Oleh: Aris Yeimo
Penggunaan frasa “warga sipil” oleh berbagai media massa, baik media lokal maupun media nasional, selalu melahirkan perbantahan dari pihak Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat-Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM) dan TNI/Polri. Akibatnya, muncul dualisme perspektif yang terbangun. Publik menjadi bingung. Apakah korban “warga sipil” yang ditulis pada setiap pemberitaan mau dilihat dari perspektif TPNPB-OPM ataukah TNI/Polri?
Saya berasumsi bahwa, siapapun dia, manusia yang waras akalnya dan tajam suara hati nuraninya pasti sepakat mengatakan, “sangat tidak manusiawi menyaksikan rentetan penembakan antara TPNPB-OPM dengan TNI/Polri yang mengorbankan warga sipil di Papua.”
Artikel ini ditulis dengan maksud menjernihkan makna “warga sipil” dari kedua belah pihak, agar tidak salah digunakan dalam pemberitaan lalu mengesampingkan prinsip cover both side dan dengan sangat tidak sopan menggunakan frasa “warga sipil” pada setiap pemberitaan. Saya menggunakan istilah “tidak sopan” karena hal ini berhubungan langsung dengan kode etik atau etika jurnalistik.
Oleh karena itu, sebelum menjawab pertanyaan pada topik artikel di atas, saya ingin mempertegas posisi warga sipil asli Papua dan warga sipil non-OAP (orang asli Papua) dalam konteks perang gerilya antara TPNPB-OPM dan TNI/Polri.
Siapa itu warga sipil? Menurut Konvensi Jenewa, warga sipil adalah mereka yang bukan merupakan anggota militer ataupun yang dipersenjatai atau milisi (Wikipedia). Selain dari pada profesi dimaksud, seperti guru, dokter, petani, dan lain sebagainya, mereka ini dikategorikan sebagai warga sipil.
Selain itu, karena kebutuhan tertentu, maka dapat dimengerti jika seseorang merangkap dua profesi, baik sebagai militer, maupun profesi nonmiliter. Contohnya adalah seseorang berprofesi sebagai militer, tetapi di saat bersamaan sebagai dokter.
Warga sipil asli Papua adalah mereka yang bukan anggota militer ataupun milisi, yang secara antropologi merupakan rumpun ras Melanesia. Mereka terdiri dari berbagai suku asli yang memiliki hak ulayat penuh atas tanah dan seluruh kekayaan alam Tanah Papua. Mereka mendiami tanah ulayatnya dari Sorong sampai Merauke.
Secara biologis, mereka berkulit hitam dan berambut keriting/berombak. Kecuali itu, mereka yang berdarah campuran (peranakan), atau yang karena faktor genetik tertentu terlahir dengan kulit yang agak terang dan rambut lurus. Mereka ini sangat unik seperti yang dikatakan seorang penyair asli Papua, Alex Giyai, “Papua Bangsa Pelangi”. Keunikan itu nampak dalam seluruh dimensi kehidupan mereka.
Sedangkan warga sipil non-OAP adalah mereka yang bukan orang asli Papua dan bukan pula termasuk dalam kategori anggota militer dan milisi. Mereka ini ada yang sudah berada di Papua, jauh sebelum dikumandangkannya Trikora (Tiga Komando Rakyat) tanggal 19 Desember 1961 oleh Presiden pertama RI, Ir. Soekarno. Mereka hadir sebagai guru, tahanan pemerintah Belanda, dan pencari kerja (bdk. Alua 2006:17-18). Sekalipun saat itu jumlah mereka masih sangat sedikit. Bisa dihitung dengan jari.
Keberadaan warga sipil non-OAP semakin masif ketika mulai digaungkan perintah untuk mobilisasi umum, guna mempertahankan kesatuan tanah air dan negara oleh Soekarno melalui Trikora dan oleh Soeharto melalui program transmigrasi. Hingga hari ini, keberadaan warga sipil ini sudah berada di seluruh Tanah Papua. Bahkan menurut data Badan Pusat Statistik, pada tahun 2010, jumlah penduduk asli Papua di lima kabupaten sudah berkurang dibandingkan jumlah penduduk non-OAP.
Terkait dengan posisi warga sipil di atas, dalam berbagai kesempatan telah ditegaskan oleh juru bicara TPNPB-OPM, Sebby Sambom, dan beberapa panglima daerah, bahwa musuh utama mereka adalah TNI/Polri beserta simpatisannya. Mereka sangat anti dengan keberadaan aparat keamanan di seluruh wilayah Tanah Papua (Suarapapua.com, 25/4/2020). Jadi, menjadi jelas bahwa target utama TPNPB-OPM adalah TNI/Polri dan milisi ataupun mereka yang dianggap menjadi mata-mata. Begitu pun sebaliknya. TPNPB-OPM menjadi target utama TNI/Polri. Bukan warga sipil.
Sebby Sambom juga dalam berbagai kesempatan telah menerangkan bahwa mereka memiliki PIS (Papua Intelijen Service) di berbagai daerah operasi. Fungsi PIS adalah menjalankan operasi intelijen.
Sebelum melakukan operasi, mereka sudah memiliki data target berdasarkan analisa PIS. Mereka tidak sembarang menargetkan warga sipil, kecuali warga sipil tersebut sudah memenuhi syarat-syarat yang bagi mereka layak dijadikan target.
Karena itu, coba kita agak jernih melihat, bahwa jika benar TPNPB-OPM itu kejam, sadis dan brutal, berapa nyawa warga sipil di berbagai daerah konflik seperti Nduga, Intan Jaya, Puncak Jaya, Maybrat, Pegunungan Bintang, Timika, Yahukimo, Paniai, dan beberapa daerah lainnya yang sudah dibantah habis sejak berdirinya TPNPB-OPM sebagai kombatan dari perjuangan kemerdekaan Papua Barat? Ini sulit untuk dibayangkan.
Jadi, sudah sangat jelas bahwa rakyat sipil tidak terlibat dalam kepentingan perang antara TPNPB-OPM dengan TNI/Polri. Oleh karena itu, warga sipil tidak boleh dijadikan sebagai target oleh kedua belah pihak. Jika ingin berperang, silakan tentukan wilayah perang, tetapi tanpa mengorbankan satu pun nyawa warga sipil.
Selain itu, para jurnalis juga sedianya tidak sembarang menggunakan kata “warga sipil” – dari satu sumber dominan—tanpa investigasi dan konfirmasi dari kedua belah pihak. Karena secara tidak langsung berita yang dimuat akan sangat berdampak pada lahirnya potensi konflik vertikal dan horizontal yang mungkin dapat meledak kapan saja. (*)
Penulis adalah alumnus Sekolah Tinggi Filsafat Teologi (STFT) Fajar Timur Abepura, Papua
Discussion about this post