Jayapura, Jubi – Pemerintah saat ini tengah gencar mendorong penggunaan biomassa kayu sebagai solusi transisi energi dan pemotongan emisi karbon.
Biomassa kayu ini dipandang netral karbon dengan asumsi bahwa karbon yang lepas dari pembakaran kayu akan diserap kembali oleh pohon baru.
Namun ekspansi perkebunan kayu atau Hutan Tanaman Energi (HTE) secara masif yang akan muncul untuk memenuhi kebutuhan kayu, justru akan menimbulkan deforestasi dan memunculkan emisi berlebih serta menimbulkan konflik lahan dan kebakaran hutan.
Untuk itu sebanyak 29 lembaga masyarakat sipil mengeluarkan pernyataan bersama menolak pemanfaatan biomassa kayu dalam strategi transisi energi pemerintah, dalam siaran pers yang digelar secara daring, Rabu (25/10/2023).
Manajer Program Bioenergi Trend Asia, Amalya Reza mengatakan anggapan bahwa biomassa kayu ‘netral karbon’ bergantung pada asumsi bahwa karbon yang dihasilkan dari pembakaran biomassa akan ditangkap kembali oleh perkebunan kayu, namun dalam skala masif, kecepatan emisi pembakaran tidak akan terserap oleh tumbuhnya pohon baru, yang pada akhirnya tetap akan ditebang.
Apalagi katanya, ditambah emisi dari deforestasi hutan alam. Implementasi co-firing di 41 PLTU yang dianggap aksi heroik pemerintah terkait transisi energi sebenarnya hanya narasi greenwashing yang merupakan kebohongan publik.
“Apalagi dalam momen tahun politik saat ini, narasi greenwashing tersebut menjadi justifikasi untuk pemberian izin-izin baru Hutan Tanaman Energi. Implikasinya tidak berhenti pada deforestasi, tapi perampasan lahan, eskalasi bencana hidrologis dan memperuncing konflik penguasaan lahan,” kata Amalya Reza.
Dalam misi transisi energi dan melawan perubahan iklim, Indonesia sedang mengejar target 23 persen bauran energi pada tahun 2023. Sebagai solusinya, pemerintah gencar mendorong penggunaan biomassa pelet kayu baik sebagai bahan campuran batubara (co-firing) di PLTU, atau digunakan sendirian di Pembangkit Listrik Tenaga Biomassa (PLTBm).
Dalam riset Trend Asia membantah klaim tersebut, karena perhitungan pemerintah berdasar kepada klaim netral karbon pembakaran biomassa yang keliru. Dalam perhitungan Trend Asia, pembakaran pelet kayu dalam jumlah tersebut akan menghasilkan 1.188.160 juta ton emisi setara karbon.
“Klaim netralitas karbon didasari asumsi bahwa emisi karbon dari pembakaran biomassa di PLTU akan diserap oleh Hutan Tanaman Energi (HTE). Namun ekspansi HTE yang masif untuk memenuhi permintaan biomassa kayu dari PLTU co-firing, justru akan mendorong deforestasi yang menghasilkan emisi baru,” katanya.
Manager Kampanye Hutan dan Kebun WALHI Nasional, Uli Arta Siagian menjelaskan pembangkitan listrik menggunakan campuran batu bara dan kayu (co-firing biomassa) sebagai dalih transisi energi bersih, sesungguhnya adalah bentuk perdagangan krisis.
“Sama sekali tidak menjawab persoalan krisis iklim dan ketidakadilan energi yang terjadi. Sudah saatnya negara belajar dan menyusun kebijakan yang menjamin keselamatan rakyat dan lingkungan berbasis hak serta pemulihan,” ujarnya.
Ketua Bidang Advokasi YLBHI, Zainal Arifin mengungkapkan hutan tanaman energi dan co-firing biomassa dalam transisi energi tidak hanya merupakan solusi palsu, tapi juga program manipulatif yang berpotensi memperpanjang pelanggaran Hak Asasi Manusia, khususnya di tapak-tapak PLTU dan juga di tapak-tapak masyarakat yang sedang berjuang di kawasan hutan.
Ini artinya, masyarakat di tapak PLTU harus memperpanjang perlawanannya karena menghirup udara kotor dan untuk mendapatkan lingkungan yang baik, dan sehat. Di sisi lain, co-firing biomassa yang membutuhkan lahan untuk HTE juga akan memperpanjang konflik agraria di sektor kehutanan.
Aliansi Gerakan Reforma Agraria, Saiful Wathoni menambahkan HTE seperti halnya HTI, akan semakin banyak merampas tanah dan ruang hidup rakyat.
“Masalah energi terbarukan bukanlah soal bentuk energinya saja, tetapi juga untuk apa dan siapa energi itu digunakan,” ujar Saiful Wathoni. (*)