Jayapura, Jubi – Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, dan Keluarga Berencana Kota Jayapura, Betty Puy mengatakan banyak proses hukum kasus Kekerasan dalam Rumah Tangga atau KDRT dihentikan karena pengaduannya dicabut korban. Korban KDRT kerap mencabut pengaduan mereka karena mempertimbangkan faktor ekonomi keluarga dan kepentingan anak.
Hal itu dinyatakan Betty Puy di Kota Jayapura, Provinsi Papua, Sabtu (20/1/2024). “Banyak [pengaduan] kasus [KDRT] ditarik keluarga atau pelapor, sehingga tidak dilanjutkan lagi proses hukumnya,” ujar Puy.
Ia menjelaskan delik pidana mengenal terbagi dua kategori, delik biasa dan delik aduan. KDRT dirumuskan sebagai delik aduan, yang hanya dapat diproses secara hukum jika ada pengaduan dari korban, dan laporan itu tidak dicabut.
“Delik biasa yaitu suatu perkara dapat diproses tanpa adanya laporan dari korban. Sedangkan delik aduan adalah delik yang hanya dapat diproses apabila terdapat aduan atau persetujuan dari korban,” ujar Puy.
Banyak pengaduan kasus KDRT akhirnya dicabut oleh keluarga atau korban, karena penghidupan keluarga bergantung kepada pelaku. Keluarga atau korban juga biasa mencabut aduan KDRT karena mempertimbangkan kepentingan anak mereka. Menurut Puy, dalam sejumlah kasus bahkan korban KDRT memilih tidak mengadukan kekerasan yang dialaminya.
“Tahun lalu di bulan yang sama angka kekerasan perempuan dan anak ada 50 kasus. Tahun ini baru 23 kasus yang kami terima. Kebanyakan korban mencabut laporannya karena terjadi perdamaian,” ujarnya.
Menurutnya, jika pengaduan KDRT dicabut karena terjadi perdamaian, pencabutan pengaduan itu diikuti dengan pembuatan surat perjanjian. Akan tetapi, banyak korban yang mencabut pengaduan KDRT sebenarnya masih mengalami trauma dan khawatir kekerasan yang dialaminya akan berulang.
Puy menyatakan pihaknya terus berupaya mengurangi kejadian KDRT, termasuk dengan membuat sosialisasi. “Kami sudah lakukan sosialisasi ke berbagi lini, sehingga menekan angka KDRT. Kami juga membina perempuan agar bisa mandiri tanpa harus bergantung kepada suami,” ujarnya.
Menurut Puy, tingginya angka kasus KDRT yang dilakukan suami terhadap istrinya kerap kali terjadi karena laki-laki beranggapan mereka punya wewenang penuh atas istrinya. “Hal itulah yang menyebabkan suami semena-mena kepada istrinya. Untuk itu, kami terus melakukan penguatan kepada perempuan, baik dalam bentuk mental dan juga penguatan dari sisi ekonomi,” ujarnya.
“Agar mencegah kekerasan secara fisik, seksual, psikologis harus saling memaafkan dan menimbulkan rasa cinta kasih dalam rumah tangga sehingga menjadi keluarga harmonis,” ujarnya. (*)
Discussion about this post