Jayapura, Jubi – Koordinator Papuan Obervatory for Human Rights atau POHR, Thomas Syufi menyatakan putusan bebas yang dijatuhkan Pengadilan Hak Asasi Manusia atau Pengadilan HAM Makassar bagi terdakwa tunggal kasus Paniai Berdarah, Mayor Inf (Purn) Isak Sattu mencederai rasa keadilan bagi korban dan masyarakat Papua. Putusan itu membuat masyarakat Papua pesimis terhadap komitmen negara menyelesaikan kasus pelanggaran HAM di Papua.
Syufi menyatakan memang putusan pengadilan merupakan sah dan dapat diakui, juga tidak dapat diintervensi oleh siapapun. Namun putusan kasus pelanggaran HAM berat Paniai Berdarah yang disidangkan di Pengadilan HAM Makassar sangat tidak adil, karena menyatakan terdakwa Isak Sattu tidak terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana pelanggaran HAM berat.
“Lalu siapa yang salah? Kejaksaan Agung yang menangani kasus ini yang tidak kredibel atau hakim yang tidak kredibel,” kata Syufi saat dihubungi Jubi, pada Jumat (9/12/2022).
Pada Kamis (8/12/2022), Pengadilan HAM Makassar menjatuhkan vonis yang menyatakan Isak Sattu tidak terbukti secara sah dan menyakinkan melakukan pelanggaran HAM berat. Majelis hakim yang dipimpin Hakim Ketua Sutisna Sawati bersama Hakim Anggota Abdul Rahman, Siti Noor Laila, Robert Pasaribu, dan Sofi Rahman Dewi membebaskan terdakwa dari segala tuntutan, karena tidak terbuktinya unsur pertanggungjawaban komando. Dari kelima hakim perkara itu, dua hakim menyampaikan pendapat berbeda (dissenting opinion) atas putusan itu.
Syufi mengatakan sejak awal proses penyidikan hingga pelimpahan kasus Paniai Berdarah ke pengadilan tampak terburu-buru. Menurut Syufi ini bentuk proses hukum yang tidak adil, ketika para pelaku korban pelanggaran HAM memperoleh privilege atau hak istimewa dan kehormatan dari negara dengan cara impunitas. “Putusan ini makin menjauhkan cahaya keadilan bagi orang Papua dalam berbagai kasus pelanggaran HAM,” ujarnya.
Syufi menegaskan negara seharusnya menjamin penegakan hukum yang pasti dan tegas terhadap pelaku pelanggaran HAM Papua. “Itu pengalaman getir. Ketidakadilan sering dihadapi rakyat Papua. Hakim cenderung memberi putusan yang mencederai rasa keadilan rakyat Papua. Dari kasus Paniai Berdarah itu, orang Papua tentu pesimis untuk negara selesaikan semua kasus pelanggaran HAM berat yang lain,” katanya.
Syufi menyatakan Kejaksaan Agung harus mengajukan kasasi, agar publik bisa menilai sendiri secara terbuka atas kasus ini. Ia juga berharap pemerintah harus memastikan bahwa pada masa mendatang orang Papua mempunyai hak yang sama untuk menikmati keadilan yang manusiawi di negara ini.
“Sudah banyak kasus yang serupa, seperti pembunuhan pemimpin Papua Theys Hiyo Eluay, pelakunya divonis ringan, bahkan mendapat promosi jabatan di mana-mana. Tapi apapun, karena vonis bebas, jadi perlu Jaksa Agung melakuķan kasasi,” ujarnya. (*)