Jayapura, Jubi – Pemerintah pusat diminta untuk mengevaluasi pengerahan pasukan TNI/Polri ke Tanah Papua. Pengerahan pasukan yang banyak dinilai semakin meningkatkan eskalasi konflik bersenjata di Tanah Papua.
Direktur Aliansi Demokrasi untuk Papua, Anum Latifah Siregar menyatakan evaluasi pasukan TNI/Polri harus dilakukan guna melihat prosedur pengerahan pasukan. Siregar menyatakan pengarahan pasukan ke Papua yang masif itu untuk Operasi Militer Selain Perang membuat kebijakan keamanan di Tanah Papua didominasi pemerintah pusat.
“[Kini] kewenangan kebijakan keamanan di Papua itu ada di pemerintah pusat. Bukan lagi [di tangan] Panglima Komando Daerah Militer atau Kepala Kepolisian Daerah,” kata Siregar dalam kuliah umum bertajuk “Mungkinkah Dialog di Tengah Eskalasi Konflik?” yang diselenggarakan Program Studi Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Cenderawasih di Kota Jayapura, Papua, pada Selasa (13/6/2023).
Aliansi Demokrasi untuk Papua (AlDP) mencatat sepanjang 2022 setidaknya ada 9.205 anggota TNI/Polri dengan kualifikasi tempur dan intelijen di kirim ke Tanah Papua. Mereka terdiri dari 7.850 prajurit TNI, dan 1.355 polisi.
Siregar menyatakan pengerahan banyak pasukan ke Tanah Papua gagal mengakhiri konflik. Pengerahan pasukan TNI/Polri itu menambah eskalasi konflik bersenjata dan menimbulkan korban dair pihak TNI, Polri, kelompok bersenjata Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB), maupun warga sipil.
Laporan Komnas HAM Papua 2022 mencatat setidaknya 10 prajurit TNI meninggal dunia, 14 prajurt TNI lainnya luka-luka. Pada tahun yang sama, empat polisi meninggal dunia, dan tiga polisi lainnya mengalami luka-luka.
Selain itu, sepanjang 2022 ada lima anggota TPNPB meninggal dunia. Sejumlah 39 warga sipil meninggal dunia, dan 10 orang terluka.
“Korban berjatuhan banyak, baik korban TNI, korban TPNPB. Tetapi paling utama adalah korban dari masyarakat sipil, karena eskalasi konflik bersenjata terus meningkat,” ujar Siregar.
Ia menyatakan sejauh ini pengerahan pasukan TNI/Polri ke Papua tidak melalui prosedur yang benar. “Itu [pengerahan pasukan] di Papua masuk kategori Operasi Militer Selain Perang. Itu kan harus minta persetujuan DPR RI. Apakah Presiden sebagai panglima tertinggi melakukan itu atau tidak? Nampaknya tidak. Artinya, [pengerahan pasukan ke Papua itu] tidak melalui mekanisme yang benar,” katanya.
Siregar juga menyatakan perlu adanya investigasi yang independen terkait peristiwa yang terjadi di Papua. Investigasi ini menjadi penting supaya tidak terjebak dengan narasi yang terus muncul dari TNI/Polri maupun TPNPB.
“Kami punya banyak pengalaman, dibilang ‘ini pelakunya’, tetapi [ketika] diinvestigasi pelakunya beda. Perlu investigasi [terhadap korban] yang [yang dibunuh] karena dia [dianggap] mata-mata, baik yang ditembak TNI/Polri maupun ditembak TPNPB. Itu semua harus diinvestigasi. Pernyataan yang sifatnya politisi harus [diverifikasi] melalui proses investigasi yang akuntabel untuk melihat benarkah dia mata-mata atau bukan,” ujarnya.
Koordinator Jaringan Damai Papua (JDP), Septer Manufandu menyatakan ada banyak pendekatan yang bisa dipakai untuk menyelesaikan konflik di Papua—baik itu referendum, perang, dialog damai, hingga melalui pemberian otonomi khusus. Manufandu menyatakan (JDP) memilih dialog damai sebagai resolusi konflik di Papua.
Manufandu menyatakan Papua merupakan daerah yang mengalami konflik bersenjata terlama di Indonesia. Menurut JDP, kata Manufandu, dialog damai diterima semua pihak, serta tidak mengorbankan nyawa.
Manufandu menyatakan JDP telah menyusun konsep dialog damai Jakarta-Papua. Konsep itu telah disosialisasikan di 42 kabupaten di Tanah Papua melalui pendekatan teritorial maupun kategorial.
Ia berharap semua pihak yang berkonflik maupun yang terkena dampak konflik akan mendukung dialog damai. “Itu cara terbaik,” katanya. (*)