Jayapura, Jubi – Arema FC, Perkesa 78, dan Persipura termasuk ketiga klub yang pertama kali dibangun dan dibesarkan oleh mendiang mantan Gubernur Irian Jaya dan mantan Pangdam XVII/Cenderawasih, Brigjen TNI (Purn) Acub Zainal. Tak heran kalau dua klub, Perkesa dan Arema, waktu itu pasti diperkuat oleh anak anak pesepak bola Papua.
Cita-citanya sangat besar untuk memajukan sepak bola di Indonesia dengan membangun kompetisi sepak bola di Tanah Papua. Mulai dari kompetisi antar sekolah dasar hingga akhirnya antar sembilan kabupaten di Provinsi Irian Jaya dalam perebutan Piala Acub Zainal. Persimer Merauke menjadi juara setelah mengalahkan tim berjuluk Mutiara Hitam, Persipura Jayapura, dengan skor tipis 3-2, waktu itu.
Kini yang tertinggal hanya dua klub, Arema FC dan Persipura. Sayangnya, tim Mutiara Hitam sudah turun ke Liga 2 pada musim 2022/2023. Sedangkan klub Perkesa bubar bersamaan dengan dihapusnya kompetisi Galatama di era 1980-an.
Hampir sebagian besar anak-anak Papua memperkuat Perkesa 78 termasuk beberapa bermain di Arema, mulai dari era Stefanus Korwa, Erol Iba, Mecky Tata, dan Theodorus Bitbit.
Persipura selama beberapa dekade sejak Indonesia Super League (ISL) sampai akhirnya turun ke kasta dua, selalu tak lepas dari persaingan di tingkat klub elite termasuk bersaing dengan Arema FC.
Bertanding dengan Arema FC di Stadion Kanjuruhan, ibarat masuk ke dalam kandang singa. Hingga tak heran kalau teriakan penonton yang membakar semangat tim tuan rumah. Bahkan, maaf, nyaris menghina tim Persipura dengan kata-kata rasis dan diskriminatif.
Terkadang hal ini membuat mental anak-anak Papua emosi dan hendak melakukan permainan keras dan menjurus kasar. Beruntung selama kompetisi berjalan teriakan rasis selalu dianggap angin lalu, karena hal ini memicu semangat untuk membuktikan bahwa kemenangan harus diraih.
Teriakan rasis bagi klub Persipura pernah terjadi pula pada ISL musim 2009-2010 lalu. Akibatnya, emosi dan beberapa pemain langsung merusak Stadion Kanjuruhan, waktu itu. Ironisnya, karena merusak stadion, justru tim berjuluk Mutiara Hitam kena denda dan harus membayar kerugian sebesar Rp5 juta.
”Kami paham mereka melakukannya karena kesal dengan perlakuan rasis,” kata mantan Ketua Komdis PSSI waktu itu, Hinca Panjaitan.
Hal ini pula membuat salah seorang Aremania melayangkan surat pembaca ke Tabloid Bola edisi 14 Desember 2009, untuk meminta maaf.
Maaf untuk Persipura
Salam olahraga. Setelah membaca banyak liputan di media cetak tentang pertandingan antara Arema melawan Persipura, saya sebagai pendukung Arema menyesalkan mengapa pertandingan itu diwarnai dengan teriakan rasial yang dilontarkan penonton di Stadion Kanjuruhan Malang.
Meski tidak jelas apakah yang melakukan teriakan itu Aremania murni atau sekadar oknum, sebagai warga Arema saya sungguh prihatin. Apalagi selama ini sebagai Aremania kita memiliki prinsip bahwa suara hati, perjuangan, dan panggilan jiwa kami hanya untuk Arema
Saya ingin prinsip itu jangan sampai dirusak secuil oknum yang ingin Aremania menjadi musuh publik Indonesia. Kita harus tunjukan bahwa Aremania cinta damai serta harus memberi contoh. Walau kita berbeda warna, tetap bersaudara.
Kepada seluruh anggota tim Persipura hingga seluruh pendukungnya, terutama warga Jayapura, secara pribadi dan atas nama Aremania di seluruh Indonesia, kami meminta maaf yang sebesar-besarnya jika beberapa oknum Aremania/Aremanita telah melukai perasaan kalian. Salam 1 jiwa Aremania.
Okim
ITC Depok Lt VI, Blok B55-56
Depok Jawa Barat.
Surat pembaca ini jelas menggambarkan bahwa ada teriakan rasis dalam sepak bola di Indonesia.
Persipura dan juga pesepak bola asal Afrika termasuk dari Brasil tak pernah lepas dari teriakan maupun taktik menjatuhkan mental lawan. Jacksen F Tiago pernah bilang faktor non teknis dalam sepak bola di Indonesia itu adalah bumbunya dalam kompetisi di liga Indonesia.
Oleh karena itu ‘tragedi Kanjuruhan’ bisa menjadi bahan evaluasi bagi PSSI dan pemerintah dalam melakukan kompetisi di Liga Indonesia. Pasalnya kekerasan non fisik terkadang tidak mendapat perhatian. Padahal ini menyangkut penghargaan terhadap nilai-nilai kemanusian termasuk bagaimana melindungi pemain maupun suporter dan pecinta sepak bola.
Memang FIFA tidak akan memberikan sanksi sesuai dengan keyakinan Menpora. Tetapi sekali lagi, kekerasan non fisik juga harus mendapat porsi besar dalam evaluasi suporter sepak bola di Indonesia. (*)