Oleh: Siorus Ewanaibi Degei*
Pada tulisan bagian dua ini, penulis penulis hendak melihat Giorgio Agamben sebagai aktivis kemanusiaan atau seorang “revolusioner”.
Giorgio Agamben sebagai “aktivis kemanusiaan”
Bahwa kebanyakan memahami Agamben sebagai filsuf politik yang banyak berbicara tentang demokrasi, politik, kemasyarakatan, kedaruratan (emergency of state). Pandangan seperti itu memang benar. Namun, penulis melihat Agamben dari sisi yang lebih humanis ketimbang politis—sisi yang lebih baru, yakni “aktivis kemanusiaan”.
Ada beberapa tesis (hipotesis) yang penulis kemukakan.
Pertama, jika kita melihat konteks pemikiran Agamben tentang demokrasi dan kedaruratan, maka itu tidak terlepas dari kejahatan kemanusiaan luar biasa di Jerman, terutama era Nazi. Agamben terkenal dengan ungkapan filosofis-politisnya, bahwa “demokrasi adalah kamp konsentrasi”.
Pertama-tama mesti dipahami dulu makna demokrasi dan kamp konsentrasi menurut Agamben; 1) Demokrasi. Demokrasi menurut Agamben adalah sebuah sistem keteraturan. Bahwa demokrasi diciptakan untuk mengatur sistem kehidupan bermasyarakat atau bernegara, berhukum dan lainnya; 2) Kamp konsentrasi. Di bawah Adolf Hitler, Jerman Nazi membangun kamp konsentrasi di seluruh daerah taklukannya. Kamp konsentrasi Nazi pertama dibangun besar-besaran di Jerman setelah kebakaran Reichstag (1933), dan ditujukan untuk menahan tahanan politik yang melawan rezim.
Istilah kamp konsentrasi merujuk pada kamp di mana banyak orang ditahan (dipenjarakan), biasanya dalam kondisi yang keji dan tanpa mengindahkan kaidah hukum penangkapan dan hukuman penjara yang dapat diterima dalam demokrasi konstitusional; 3) Demokrasi sebagai kamp konsentrasi. Hemat Agamben selama ini demokrasi terkesan menjadi kamp konsentrasi bagi manusia, terutama manusia yang menurut Agamben sebagai homo sacer. Kita semua hidup dalam kamp konsentrasi raksasa. Diatur dengan hukum yang mengikat dan mengekang, tetapi tidak melindungi.
Hak-hak kita diatur dengan rapi oleh seperangkat aturan atas nama HAM. Keberadaan, kebutuhan, keamanan, dan kesehatan kita diatur melalui perangkat hukum dan undang-undang. Kamp besar itu bernama negara yang mempunyai kewenangan atas hidup warganya dan mengatur semua hajatnya. Negara mengeluarkan hukum dan mempunyai kekuatan untuk memaksa siapa pun untuk menaatinya dan menghukum pelanggarnya;
Kedua, Agamben, hemat penulis banyak terinspirasi dari perjuangan Karl Marx, Emanuel Levinnas, Hannah Arendt, dan filsuf pejuang kemanusiaan lainnya yang mendasarkan pemikiran filosofisnya sebagai jalan perjuangan dan pembebasan orang-orang kecil, lemah, miskin, papa, tersingkir, termarjinalkan, teralienasi, terisolasi—singkatnya homo sacer sebagaimana istilah Agamben sendiri.
Agamben pertama-tama menuangkan ide politiknya terkait demokrasi dan kedaruratan ini sebagai kritikan tajam terhadap praktik eksploitasi, penindasan, dan penjajahan Jerman atas orang Yahudi dan kelompok masyarakat homo sacer lainnya. Dalam istilah hukum Romawi, homo sacer berarti seseorang yang sudah dilucuti haknya sebagai warga negara dan dapat dibunuh. Kelompok orang Yahudi dan minoritas lainnya yang bukan ras Arya Jerman itu harus dibunuh. Agamben melihat bahwa dewasa ini wajah politik, terutama demokrasi liberal itu persis era Nazi. Demokrasi menjadi kamp konsentrasi bagi sebagian besar masyarakat marjinal dan minoritas;
Ketiga, karena situasi demokrasi dewasa ini yang melulu “membinatangkan manusia”. Hal ini terlihat dari ketidakpopulisan HAM di tingkatan elite-elite dan pengambil kebijakan, penguasa, pemegang sentrum kekuasaan dan kekuatan politik. Agamben mengkritisi sistem algoritma dalam kehidupan masyarakat.
