*Oleh: Thomas Ch Syufi
Pada dasarnya hukum pidana tak mengenal imunitas. Namun, ada pengecualian bahwa hak imunitas hanya diberikan kepada orang tertentu, atas tindak pidana yang dilakukan di luar teritorial negaranya.
Indonesia telah mengambil pilihan yang ideal dan jelas untuk menjadi negara yang berdasar atas hukum (rechtsstaat), tidak berdasar atas kekuasaan semata (machstaat), menjadi pedoman dalam kehidupan berbangsa dan bernegaranya.
Artinya, segala aktivitas penyelenggaraan negara atau pemerintahan harus berdasar pada hukum, termasuk sanksi-sanksi yang diberikan kepada setiap warga negara yang melanggar, lalai, atau tidak melaksanakan perintah dari hukum yang telah dinormakan dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, yakni undang-undang dan peraturan daerah (perda).
Esensi sanksi pidana, menurut ahli hukum pidana Universitas Gadjah Mada, Eddy OS Hiariej, hanya bisa diatur dalam undang-undang dan perda, seturut dengan asas no punish without representative.
Artinya, pencantuman sanksi pidana harus mendapatkan persetujuan rakyat, yakni undang-undang dengan persetujuan DPR atau perda dengan persetujuan DPRD. Dalam artikel bertajuk “Problematika Sanksi Pidana UU Cipta Kerja”, Eddy (kini Wakil Menteri Hukum dan HAM RI) menambahkan, walaupun diatur dalam perda, sanksi pidana yang boleh dicantumkan hanya sebatas pidana denda dan pidana kurungan.
Prinsipnya, negara hukum dapat mensejajarkan semua warga negara sama di hadapan hukum tanpa diskriminasi atau membedakan setiap orang berdasarkan status sosial, ekonomi, warna kulit, ras, dan suku, termasuk tak ada segregasi antara pejabat negara dan rakyat jelata.
Pada hakikatnya negara hukum menghendaki equal treatment, perlakuan yang sama, di antara setiap warga negara berdasar pada asas equality before the law (setiap orang diperlakukan sama di depan hukum).
Negara hukum atau rule of law adalah prinsip yang menyatakan bahwa negara harus diperintah oleh hukum dan bukan sekadar keputusan pejabat-pejabat secara individual. Istilah ini berasal dari Inggris pada abad ke-16. Samuel (1600-1661), teolog dan penulis Skotlandia, menggunakan istilah tersebut dalam argumennya untuk menentang hak ilahi raja.
Albert Venn Dicey (1835-1922), ahli hukum Inggris dalam Introduction to the Law of the Constitution mengatakan bahwa rule of law memiliki tiga unsur dasar: (1) Supremasi aturan hukum, yang berarti seseorang hanya boleh dihukum kalau melanggar hukum; (2) Kedudukan yang sama di mata hukum, baik itu pejabat, maupun rakyat jelata, dan; (3) Terjaminnya hak asasi manusia melalui undang-undang dan putusan hak asasi manusia (Wikipedia).
Oleh karena itu, siapa pun warga negara yang melanggar hukum di seluruh wilayah Indonesia, termasuk presiden, menteri, anggota MPR, DPR, DPD, gubernur, bupati/walikota, dan anggota DPRD akan dimintai pertanggungjawaban atau dikenai sanksi hukum sesuai perbuatannya (culpue poena par esto) bila terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana atau perbuatan melawan hukum.
Misalnya, para pejabat negara tersebut melakukan tindak pidana korupsi atau salah menggunakan hak berpendapat yang deviasif atau keluar dari norma-norma hukum berupa fitnah, hate speech, dan pencemaran nama baik, tetap akan diproses hukum (meski perbuatan pidana itu berlangsung di tengah menjalankan tugasnya sebagai pejabat negara).
Khusus untuk kepala negara (presiden) yang diduga melakukan tindak pidana atau melanggar UUD 1945, misalnya, tidak otomatis diproses hukum, tetapi ia harus dijatuhkan secara politik (di-impeachment) terlebih dahulu oleh DPR. Dan setelah tidak lagi sebagai presiden (kepala negara), barulah diadili pidananya.
Presiden sebagai panglima tertinggi atas angkatan darat, laut, udara, termasuk berkuasa atas semua lembaga trias politika (eksekutif, legislatif, dan yudikatif), hingga sukar diadili secara langsung pidananya, karena presiden bisa mengatur dan mengendalikan semua proses peradilan, baik pada aras kepolisian, kejaksaan, hingga pengadilan, mulai dari tingkat bawah (pengadilan negeri) hingga mahkamah agung.
