Wamena, Jubi – Enam warga sipil asal Distrik Kuyawage, Kabupaten Lanny Jaya akhirnya dipulangkan. Lima dalam kondisi kritis dan satu orang meninggal dunia. Ke enam warga Kuyawage adalah warga sipil yang ditangkap aparat gabungan pada operasi pembebasan pilot asal Selandia Baru, Philip Mark Mahrtens.
Hal itu disampaikan keluarga korban dan Tim Pencari Kebenaran Kuyawage di Wamena Pada Senin (24/4/2023) malam. Korban meninggal dunia atas nama Wity Unue (17), dipulangkan dalam keadaan tidak bernyawa.
“Korban meninggal saat dipulangkan melalui Bandara Timika ke Bandara Negeyagim, Lani Jaya pada 8 April 2023,” kata Ketua umum Ikatan Mahasiswa Nduga atau IPMNI Se -Indonesia kota studi Jayawijaya, Enggipilik Kogeya.
Lima orang lainnya yang sempat ditahan di Timika, kemudian dipulangkan pada 20 April 2023 dengan kondisi kesehatan buruk.
“Dua orang korban di antar ke Wamena dan tiga orang ke Kuyawage. Kini mereka bersama keluarganya dalam keadaan sakit parah,” ujarnya
Di tempat yang sama, Koordinator Tim Pencari Kebenaran Kuyawage dan juga merupakan Aktivis Hak Asasi Manusia atau HAM Papua, Raga Kogeya berterima kasih kepada semua pihak yang telah bekerja keras sehingga lima warga sipil yang sempat ditahan itu, bisa kembali bersama keluarganya,
“Kami juga turut berterima kasih kepada tokoh gereja, mahasiswa, LSM, media, Pemerintah dan DPRD yang sudah kerja sama untuk menyelamatkan lima orang ini,” ujarnya.
Kogeya menegaskan tidak boleh ada lagi ada penangkapan warga sipil di Distrik Kuyawage. Karena Kuyawage berada di kabupaten Lanny Jaya, sehingga bukan daerah pertempuran, melainkan tempat mengungsi dari warga sipil asal Kabupaten Puncak dan Nduga yang selama ini menjadi medan pertempuran antara TNI/Polri dan TPNPB.
“Jika TNI/Polri mau perang dengan TPNPB di bawa pimpinan Egianus Kogeya, silahkan! Tapi jangan siksa dan bunuh warga sipil yang tidak tahu menahu tentang keberadaan Pilot Philip Martens dan Egianus Kogeya,” tegasnya.
Raga Kogeya menjelaskan bahwa pihaknya sudah menyerahkan surat pernyataan tersebut kepada Pemda Lanny Jaya, Kapolres Lanny Jaya untuk bertanggung jawab dan memastikan agar tidak ada lagi warga sipil menjadi korban di Kuyawage.
“Kalo terjadi korban lagi rakyat di Kuyawage kami akan tanyakan Pemda Nduga, Kapolres Nduga Pemda Lanny Jaya, Polres Lanny Jaya. Apa kerja kalian selama ini?” kata Raga Kogeya.
Tim meminta ketiga Pemda Lanny Jaya, Nduga dan Puncak Papua harus bekerja sama untuk menyelamatkan warga sipil seperti Parina Karunggu (14). Sudah tiga pekan peluru masih bersarang di tubuh Parina Karunggu, tanpa pertolongan medis akibat tertembak peluru aparat TNI/POLRI.
“Sampai saat ini belum ada pertolongan atau perhatian bagi ke tiga pemuda yang dipulangkan ke Kuyawage. Tidak ada pertolongan juga dari tim medis, karena tidak ada tenaga kesehatan yang bertugas di sana,” katanya
Para korban adalah anak-anak dan anak muda yang masih dalam masih usia sekolah. Data tim pencari kebenaran dapatkan setelah melakukan konfirmasi dengan orangtua para korban. “Korban ditahan kemudian disiksa dan ditembak itu rata-rata masih berusia 15 hingga 25 tahun. Tapi dalam laporan TNI/ POLRI, mereka memalsukan identitas korban dengan bilang umur antara 30 sampai 35 tahun,” jelasnya.
Dengan kenaikan status operasi Pencarian Pilot Selandia Baru menjadi “Siaga Tempur,” negara diminta juga tetap melindungi hak hidup warga sipil.
“Sudah cukup terjadi pada 6 orang yang ditahan, siksa hingga ditembak mati. Jangan lagi terulang lagi terhadap warga sipil,” tegasnya
Perwakilan Keluarga Korban, Benius Murib menambahkan tindakan kekerasan terhadap Parina Karunggu dan almarhum Wity Unue yang dilakukan oleh oknum anggota TNI/POLRI dapat dikatakan pelanggaran berat.
“Karena korban ditangkap, ditembak lalu dipukuli sampai korban ada yang meninggal dunia, dan lainnya mengalami cedera parah di sekujur tubuh. Semua dilakukan selama masa penahanan yang dilakukan secara ilegal tanpa sesuai prosedur penahanan yang ada,” katanya.
Tim memaparkan para korban berusia sangat muda, seperti Person Gwijangge (15), almarhum Wity Unue (17), Kejar Murib (20), Oumega Tabuni (25).
“Mereka diperlakukan tidak secara manusiawi, padahal mereka ini warga sipil, tidak sedang melawan negara. Itu sudah jelas -jelas pelanggaran HAM berat,” katanya.(*)