Bahwa eksistensi kemanusiaan kita hanya resmi terlegitimasi dalam suatu masyarakat jika kita memiliki KTP, NIK, STNK, BPJS, E-KTP, Jamkesmas, password, devisa, dan lainnya. Bahwa manusia dewasa ini adalah kumpulan angka. Manusia adalah kalkulasi kuantitas algoritma, sehingga memiliki nilai atau jumlah. Kualitas seseorang saat ini mesti dinilai dengan angka.
Bahwa esensi, eksistensi dan substansi manusia dipenjarakan dalam angka-angka yang menjadi busana identitas baru. Tidak beda jauh dengan hewan atau produk, kemasan dan komoditas yang dilabelkan dengan kode produksi kemasan dalam rupa angka. Hal-hal seperti ini yang rupanya menjadi landasan kritikan Agamben.
Kita harus sadar bahwa tidak semua orang itu secara resmi – valid administratif—sebagai warga negara dalam suatu bangsa. Banyak komponen masyarakat yang sangat teralienasi dari komunitas negaranya sendiri (homo sacer)—mereka berada di luar sistem.
Kelompok masyarakat inilah yang menjadi objek pemikiran Agamben. Melalui pemikiran filsafat politiknya, Agamben hendak menjadi artikulator dari kepentingan orang-orang kecil dewasa ini yang tereksekusi dalam inklusifitasnya atau terbunuh dalam kamp konsentrasi bernama demokrasi (negara).
Kira-kira demikian gambaran sepintas pemikiran Agamben tentang demokrasi dan kedaruratan menurut penulis. Berikut penulis memakai kacamata filsafat politik Agamben terkait demokrasi dan kedaruratan, untuk melihat lebih dekat wajah NKRI di Papua.
Kira-kira seperti apa wajah NKRI di Papua jika kita bertolak dari pemikiran Agamben? Penulis mencoba melihat “NKRI” sebagai “kamp konsentrasi” bagi Papua.
OAP sebagai homo sacer dalam bingkai “NKRI”
Pendeta Dr. Benny Giyai dari Dewan Gereja Papua pernah berujar, “Orang Papua mau jadi gubernur kah, bupati kah, DPR kah, titel muka depan belakang kah, PNS, TNI-Polri kah, Tapi harus sadar bahwa kita orang Papua ini, ibarat bergaya di dalam penjara”. Artinya bahwa hidup OAP dalam bingkai NKRI seperti di penjara: hak asasinya tidak dihormati oleh negara. Fondasi sikap NKRI atas Papua itu jelas dibangun atas dasar fasisme, rasisme, militerisme, kapitalisme, imperialisme dan kolonialisme.
Ungkapan Pendeta Giyai ini serupa dengan Arnold C. Ap dalam lagunya “Hidup Ini Suatu Misteri”. Bahwa OAP itu seperti hewan buruan (binatang buas) yang selalu diburu (dibunuh) oleh aparat keamanan dan pertahanan negara.
Sebelum jauh melihat “NKRI” sebagai “neo-kamp konsentrasi” di Papua, penulis mengetengahkan terdahulu sebuah ilham, bahwa OAP adalah homo sacer dalam bingkai NKRI. Kita tentu memahami bahwa homo sacer adalah makhluk yang hak asasinya sudah dilucuti daripada eksistensinya. Ia tidak lebih dari seekor binatang yang bisa dibunuh kapan saja atau bisa diapa-apakan oleh penguasa sebagai “Leviathan”.
Kita sendiri sudah tahu bagaimana fenomena penghargaan dan penghormatan HAM di Papua. Sejak integrasi 1960-an, eksistensi dari fitrah dan marwah hak asasi OAP sangat murah; tidak ada apa-apanya. Sejak saat itu OAP dipandang sebagai “anak tiri, bangsa kelas, minoritas, monyet, kete, gorila, separatis, pelaku makar, pemberontak, OPM/KKB/KKSB, teroris” dan stigma atau stereotip lainnya. Singkatnya OAP dipandang sebagai homo sacer oleh sistem NKRI.
Nasib OAP sama dengan nasib orang Yahudi, China, anak kecil, lansia, difabel, sakit, dan kaum minoritas rentan lainnya, yang dibantai oleh Adolf Hitler di kamp-kamp konsentrasi Nazi.
“NKRI” sebagai “neo-kamp konsentrasi” di Papua (Kematian demokrasi di Papua dalam pandangan Agamben)
Penulis sudah mengetengahkan bahwa Papua menjadi salah satu unsur penting ketika berbicara tentang potret demokrasi di NKRI. Sebab isu Papua – dosa pemerintah itu—telah menjadi fokus dunia internasional, sehingga mesti mendapatkan perhatian serius ketika hendak menjaga fitrah dan marwah eksistensi demokrasi dan NKRI. Bersambung. (*)
* Penulis adalah mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Teologi (STFT) Fajar Timur Abepura, Papua