Oleh: Pares L. Wenda
Kekerasan justru terjadi pada masa Pemerintahan Indonesia di Papua. Artinya, keputusan politik Bung Karno dan Mohammad Yamin telah memulai konflik kekerasan di Papua, sejak perdebatan kedua tokoh ini dalam Sidang BPUPKI, yang menentang Mohammad Hatta membiarkan orang Papua menentukan nasib sendiri, karena Papua adalah bangsa Melanesia, bukan bangsa Melayu.
Mohammad Hatta tidak melihat Maluku, Nusa Tenggara Timur, dan Timor Portugis sebagai orang Melanesia. Dalam pandangan Mohammad Hatta mereka adalah bagian dari bangsa Melayu. Karena itu, dia tidak mempersoalkannya. Tetapi soal Papua pendiriannya kokoh.
Kahar Muzakkar
Martin Sitompul dalam artikelnya ”Debat Pendiri Bangsa Soal Papua” (Historia.id, 9/5/2019) menjelaskan hasil sidang BPUPKI dan PPKI pada 10-11 Juli 1945. Isu yang paling alot dibahas sampai pemungutan suara adalah tentang Papua–apakah dimasukkan ke dalam wilayah negara Indonesia atau tidak.
Diskusi soal Papua pertama kali diangkat oleh Kahar Muzakkar, wakil Sulawesi dalam sidang BPUPKI. Ia mengatakan, “Biarlah yang tinggal di Papua (yang) agak lebih hitam-hitaman sedikit daripada kita, akan tetapi tanah Papua itu pula menjadi sumber kekayaan kita. Janganlah sumber kekayaan yang diwariskan nenek moyang kita hilang dengan sia-sia belaka.”
Tindak ada rujukan ilmiah yang digunakan Kahar Muzakkar. Namun, itu pandangan pribadinya. Meski demikian, sedikitnya ia mempunyai referensi tentang kekayaan alam Papua.
Mohammad Yamin
Dalam sidang itu Mohammad Yamin mengatakan ’’…posisi Papua sebagai pintu gerbang kawasan Pasifik sangat menentukan secara geopolitik. “Sehingga untuk menyempurnakan daerah yang berarti kuat dan abadi, perlulah pulau Papua seluruhnya dimasukkan ke dalam Republik Indonesia,”… Bahwa di masa lalu, Papua merupakan vassal (daerah penaklukan) Kerajaan Tidore di Maluku. “Sebahagian dari pulau Papua adalah masuk lingkungan dan adat Kerajaan Tidore, sehingga dengan sendirinya daerah itu benar-benar daerah Indonesia,”…’’.
Pernyataan Mohammad Yamin menggambarkan bahwa beliau mempunyai referensi sejarah. Akan tetapi, dia menekankan bahwa sebagian wilayah Papua masuk dalam Kesultanan Tidore. Tentu yang dimaksudkan adalah di wilayah-wilayah Kepulauan Raja Ampat, Salawati, Waigeo, dan Kepala Burung–yang meliputi Sorong dan Fakfak, serta wilayah pantai utara Papua hingga Kepulauan Kebe, dekat dengan Maluku Utara.
Penjelajah terkuat pada masa itu adalah orang Byak, sehingga tidak heran mereka menguasai sebagian kepulauan dan wilayah daratan bagian utara Papua: dari Byak hingga Kepulauan Kebe. Inilah barangkali yang meyakinkan Mohammad Yamin.
Dimaksudkan seluruhnya dalam pengertian ini adalah wilayah kekuasaan Belanda, minus Papua timur (Papua Nugini), yang kala itu dikuasai Inggris dan Jerman (selanjutnya diserahkan kepada Australia).
Mohammad Hatta
Lebih lanjut, keesokan hari Mohammad Hatta datang dengan pandangan yang sangat berbeda dari Kahar Muzakkar dan Mohammad Yamin. Mohammad Hatta mengatakan: ’’Pandangan …’ilmiah’ Yamin agak kurang masuk akal bagi Hatta. Khusus untuk Papua, Hatta tidak sepakat memasukkan wilayah ini ke dalam Republik Indonesia. Menilik kesamaan etnis yang serumpun Melayu, Hatta lebih memilih Malaya dan Borneo utara bersama dengan bekas wilayah Hindia-Belanda sebagai keseluruhan Indonesia. “Sekiranya bagian Papua itu ditukar dengan Borneo utara, saya tidak berkeberatan, malah bersyukur,” kata Hatta. “Karena, seperti saya katakan dahulu, saya tidak minta lebih dari pada tanah air Indonesia yang dulu dijajah oleh Belanda.”
Mengenai Papua, Hatta mengatakan bahwa orang Papua berasal dari bangsa Melanesia, berbeda dengan Indonesia yang Melayu. Menurut perhitungannya, pemerintah Indonesia kelak masih belum cukup mapan mendidik rakyat Papua menjadi bangsa yang merdeka. Sehingga bagi Hatta, adalah lebih baik menyerahkan masa depan Papua kepada rakyat Papua sendiri atau bisa ditangani saja oleh Jepang.’’
Demikian pandangan Hatta dalam Risalah Sidang BPUPKI/PPKI yang ditulis Sitompul dalam Historia.
Pandangan Mohammad Hatta lebih realistis. Ia menarasikan dengan jujur dan polos, didukung dengan pengalaman hidup di belantara Papua di Boven Digul. Pandangan ini meyakinkan dirinya dan menolak dalil Mohammad Yamin, bahkan menolak Soekarno.
