Jayapura, Jubi – Masyarakat adat dari Suku Hendambo meminta Pemerintah Provinsi Papua membayar ganti rugi atas pemakaian tanah ulayat mereka oleh Balai Proteksi Tanaman Perkebunan atau BPTP Dinas Perkebunan Provinsi Papua. Tanah seluas 2,1 hektare di Waena, Kota Jayapura, Papua, itu telah dipakai Pemerintah Provinsi Papua sejak 1971 hingga kini, namun tidak ada pembayaran ganti rugi kepada masyarakat adat Suku Hendambo.
Juru Bicara Suku Hendambo, Gad Franklin Modouw mengatakan awalnya Suku Hendambo memberikan tanah itu kontrak pakai untuk pembibitan selama 25 tahun yang dimulai pada 1971. Namun, Modouw mengatakan Pemerintah Provinsi Papua malah membangung kantor dan perumahan untuk pegawai Dinas Perkebunan.
Ia menyatakan kantor dan perumahan pegawai itu dibangun tanpa ada upaya membicarakan dan melibatkan Suku Hendambo. “Dari 1971, dalam catatan kami tete itu hanya berikan kontrak untuk pembibitan. [Setelah dipakai] selama 25 tahun, [seharusnya] mereka harus undur dari lahan itu. Tapi Pemerintah Provinsi Papua justru membangun kantor dan perumahan Dinas Perkebunan,” kata Modouw di Kota Jayapura, Papua, pada Jumat (22/11/2023).
Modouw mengatakan Pemerintah Provinsi Papua mengabaikan hak-hak masyarakat adat Suku Hendambo. Menurut Modouw, selama 52 tahun tidak ada ganti rugi yang diberikan Pemerintah Provinsi Papua kepada Suku Hendambo.
“Kami merasa hak kami selalu diabaikan Pemerintah Provinsi Papua, dalam hal ini Dinas Perkebunan Provinsi Papua,” ujarnya.
Modouw mengatakan pihaknya telah berusaha membicarakan masalah itu dengan Pemerintah Provinsi Papua sejak 2017. Namun, hingga saat ini upaya itu tidak ditanggapi Pemerintah Provinsi Papua, sehingga pihaknya melakukan pemalangan.
“Kami sudah berusaha berhubungan dengan pemerintah sejak 2017, tidak pernah ditanggapi sampai hari ini. Oleh karena itu kami lakukan aksi [pemalangan sejak 21 Desember 2023]. Itu adalah bagian kekecewan kami terhadap pemerintah,” katanya.
Modouw mengatakan akan terus melakukan pemalangan hingga hak-hak masyarakat adat Suku Hendambo dibayarkan Pemerintah Provinsi Papua. “Kami berikan waktu kepada pemerintah hingga 15 Januari 2024. Kami mencoba mencari solusi terbaik tanpa menggunakan kekerasan. Oleh karena itu kami memakai kuasa hukum untuk mendapatkan hak kami,” ujarnya.
Advokat Firma Hukum Aloysius Renwarin dan Patners, Dede G Pagundun SH selaku kuasa hukum Suku Hendambo menilai Pemerintah Provinsi Papua cenderung mengabaikan hak-hak dari Suku Hendambo. Pagundun mengatakan sesuai dengan dokumen awal, masyarakat adat memberikan izin hak pakai tanah ulayat kepada Dinas Perkebunan Provinsi Papua untuk menggunakan tanah itu sejak 1971 – 1996.
“Keluarga Hendambo ini menyerahkan tanah ke Pemerintah Provinsi Papua untuk memakai lahan sebagai pembibitan. Dan ada kesepakatan pembayaran awal itu sekitar Rp30 ribu pada 1971. Kalau diperkirakan sekarang nilainya berapa kita tidak tahu berapa. Setelah itu, sampai 2023, belum ada pembayaran hak kepada keluarga Hendambo,” kata Pagundun pada Jumat.
Pagundun mengatakan setelah 25 tahun pemakaian, seharusnya Pemerintah Provinsi Papua membicarakan kembali penggunaan tanah itu dengan Suku Hendambo. Menurutnya, Pemerintah Provinsi Papua tidak membicarakan perpanjangan masa pemakaian lahan itu, dan tetap memakai lahan Suku Hendambo.
“Dalam aturan Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960, diatur sertifikat hak pakai diberikan oleh pemilik itu tidak boleh diperpanjang, tapi diperbarui. [Harus] ada kesepakatan dari keluarga Hendambo dan pemerintah daerah untuk memperbarui akta yang baru/pemakaian. [Dalam kasus itu] tidak ada [upaya] duduk bersama. Justru keluarga Hendambo sendiri yang berkomunikasi dengan pemerintah daerah, tapi tidak ada tanggapan,” ujarnya.
Pagundun mengatakan pihaknya sudah menyurati Badan Pertanahan Nasional Kota Jayapura untuk memblokir sertifikat hak pakai dengan dasar Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 tahun 1960. Pagundun mengatakan pihaknya juga sudah melayangkan surat somasi kepada Penjabat Gubernur Provinsi Papua.
“Itu langkah-langkah hukum yang kami ambil. [Dan] kami akan akan membawa proses ini ke pengadilan tata usaha negara dan pengadilan negeri, karena kami melihat ada [aturan] yang dilanggar pemerintah daerah terkait administrasi, dan [itu] perbuatan melawan hukum,” katanya. (*)