Oleh: Jhoni Hesegem*
Sistem noken dalam pemilihan bupati dan wakil bupati, anggota DPRD, DPRP, DPR RI, DPD dan pemilihan presiden dan wakil presiden di wilayah Papua Pegunungan perlu ditinjau kembali secara serius. Sistem noken yang dimaksudkan bahwa dengan alasan geografis dan banyak masyarakat Papua di pedalaman yang tidak memiliki e-KTP, karena banyak kabupaten/kota di Papua Pegunungan yang sering terkendala jaringan internet dalam perekaman e-KTP, sehingga banyak penduduk yang belum memiliki e-KTP.
Itu persoalan di kota. Di kampung-kampung yang jauh dari kota malah lebih sulit. Dengan alasan geografis yang sulit dijangkau, maka noken digunakan sebagai pengganti kotak suara.
Faktanya sistem noken dalam pemilu sebagai dasar musyawarah untuk mufakat. Penyelenggara bersekongkol dengan sebagian elite politik yang punya kepentingan, sehingga berdampak pada runtuhnya nilai demokrasi.
Indonesia adalah negara hukum sesuai konstitusi dan konsep demokrasi. Namun, kedaulatan oleh rakyat dari rakyat dan untuk rakyat itu sudah tidak berlaku lagi dalam kehidupan masyarakat di wilayah Provinsi Papua Pegunungan, khususnya di pinggiran kota atau distrik-distrik yang jauh dari kota.
Awalnya pemilu sistem noken di Papua Pegunungan masih kabur. Hanya berlaku di wilayah suku Mee dan Lapago.
Dengan alasan geografis gagasan untuk memasukkan surat suara ke dalam noken kemudian diterima oleh masyarakat. Sistem noken lalu diperkenalkan dan terus disebarkan ke berbagai daerah, hingga akhirnya para kepala suku, tokoh adat, dan tokoh masyarakat menyepakati gagasan tersebut. Dengan demikian, sistem noken digunakan dalam pemilihan legislatif, DPD dan presiden/wakil presiden pada 2009 di beberapa kabupaten di wilayah pegunungan tengah Papua. Dan itu terus berlanjut dan dipraktikkan sampai saat ini.
Mahkamah Konstitusi (MK) telah mengakui konstitusionalitas sistem noken dalam perkara-perkaranya. Dalam putusan nomor 47-81/PHPU.A-VII/2009, Elion Numberi gagal terpilih sebagai anggota DPD Papua. Ia mengklaim telah terjadi kecurangan di Kabupaten Yahukimo, yang membuat saingannya, Paulus Yohanes Sumino, terpilih sebagai anggota DPD. Untuk mendukung klaim ini, Elion membawa saksi-saksi yang mengklaim bahwa pemilu tidak pernah diselenggarakan di dua dari tiga daerah pemilihan di Yahukimo.
Mahkamah Konstitusi menjawab bahwa pemilu di Yahukimo diadakan dengan sistem aklamasi yang disebut sistem noken. MK kemudian menyatakan, apabila aturan pemilu di tingkat nasional dipaksakan kepada masyarakat Yahukimo, maka hal tersebut dapat menimbulkan konflik dan disintegrasi bangsa. MK khawatir persaingan dalam pemilu dapat mengganggu keselarasan di masyarakat Yahukimo.
Maka dari itu, MK meyakini bahwa cara yang realistis adalah dengan menerima sistem noken, tetapi pemilu tetap harus diadakan dengan baik. Mengingat MK menemukan kecurangan sistematis dan masif di Yahukimo, kemudian dalam Putusan Nomor 14/PHPU.D-XI/2013, calon yang kalah dalam pemilihan gubernur Papua 2013, Habel Melkias Suwae, mengklaim bahwa keputusan KPU Papua untuk memperbolehkan penggunaan noken sebagai pengganti kotak suara adalah sebuah “konspirasi” untuk memenangkan Lukas Enembe.
Habel mengeluh bahwa kotak-kotak suara tidak pernah dikirim ke kampung-kampung, dan pemungutan suara di 18 kampung hanya diwakili tiga kepala kampung. MK menjawab bahwa tuduhan “konspirasi” ini tidak beralasan.
