Nabire, Jubi – Direktur Eksekutif Lembaga Penelitian, Pengkajian dan Pengembangan Bantuan Hukum atau LP3BH Manokwari Yan CH Warinussy menyesalkan kasus pelecehan dan penganiayaan terhadap sejumlah mahasiswa asal Tanah Papua yang berunjuk rasa memperingati peristiwa 1 Desember 1961 di Kupang, Provinsi Nusa Tenggara Timur, pada Jumat (1/12/2023) lalu.
“Tindakan [penganiayaan] tersebut melanggar norma hukum mengenai kebebasan berpendapat dan menyampaikan pendapat di muka umum yang telah dijamin di dalam Pasal 28 Undang Undang Dasar 1945. Saya menyarankan mahasiswa asal Tanah Papua [membuat] Laporan Polisi,” kata Warinussy dalam keterangan pers tertulisnya, Senin (4/12/2023).
Warinussy mengatakan tidak semua orang atau rakyat di Nusa Tenggara Timur (NTT) sependapat dengan tindakan aktivis ormas yang melakukan penganiayaan terhadap para mahasiswa asal Tanah Papua itu. “Saya juga percaya bahwa pemerintah daerah di NTT serta Kapolda NTT pasti akan melakukan penyelesaian yang berkeadilan dalam kasus itu. Pelakunya memang mesti ditindak secara hukum, karena sudah dua kali perbuatan semacam itu dialami para mahasiswa asal Tanah Papua yang melakukan unjuk rasa 1 Desember,” katanya.
Warinussy mengatakan di balik peristiwa 1 Desember 1961 tak ada Proklamasi Kemerdekaan Papua, sehingga apa yang dilakukan para mahasiswa asal Tanah Papua di berbagai pelosok Indonesia, termasuk di NTT dan di Tanah Papua, semata-mata merupakan bagian dari penyampaian pendapat dan ekspresi politik warga. “Sangat tidak logis jikalau hak itu terus diperhadapkan dengan aksi tandingan untuk membenturkan sesama anak bangsa,” katanya.
Warinussy mengatakan konsideran menimbang huruf f Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua (UU Otsus Papua Lama) telah mengakui pelaksanaan pembangunan di Tanah Papua tidak memenuhi rasa keadilan, belum sepenuhnya memungkinkan tercapainya kesejahteraan rakyat. Model pembangunan di Tanah Papua juga belum sepenuhnya mendukung terwujudnya penegakan hukum dan penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM).
Hal itulah yang terus menerus memunculkan tuntutan Papua Merdeka, yang seharusnya dicarikan solusi bersama oleh Negara dan sesama anak bangsa. “Ruang demokrasi sesungguhnya tersedia dalam konteks hukum nasional Indonesia, termasuk di dalam amanat Pasal 46 UU Otsus Papua Lama. Saya meminta perhatian semua pihak di Tanah Papua, termasuk di Provinsi Papua Barat, untuk tetap menjaga persatuan dan kesatuan sesama anak bangsa atas dasar kasih dan perdamaian,” ujarnya.
Warinussy mengatakan kejadian penganiayaan di NTT tersebut seharusnya tidak disikapi dengan narasi kebencian di antara sesama warga. “Saya yakin Kepala Suku Flobamora NTT dan seluruh kekerabatan asli NTT di sini juga tidak sependapat dengan perbuatan tidak terpuji dan melanggar hukum itu,” katanya.
Warinussy mengatakan dialog antar anak bangsa menjadi cara yang cukup baik dan dapat didorong sebagai media dalam mencari penyelesaian damai atas insiden penganiayaan di Kupang itu. “Pemerintah daerah di Tanah Papua dan Provinsi Papua Barat juga hendaknya memberi ruang untuk memberi perhatian pembangunan kepada anak-anak asli Papua di seluruh wilayah NKRI agar mereka senantiasa merasa diayomi dan didukung dalam proses belajar yang tengah mereka jalani. Saya dan LP3BH Manokwari akan turut memberi perhatian dan terus mengawal langkah penyelesaian yang berkeadilan atas peristiwa 1 Desember 2023 di Kupang itu,” katanya. (*)