Jadi, supremasi hukum ditegakkan demi terwujudnya keadilan (gerechtigheit), kepastian (rechsecherheit), dan kemanfaatan (zwachmatigheit) bagi segenap warga Indonesia, yang menjadi cikal bakal negara hukum Indonesia, sekaligus sebagai salah satu perwujudan cita-cita pembangunan hukum nasional, untuk kemajuan Indonesia di masa depan. Sebab, hukum adalah jalan peradaban untuk menegakkan kebaikan atau demi kebenaran dan keadilan (propter veritatem et justitiam).
Imunitas
Secara filosofis dalam hukum pidana tidak mengenal imunitas didasarkan pada dua postulat hukum. Pertama, impunitas continuum affectum tribuit delinquendi (imunitas yang dimiliki seseorang membawa kecenderungan pada orang tersebut untuk melakukan kejahatan); Kedua, impunitas semper ad deteriora invitat (imunitas mengundang pelaku untuk melakukan kejahatan yang lebih besar).
Imunitas dalam hukum pidana hanya diberikan kepada orang tertentu atas tindakan pidana yang dilakukan di luar teritorial negaranya, seperti kepala negara, duta besar, konsul, dan diplomat. Seorang kepala negara memiliki imunitas di luar wilayah teritorial negaranya.
Ini berdasarkan postulat Par in parem non habet imperium (kepala negara tidak boleh dihukum dengan menggunakan hukum negara lain). Sama halnya duta besar, konsul, dan diplomat yang punya imunitas di negara penerima berdasarkan Konvensi Wina 1963 tentang Hubungan Diplomatik (Eddy OS Hiariej: Kompas, 23 November 2018).
Jelas, semua warga negara, termasuk para pejabat negara tidak ada yang kebal hukum (impunity) jika melakukan suatu tindak pidana (pelanggaran hukum) yang telah dinormalkan (diatur dalam peraturan perundang-undangan). Kecuali kejahatan yang belum diatur dalam hukum positif sesuai dengan asas legalitas dalam hukum pidana, yakni nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali (tiada suatu perbuatan yang dapat dihukum, kecuali ada ketentuan pidana dalam undang-undang telah lebih dahulu dari perbuatan itu).
Walaupun ada peraturan yang lahir sebelum sebuah tindak pidana terjadi, tidak dapat mengikat pelanggarnya, karena itu bertentangan dengan asas nonretroaktif (hukum tidak berlaku surut) kecuali seperti kasus kejahatan HAM dan terorisme.
Misalnya, kasus korupsi adalah musuh kemanusiaan dan kejahatan internasional yang termuat dalam Konvensi Antikorupsi PBB (United Nations Against Corruption/UNCAC) yang telah diratifikasi Indonesia menjadi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006.
“Intinya korupsi merupakan kejahatan internasional bagian dari hukum pidana internasional substantif, yang salah satu karakteristiknya, menurut Bruce Broomhall bahwa pertanggungjawaban pidana individu tidak bergantung pada jabatan yang melekat pada seseorang. Tegasnya, tanggung jawab individu tidak mengenal relevansi jabatan resmi. Sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime) bertaraf internasional, proses pengusutan saksi maupun pelaku korupsi tidak mengenal jabatan resmi” (Eddy OS Hiariej: Kompas, 23 November 2018).
Oleh karena itu, dalam pasal 83 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah secara tegas dan gamblang menyebutkan, “Setiap kepala daerah yang menjadi terdakwa dan menjalani persidangan akan diberhentikan dari jabatannya”.
Pada pasal 1 undang-undang a quo juga secara garis besar menjelaskan bahwa kepala daerah dan wakil kepala daerah diberhentikan sementara tanpa melalui usulan DPRD karena didakwa melakukan tindak pidana kejahatan, yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 tahun, baik tindak pidana terorisme, tindak pidana makar, tindak pidana terhadap keamanan negara, termasuk tindak pidana korupsi.
Setelah kepala daerah dinonaktifkan sementara, maka presiden dan menteri dalam negeri menetapkan penggantinya sebagai pelaksana tugas (plt) kepala daerah (gubernur, bupati/walikota), hingga menunggu putusan hukum yang berkekuatan hukum tetap (inkracht) sesuai asas res judicata pro veritate habetur, setiap putusan hakim atau pengadilan adalah sah, kecuali dibatalkan oleh pengadilan yang lebih tinggi. Ketidaktahuan seseorang (pejabat negara) akan peraturan hukum tersebut tidak dimaafkan (ignorantia iuris neminem excusat).
Jadi, peraturan tersebut berlaku erga omnes (mengikat semua) kepala daerah di seluruh Indonesia, termasuk para gubernur, bupati, dan wali kota di Tanah Papua. (*)
*Penulis adalah advokat muda Papua