Perbedaan pandangan itu sampai terjadi dalam Pemerintahan Soekarno-Hatta. Terutama ketika ia melakukan perundingan dengan Belanda pada 1949 di Den Haag, Belanda (Sitompul dalam “Ketika Hatta Menolak Papua”, Historia.id, 17 Mei 2019). Bung Hatta tetap menolak Papua menjadi bagian dari Indonesia, hingga akhir hayatnya.
Soekarno
Pandangan Soekarno lebih condong mendukung Mohammad Yamin. Soekarno mengatakan, ’’…, wilayah Indonesia yang terbentang dari Sumatera hingga Papua adalah karunia Tuhan. Mengutip kitab Negarakertagama (yang dibuat cendekiawan Kerajaan Majapahit, Mpu Prapanca pada 1365). Soekarno menyatakan bahwa sejatinya kekuasaan Kerajaan Majapahit melebar hingga ke pulau Papua. Papua dan ambisi presiden pertama gagasan Yamin dan Soekarno tampaknya mendapat banyak dukungan dari kebanyakan anggota…’’ (Sitompul dalam Historia.id).
Setelah pandangan Mohammad Yamin yang didukung Soekarno yang ditolak oleh Mohammad Hatta, maka terjadilah perdebatan sengit tentang Papua dalam sidang BPUPKI. Akhirnya diputuskan melalui pemungutan suara tentang Papua.
“Silang gagasan pun tidak terhindarkan. Tokoh senior, Agus Salim, dari kalangan Islam dan Soetardjo yang mantan anggota Volksraad prihatin menyaksikan perdebatan. Mereka mengingatkan agar persoalan Papua jangan sampai jadi bahan pertikaian pendapat. “Pada hari yang lain kita boleh membicarakan soal Papua, tetapi untuk sekarang, untuk sementara waktu, hendaknya kita tunda saja soal Papua. Tuan Ketua, satu kali terlepas dari tangan kita, nanti Papua itu menjadi benda pertikaian menjadi benda perselisihan antara saudara-saudara,” kata Soetardjo.
Pun demikian dengan Alexander Maramis, anggota dari Manado, yang menganjurkan agar menunggu sikap penduduk Malaya, Borneo utara, Timor, dan Papua, untuk bergabung dengan Indonesia.
Untuk memecahkan kebuntuan, Ketua BPUPKI, Radjiman Wedyodiningrat mengadakan pemungutan suara. Tiga opsi dipilih sebagai wilayah negara Indonesia: (1) seluruh Hindia Belanda; (2) Hindia Belanda ditambah Malaya, Borneo utara, Timor, dan Papua; (3) Hindia Belanda ditambah Malaya dan Borneo utara minus Papua. Hasilnya, dari 66 peserta sidang, opsi nomor 1 memperoleh 19 suara, opsi nomor 2 memperoleh 39 suara, opsi nomor 3 memperoleh 6 suara, blangko 1 suara, dan lain-lain 1 suara. Pada akhirnya, gagasan kesatuan Yamin dan Soekarno memperoleh suara terbanyak. Konsep inilah yang kemudian diterima sebagai wilayah Indonesia Raya, dari Sabang sampai Merauke. Sementara usulan Hatta dimentahkan dalam forum karena mendapat suara paling sedikit’’.
Semua proses sidang BPUPKI/PPKI tidak melibatkan orang Papua asli. Ada wakil dari Kepulauan Sulawesi dan Ambon, tetapi tidak ada orang Papua asli. Dalam sidang BPUPKI/PPKI pandangan Yamin dan Soekarno hingga kini menghasilkan perbedaan pendapat yang tajam dari orang Papua, hingga konflik berdarah-darah sejak penduduk pemerintah Indonesia di Papua.
Walaupun pandangan Bung Hatta kalah jumlah saat itu, pendiriannya kokoh. Semata-mata untuk menjaga persahabatan Papua dan Jakarta.
Jika pandangan Bung Hatta diterima oleh BPUPKI waktu itu, tentu kondisinya tidak seperti saat ini.
Pandangan Yamin dan Soekarno, bukan sebagai sebuah resolusi konflik telah disimpulkan dengan baik oleh LIPI/BRIN tentang konflik Papua, dan bukan resolusi konflik Papua: (1) kesalahan sejarah dan status politik Papua belum tuntas hingga saat ini; (2) pelanggaran HAM; (3) kegagalan pembangunan; dan (4) marginalisasi orang Papua asli.
Sekali lagi, ini bukan resolusi konflik Papua, tetapi melahirkan masalah baru dalam konflik Jakarta-Papua. Setidaknya itulah yang bisa disimpulkan.
Artinya, ini bukan resolusi konflik ala Muhammad Yamin dan Soekarno. Akan tetapi “menaruh bara api di atas kepala generasi emas bangsa Indonesia dan Papua”.
Mohammad Hatta dalam kesederhanaan dan kejujurannya mengajukan pandangan yang sangat cerdas untuk masa depan kedua negara yang berdamai. Resolusi konflik yang berdimensi perdamaian antara kedua bangsa (Melayu dan Melanesia) yang berjangka panjang, sebagai mitra bertetangga. Dan secara emosional sebagai bangsa yang pernah dikuasai oleh Belanda. Tetapi semua itu belum terwujud hingga saat ini.
Lalu masih relevankah perjuangan penentuan nasib sendiri dalam isu perbedaan ras Melayu dan Melanesia bagi bangsa Papua saat ini? Sejauh ini masih relevan. Bersambung. (*)
Penulis adalah anggota Members at Large Youth Department of Baptist World Alliance mewakili Indonesia dari Papua dan pemerhati masalah sosial-politik Papua