Jayapura, Jubi – Buku berjudul Dosa dan Masa Depan Planet Kita yang ditulis oleh Prof Dr Hariadi Kartodihardjo, Guru Besar Kebijakan Kehutanan IPB University, baru saja dibedah di Cafe Kantor Yayasan Pengembangan Masyarakat Desa atau YPMD Papua, Kamis (21/7/2022) siang. Buku yang merangkum kumpulan esey tulisannya sejak 2020-2021.
“Mestinya sudah harus ada lagi catatan baru dalam diskusi bedah buku ini,” kata Hariadi Kartodiharjo dalam memberikan pengantar dalam diskusi bedah buku yang digagas LSM Kalahari dari Riau, Walhi Papua, dan Walhi Riau.
Salah satu yang menarik dalam penulisan ini adalah bagaimana Prof Hariadi memilih judul dengan memakai kata dosa untuk buku setebal 632 halaman berjudul Dosa dan Masa Depan Planet Kita.
Mengutip Wikipedia.org bahwa dosa dalam bahasa Sansekerta adalah suatu istilah yang terutama digunakan dalam konteks agama untuk menjelaskan tindakan yang melanggar norma atau aturan yang telah ditetapkan Tuhan atau Wahyu Ilahi.
“Barangsiapa tahu hal yang benar untuk dilakukan tapi gagal melakukannya, itu adalah dosa” (halaman 85 Dosa dan nasib planet kita) tulis Prof Dr Hariadi.
Dari hasil pemikiran dalam penulisannya persoalan lingkungan dan kehutanan di planet kita ini tidak bisa hanya diperbaiki dari aspek teknis semata, tetapi juga politis yang menyangkut tata kelola dan kepemimpinan.
Esai dalam buku ini adalah topik yang kompleks dan berat, namun guru besar IPB ini sangat jelas menunjukkan keberpihakannya dan berani membela masyarakat yang lemah.
Sekaligus ia menyampaikan gagasan dan pemikiran yang kritis terhadap pemerintah atau institusi yang memiliki mandat serta wewenang dalam bidang kebijakan pembangunan dan lingkungan hidup.
Ia mengutip stanza ketiga lagu Indonesia Raya, yang jarang didengar sebagai gambaran tentang visi ke depan planet kita atau lebih khusus lagi bumi Indonesia ke depan. “Slamatlah rakyatnya, slamatlah putranya, pulaunya, lautnya, semuanya. Majulah negrinya, majulah pandunya, Untuk Indonesia Raya…..”.
Amanat untuk menyelamatkan penguasaan agrarian, yaitu semua kandungan di planet kita ini, yakni kekayaan alam mulai dari tanah laut hingga luar angkasa, begitulah kutipan syair lagu stazsa ketiga lagu karya komponis WR Supratman itu.
Sebagai seorang dosen manajemen kebijakan kehutanan di IPB Bogor, ia juga mengeritik atau otokritik untuk para ilmuwan.
“Dalam bidang kehutanan ada doktrin “Scientific Forestry”, doktrin ini sudah banyak dikritik…Peter Gluck (1987) doktrin kehutanan berupa “kayu“ sebagai unsur utama (timber primacy); kelestarian hasil (sustained yield), jangka panjang (the long term) dan standard mutlak (absolut standard). “Doktrin ini yang berasal dari Eropa itu berkembang di Amerika Utara dan menyebar ke seluruh dunia.”
“Keempat doktrin itu telah membentuk kerangka dasar kurikulum bagi pendidikan tinggi kehutanan serta menjadi peraturan di banyak negara,” tulisnya.
Lebih lanjut ia mengatakan terkadang pula para pakar tidak memperhitungkan kehidupan atau pentingnya serangga dalam ekosistem. Padahal, lanjut dia, semua ilmuwan harus saling bekerja sama agar tidak ada lagi yang hilang.
“Serangga itu sangat penting dalam penyerbukan tetapi begitu serangga hilang berarti ada tanaman yang berkurang produksinya,” katanya.
Cara terbaik memahami buku ini adalah mencoba menyeleraskan dengan isu-isu lingkungan yang dialami di wilayah masing masing. Misalnya, kasus di Tanah Papua mulai dari tambang dan daya dukung alam, ekosistem lahan gambut dan mangrove. Termasuk pula illegal logging, tambang ilegal, dan eksploitasi kawasan tepian sungai dengan pertambangan. Kemudian konflik agrarian yang melibatkan banyak unsur yang belum menemukan titik temu penyelesaiannya.
Salah satu pesannya dalam buku ini harus ada etika dalam kebijakan termasuk keberpihakan kepada mereka yang tertindas atau lemah. Bahkan ia juga berani mengkritisi birokrasi maupun pembuat kebijakan yang merugikan bahkan tidak hati hati dan keliru.
Wakil Presiden RI kedua dan tokoh proklamator, Bung Hatta, yang dikutip dalam buku ini telah memperingatkan perihal pemanfaatan lahan dan hutan. Bung Hatta khawatir jika lahan dan hutan tidak dikelola dengan benar, tidak dimanfaatkan sebagai aset yang berkelanjutan maka akan mendatangkan kesengsaraan yang berkepanjangan untuk rakyat dan hanya memberikan keuntungan pada segelintir orang.
Bung Hatta lalu mengusulkan model bisnis tata kelola lahan dan hutan melalui koperasi. Namun apa yang dikhawatirkan dan diperingatkan oleh Bung Hatta tidak menjadi perhatian utama. Atas nama pembangunan dan pertumbuhan sebagai simbol kemajuan telah menjadikan ekonomi ektraksi sebagai mesin utama untuk membiayai pembangunan.
Kekhawatiran Bung Hatta masih menjadi kekhawatiran kita Bersama. Padahal UU 1945 pasal 33 mengamanatkan kekayaan alam harus digunakan sebanyak mungkin untuk kesejahteraan rakyat yang belum bisa dipeuhi. Rakyat masih terus menjadi korban kebijakan negara dan sepak terjang korporasi yang rakus lahan dan sumber daya alam. Di sana sini rakyat masih dipersekusi oleh aparatur keamanan dan juga didiskriminasi hanya karena ingin membela hak hidup dan penghidupannya.
Lalu apa yang bisa dilakukan untuk menyelamatkan bumi atau planet kita….. Selama etika dan keberpihakan tidak pernah ada serta tata kelola pemerintahan yang cenderung korup dan tidak transparan, jangan berharap banyak. Sekalipun kita berharap ada presiden terpilih nanti mewariskan cita-cita Bung Hatta dalam membangun bangsa ke depan. Sangat sulit selama para birokrat tidak berubah sebagaimana dikatakan dalam buku ini
“Selama 30 tahun bergelut dengan kebijakan dan mengamati praktik-praktiknya, saya melihat peraturan banyak berubah, tetapi kerja brokarasi relatif sama. Artinya, sebagus apapun aturannya, jika mental birokrat kita tak menyentuh semangat perubahan dalam undang-undang, cita-cita yang ada di dalam belum tentu berubah.” (*)
Discussion about this post