Jayapura, Jubi – Kepala Kantor Perwakilan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia atau Komnas HAM Papua, Frits Ramandey mengaku pihaknya kekurangan dana operasional guna melakukan penyelidikan atas berbagai kasus dugaan pelanggaran HAM di Tanah Papua. Hal itu disampaikan Ramandey di Kota Jayapura, pada Selasa (19/9/2023).
“Dukungan pembiayaan [operasional kurang],” ujar Ramandey.
Ramandey mengatakan dana operasional sangat penting guna menangani berbagai kasus dugaan pelanggaran HAM yang terjadi di Papua. Ramandey mengatakan Komnas HAM Papua membutuhkan Rp15 juta sampai Rp100 juta untuk melakukan penyelidikan satu kasus dugaan pelanggaran HAM.
“[Biaya penyelidikan kasus] satu dari dengan daerah lain berbeda. Misalnya di Keerom, penanganan kasus membutuhkan biaya Rp15 juta untuk [penyelidikan] berdurasi empat hari. [Kebutuhan dana operasional bisa melonjak] sampai Rp100 juta untuk [penyelidikan kasus dugaan pelanggaran HAM] daerah pedalaman yang bisa [memakan waktu] seminggu. [Biaya penylidikan itu] tergantung durasi dan lokasi,” katanya.
Ramandey mengatakan selama ini mendapatkan dana operasional dari Komnas HAM di Jakarta sebesar Rp100 juta per tahun. Ramandey mengatakan pihaknya pernah secara rutin mendapat Dana Hibah Pemerintah Provinsi Papua senilai Rp500 juta per tahun. Akan tetapi, Dana Hibah itu terakhir kali diterimakan kepada Perwakilan Komnas HAM Papua pada 2020.
“Tidak ada biaya teralokasi khusus untuk menangani kasus di Papua. Bayangkan [wilayah] sebesar Papua cuma dikasih Rp100 juta saja [dari pusat]. [Jika Dana Hibah dari] Pemerintah Provinsi Papua dipakai, kami bisa melakukan perjalanan tujuh sampai delapan kali untuk penanganan kasus,” ujarnya.
Ramandey mengatakan pada 2023 pihaknya membutuhkan anggaran sekitar Rp700 juta untuk menyelidiki berbagai kasus dugaan pelanggaran HAM di Tanah Papua. Menurut Ramandey, hingga Agustus 2023 saja Komnas HAM Papua telah menerima 54 pengaduan dugaan pelanggaran HAM di Tanah Papua.
“Kami sedang mengajukan [bantuan anggaran ke Pemerintah Provinsi Papua] yang diberikan bersifat hibah, jadi diberikan tidak sesuai [besaran anggaran] program yang kami ajukan,” ujarnya.
Ramandey mengatakan Komnas HAM Papua memang lembaga vertikal, tetapi keberadaan Komnas HAM Papua diatur dalam Pasal 45 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua (UU Otsus Papua Baru). Menurut Ramandey, selayaknya Perwakilan Komnas HAM Papua mendapatkan dukungan anggaran dari pemerintah daerah di Tanah Papua.
“Kami bersyukur dan berterima kasih kepada Pemerintah Provinsi Papua [untuk kantor], walaupun gedung yang di kasih kecil. Di zaman Lukas Enembe, [Perwakilan Komnas HAM Papua] dikasih Rp500 juta per tahun. Ada dana rutin itu sangat membantu,” katanya.
Ramandey berharap pemerintah daerah lainnya di Tanah Papua dapat memberikan dukungan anggaran guna menunjang kerja Perwakilan Komnas HAM Papua. Ramandey juga menyayangkan DPR Papua yang tidak memanggil mereka untuk menanyakan penangan kasus di Tanah Papua. “DPR Papua tidak memanggil kami saat sidang untuk menanyakan penangan kasus di Papua,” ujarnya. (*)