Jayapura, Jubi- Tepat 5 April 1967 perwakilan PT. Freeport dan Pemerintah Indonesia melalui Menteri Pertambangan Slamet Bratanata menandatangani Kontrak Karya Pertama di bawah Undang-Undang (UU) Penanaman Modal Asing (PMA) di wilayah Provinsi Irian Barat.
Kini kontrak karya tambang itu sudah berjalan selama 57 tahun. PT Freeport di Bumi Amungsa sudah ‘melobangi dan menggali tanah’ di bawah gunung Grasberg, Ertsberg dan sekitarnya untuk membawa konsentrat dan diekspor keluar. Sementara sisa pasir tambang dibuang ke kali dan sedimentasi masih terus berlangsung. Hal ini termasuk pula dalam Amdal kedua PT Freeport tambang bawah tanah, 2024.
Dalam pertemuan dengan Asosiasi Wartawan Papua di Kota Jayapura, belum lama ini di Jayapura Claus Wamafma Vice President of Community Development PT Freeport Indonesia mengatakan areal sisa pasir tambang telah ditanami sagu berkualitas baik dari Sentani dan sudah panen hasilnya bagus serta bisa dikonsumsi. Termasuk pula penanaman pohon bakau di wilayah dataran rendah wilayah orang Kamoro di atas areal sisa pasir tambang alias tailing.
PT Freeport sudah membangun pabrik smelter di Gresik, Provinsi Jawa Timur dan akan beroperasi pada Mei atau Juni 2024. Padahal jika menyimak kisah Freeport yang pernah ditulis Lisa Pease dalam artikelnya berjudul , “JFK, Indonesia, CIA and Freeport di majalah Probe(1996). Bagaimana Lisa Pease mengulas kekuatan raksasa bisnis asing bisa mempengaruhi kebijakan politik dan hukum di Indonesia.
Presiden Joko Widodo secara tegas menyatakan,“Freeport bukan milik Amerika lagi, sudah milik Indonesia, milik negara kita. “Jangan ada bayangan itu Amerika, sudah Indonesia,” ujar Jokowi dikutip dari Kompas, 29 Maret 2024. Jokowi menjelaskan Indonesia negosiasi sekarang sudah mayoritas 51 persen. Jokowi bahkan menegaskan bahwa saham Indonesia akan bertambah menjadi 61 persen di Freeport Indonesia.
Lisa Pease menulis pula riwayat Freeport Sulphur yang sempat hancur lebur gara gara terjadi peralihan pemerintahan di Cuba, pada 1959. Saat itu Fidel Castro merontokan kekuasaan rezim Batista yang berkuasa serta menasionalisasikan seluruh perusahaan asing di Cuba, termasuk pula Freeport Sulphur yang hendak mengapalkan produksi perdana bijih nikel. Hal ini pula yang membuat Freeport mulai melirik tanah Papua di Bumi Amungsa. Guru Moses Kilangin sebagai penunjuk jalan ekspedisi Freeport 1960, bersama Forbes Wilson dan kawan-kawan sukses membawa sampel batu batuan ke Belanda dan Amerika Serikat guna mengkaji kelayakan tambang di Ertsberg dan kontrakpun diteken pada 1967.
Setelah Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) 1969 selanjutnya pada Maret 1973, PT Freeport mulai melakukan ekspedisi pertama tambang tembaga. Walau sebenarnya George Mealey menulis dalam bukunya Ertsberg memberikan produksi pertamanya dalam tahun 1972 dengan kadar tembaga tertinggi.
Eksport perdana ini bersamaan pula dengan semakin berkobarnya perang saudara di Vietnam antara Vietnam Selatan melawan Vietnam Utara (Vietkom). Dalam perang saudara ini negara Vietnam Selatan dukungan Amerika Serikat kalah perang.
Januari Agreement 1974
Pada Maret 1973, PT Freeport melakukan eksport perdana konsentrat melalui pelabuhan Amamapare. Bersamaan dengan itu pula terjadi demonstrasi oleh masyarakat suku Amungme awal 1974.
“Tiga pihak duduk bersama untuk menyelesaikan masalah tersebut yaitu Pihak Pemerintah, Freeport McMoran dan suku Amungme. Ada beberapa poin penting yang juga merugikan Amungme hingga hari seperti klausal tentang pelepasan tanah dari Tsingogoma hingga Tembagapura dan sekitarnya. Kedua klausal tentang Amungme tidak boleh memasuki area kerja FM. Perjanjian tersebut dikenal sebagai January Agreement 1974,”kata John Magal dalam pesan singkatnya kepada jubi.id
Ternyata tidak semua janji dalam Januari Agreement 1974 terpenuhi, terjadi demo besar-besaran pada 1996 hingga Jim Bob Moffett pemilik PTFI memberikan dana 1% kepada masyarakat. “Dana 1% adalah Fund For Irian Jaya Development (FFIJD), dana pembangunan Irian Jaya. Dana tersebut diambil 1% dari pendapatan kotor PTFI. Artinya hasil penjualan Concentrate Tembaga, Emas dan Perak, sebelum bayar pajak, gaji, dan biaya operasional Perusahaan, satu persennya dipisahkan untuk dana sosial,”tulis Magal.
Terlepas dari pro dan kontra soal kontrak karya dan tambang Freeport ke depan hingga 2061, bagaimana masa depan masyarakat di Bumi Amungsa pasca tambang. Bruce Marsh PE mantan Vice Presiden Environmental Affairs PT Freeport mengatakan rencana PT Freeport operasi pasca tambang telah menyiapkan sebuah rencana penutupan tambang (Mine Closure Plan) yang akan melihat dan membahas dampak-dampak lingkungan dan dampak-dampak sosial untuk memastikan bahwa setelah operasi tambang selesai tidak akan ada permasalahan lingkungan dan sosial yang ditinggalkan Freeport, termasuk permasalahan Kota Hantu (Ghost Town). Benarkah janji itu? Lihat saja nanti realisasi rencana dan kolaborasi dengan pemerintah setempat akan menjadi kunci utama kehidupan pasca tambang di Bumi Amungsa.(*)
Discussion about this post