum, agar kepolisian bisa menjamin keamanan bagi warga Papua lainnya. āMasalah hukum harus diselesaikan dan jaminan keamanan bagi siapa saja yang ada di situ supaya dilindungi hak hidupnya. [Sejumlah kasus kekerasan] berulang, [dan] saya pikir [hal itu disebabkan] peran intelijen tidak efektif,ā ujarnya. (*)