Wamena, Jubi – Pemungutan suara 14 Februari 2024 di Kabupaten Jayawijaya banyak menimbulkan perbincangan, mulai dari keterlambatan penyebaran logistik ke setiap TPS, warga pemilih yang kesulitan mencari TPS hingga ada TPS yang tidak melaksanakan pemungutan suara.
Untuk itu pada Kamis pagi (15/2/2024), tim dari Forum Peduli Demokrasi Jayawijaya mendatangi kantor Bawaslu setempat, mempertanyakan sikap Bawaslu menyikapi banyaknya keluhan tersebut.
Yance Tenoye dari tim Peduli Demokrasi Jayawijaya mengatakan, saat hari pencoblosan diduga ada sekitar 70 persen dari 100 TPS di kelurahan Wamena tidak dilaksanakan pemungutan suara .
“Kami datang ke Bawaslu tidak menyampaikan pengaduan, kami hanya datang mempertanyakan kinerja atau sikap Bawaslu Jayawijaya terkait dengan pemilihan di Distrik Wamena Kota dari 100 TPS yang banyak tidak melaksanakan pemungutan suara, Kamis (15/2/2024).
Ia mencontohkan salah satu hal yang menjadi kejanggalan, yaitu distribusi logistik yang seharusnya dilakukan H-1 atau 13 Februari tetapi malah dilakukan di pagi hari sebelum pencoblosan.
“Seperti di Kelurahan Sinapuk distribusi logistik baru jam 1 siang setelah tutup pencobolosan sesuai aturan. Lalu saya sendiri yang turun di lapangan di Sinapuk, dari 20 TPS 9 RT yang saya hitung masing-masing TPS hanya 5 TPS, 15 TPS lainya saya tidak tahu melaksanakan pencoblosan atau tidak,” katanya.
Dengan begitu ia menduga kuat bahwa ini terjadi suatu proses pemilu yang sistematis, masif dan terstruktur.
“Kami dari kelompok peduli demokrasi ini ingin supaya masyarakat bisa menyampaikan haknya di TPS, harus dilakukan PSU di distrik Wamena Kota itu yang kami sampaikan ke Bawaslu Kabupaten Jayawijaya. Karena ini sudah menjadi pengamatan public, bukan hanya kami dimana banyak TPS tidak melaksanakan pemilihan di Distrik Wamena dari 3 kelurahan,” katanya.
Hal itu pun menurutnya apa yang disampaikan ke Bawaslu bukan sesuatu yang harus diadukan, tetapi sudah menjadi temuan Bawaslu sendiri sehingga diharapkan bisa merespon dan disikapi.
“Dalam menemukan sengketa atau pelanggaran pemilu itu ada dua, pertama temuan Bawaslu sendiri, kedua adalah pengaduan. Kami datang tidak mengadu, tetapi mempertanyakan yang publik sudah tahu. Oleh karena itu kami datang mendukung Bawaslu, agar harus PSU bagi TPS-TPS yang tidak melaksanakan pencoblosan,” katanya.
Direktur Yayasan Keadilan dan Keutuhan Manusia Papua, Theo Hesegem yang turut hadir di Bawaslu menyebut harapan dalam demokrasi itu harus jujur dan adil, tetapi dari pengamatannya di beberapa distrik seperti di Wouma, pemilihannya di beberapa TPS semua datang ke lapangan sepak bola atau difokuskan di satu tempat.
Apakah hal tersebut telah ada kesepakatan antara KPU dengan PPD, sehingga tempat pemilihannya dipindahkan ataukah kesepakatan siapa sehingga menjadi suatu pertanyaan.
“Menurut aturan itu tidak boleh pindah TPS dan ini sudah dipindahkan dan perlu dipertanyakan,” kata Hesegem.
Begitu juga yang ia dapati di Distrik Hubikiak, kotak suara hilang hingga pada hari pencoblosan pemilih yang ada di Kampung Musaima II datang ribut di KPU dan menjadi masalah.
“Saya sampai di lokasi ternyata sunyi, sedangkan warga sudah datang dari pagi untuk memilih tetapi karena kotak suara hilang semua memilih pulang,” katanya.
Kemudian di kampung Hom-Hom, Distrik Hubikiak kotak suaranya tiba pukul 14.50 WP di TPS, sedangkan warga pemilih sudah siap di lokasi TPS. Seharusnya sehari sebelum pencoblosan, seluruh logistik sudah harus dibagikan ke setiap TPS, sehingga di hari H tidak sibuk membagikan logistik.
“Jika dibagikan di hari pencoblosan kita punya dugaan kuat nanti semua akan dimanipulasi, apalagi pembagiannya sudah siang. Ini menjadikan hak warga pemilih dicabut oleh orang-orang tertentu, sehingga tidak bisa berdemokrasi dengan bagus. Proses tahapan penyaluran logistik saja sudah salah, apalagi kita ingin melakukan tahapan pencoblosan pasti akan salah juga,” ujar Theo Hesegem. (*)