Selain itu, MK menegaskan bahwa keputusan KPU Papua didasarkan pada hukum adat yang berlaku di daerah setempat. Walaupun tidak diatur secara eksplisit dalam Undang-Undang Pemilu dan Undang-Undang Pemerintahan Daerah, MK menyatakan bahwa pasal 18B ayat (2) UUD 1945 menegaskan, “bahwa negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan hukum masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.”
Dengan demikian, MK menegaskan bahwa sistem noken merupakan bagian dari kesatuan-kesatuan hukum masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya. Namun, putusan MK dalam perkara tersebut dikritik oleh pakar hukum Indonesia asal Australia, Simon Butt. Menurut Butt, MK gagal menjelaskan mengapa sistem noken bisa dianggap memenuhi syarat-syarat yang tercantum dalam Pasal 18B ayat (2) UUD 1945.
Kemudian sistem noken kembali menjadi isu pada saat pemilihan presiden 2014. Calon yang kalah, Prabowo Subianto mengklaim telah terjadi kecurangan terstruktur, sistematis, dan masif, termasuk di Provinsi Papua. Tim Prabowo menyatakan bahwa proses rekapitulasi tidak pernah diselenggarakan di berbagai kampung, dan suara langsung diberikan begitu saja kepada calon yang lain, Joko Widodo, tanpa pembahasan terlebih dahulu, sehingga Joko Widodo mendapatkan perolehan suara 100% di berbagai tempat pemungutan suara.
Dalam Putusan Nomor 1/PHPU.PRES-XII/2014, MK menjawab bahwa sistem noken sejalan dengan UUD 1945. MK juga menegaskan bahwa perolehan 100% bukanlah hal yang aneh apabila sistem noken diterapkan, sehingga tidak dapat dijadikan bukti kecurangan. MK berpendapat bahwa apapun hasil pemilihan dengan sistem noken atau ikat semua pihak harus menerimanya, sebab sistem pemilihan demikian telah diakui dan dijamin oleh konstitusi.
Pada akhirnya, MK mendapati bahwa pemilu digelar di distrik-distrik dengan menggunakan sistem noken. Hasilnya juga telah didokumentasikan dengan baik oleh pihak penyelenggara.
Dengan latar belakang di atas, jelas terbaca, pemilu sistem noken di Papua Pegunungan, tidak memiliki dasar hukum tetap. Bahkan jelas pertimbangan MK yang selalu menjadikan yurisprudensi, sesungguhnya jelas perintahnya hanya dengan alasan menghormati hukum adat dan mengganti kotak suara dengan alasan geografis.
Namun, praktiknya jauh dari harapan. Sistem noken dengan konsep musyawarah untuk mufakat mengakibatkan tidak berlakunya asas demokrasi dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat. Ini merusak hubungan kebersamaan dan persaudaraan, hingga melahirkan sentimen yang panjang dan konflik yang mengorban nyawa.
Oleh karena itu, sebagai anak asli daerah dan melatarbelakangi rentetan praktik yang panjang ini, penulis menyepakati pemilihan sistem noken dalam pesta demokrasi dengan alasan geografis. Namun, mekanismenya perlu diatur.
Artinya, perlu mekanisme khusus dalam sistem noken yang tetap menjaga asas luber (langsung, umum, bebas, dan rahasia) dalam pemilu. Untuk mengatasi keterbatasan kepemilikan e-KTP juga harus ada ketentuan untuk mengatur hak mereka yang tidak punya e-KTP.
Akhirnya, sistem noken perlu diatur secara khusus, terutama dalam kaitannya dengan musyawarah untuk mufakat. Karena, kalau tidak demikian, maka hak warga negara untuk menyalurkan suara berdasarkan asas luber tidak terpenuhi.
Sistem noken tetap harus dijaga sebagai nilai budaya. Sistem noken untuk menggantikan kotak suara perlu dibuatkan regulasi. Mereka yang tidak memiliki e-KTP juga perlu diatur, agar dapat menggunakan haknya dalam Pemilu 2024, sehingga nilai demokrasi dalam pemilu tetap terjaga. (*)
*Penulis adalah anggota Bawaslu Kabupaten Yahukimo, Provinsi Papua Pegunungan