Jayapura, Jubi – Aliansi Mahasiswa Pemuda Peduli Hutan dan Hak Masyarakat Adat atau Amperamada Papua meletakan karangan bunga di halaman Pengadilan Tata Usaha Negara atau PTUN Jayapura, Kota Jayapura, Papua, pada Kamis (9/11/2023). Peletakan karangan bunga itu menjadi simbol kekecewaan mereka terhadap PTUN Jayapura yang menolak gugatan masyarakat adat Suku Awyu atas izin kelayakan lingkungan perkebunan kelapa sawit PT Indo Asiana Lestari atau PT IAL.
Amperamada Papua digerakkan para aktivis Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI), Himpunan Mahasiswa Indonesia (HMI) Cabang Jayapura, Ikatan Mahasiswa Pemuda Papua Selatan (IMPPAS), Sahabat Kowaki, Volunteer Greenpeace, Komunitas Mahasiswa Peduli Alam Papua dan Unit Kegiatan Mahasiswa Dehaling Universitas Cenderawasih. Dalam aksi damainya, mereka meletakan sepuluh karangan bunga dan berorasi di PTUN Jayapura.
Karangan bunga itu berisi berbagai tulisan kekecewaan terhadap putusan PTUN Jayapura yang menolak gugatan Suku Awyu. Ada tulisan “Rest In Peace Keadilan Hukum Bagi Masyarakat Adat Awyu”, “RIP Hutan Papua” hingga tulisan “Turut Berduka Cita atas nasib RUU Masyarakat Adat”.
Dalam aksinya pada Kamis, Amperamada Papua juga membentangkan spanduk dan pamflet yang bertuliskan “Save Indigenous Papuans Forests”, “Stop Gade Sa Pu Masa Depan Demi Investasi Kembalikan Sa Pu Tanah Marga Awyu”, “Dimata Hukum Kita Sama, Dimata Penegak Hukum Kita Beda”.
Juru Bicara Amperamada Papua, Tasya Manong menyatakan aksi itu merupakan solidaritas para mahasiswa terhadap Suku Awyu. “Kami sangat kecewa dengan putusan PTUN Jayapura,” kata Tasya.
Pada 2 November 2023, PTUN Jayapura memutuskan menolak gugatan masyarakat adat Suku Awyu atas izin kelayakan lingkungan PT Indo Asiana Lestari yang diterbitkan Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terbuka Satu Pintu atau DPMPTSP Papua.
Perkara itu terkait izin kelayakan lingkungan yang diterbitkan DPMPTSP Papua untuk perkebunan kelapa sawit PT Indo Asiana Lestari atau PT IAL. Izin yang digugat masyarakat adat Suku Awyu itu mencakup rencana pembangunan perkebunan kelapa sawit seluas 36.096,4 hektare di Distrik Mandobo dan Distrik Fofi, Kabupaten Boven Digoel, Provinsi Papua Selatan.
Majelis hakim yang yang dipimpin Merna Cinthia SH MH bersama hakim anggota Yusup Klemen SH dan Donny Poja SH menyatakan gugatan masyarakat adat Suku Awyu tidak beralasan hukum dan ditolak. “Menolak gugatan penggugat, penggugat intervensi 1 dan penggugat intervensi 2,” demikian bunyi putusan PTUN Jayapura itu.
Tasya Manong menilai Majelis Hakim tidak memegang teguh prinsip in dubio pro-natura dalam membuat putusan, dan tidak mempertimbangkan keberlanjutan hutan Papua sumber kehidupan masyarakat adat Papua. Manong mengatakan dengan ditolaknya gugatan ini, Suku Awyu kehilangan hak atas tanah dan hutan adat dalam wilayah adat, dan tentunya akan menyengsarakan kehidupan masyarakat adat.
“Walau terdapat satu dari tiga orang majelis hakim memiliki sertifikasi hakim lingkungan ternyata kami melihat dengan seksama bahwa pertimbangan putusan tidak sesuai prinsip hukum lingkungan,” katanya.
Secara bergiliran mahasiswa melakukan orasi menanggapi putusan PTUN Jayapura yang menolak gugatan masyarakat adat Awyu. “Kecewa dengan hasil keputusan Hakim. Keputusan yang diambil hakim merugikan kami masyarakat adat. Persoalan hutan bukanlah persolan sepele,” kata Oktovianus Swo dalam orasinya.
Orator lainnya, Yuvensius Muni Tokyo mengkhawatirkan kehidupan masyarakat adat Awyu setelah gugat mereka di tolak PTUN Jayapura. Tokyo mengatakan masyarakat sangat bergantung hidup dari hutan dan tanah adatnya.
“Bagaimana kehidupan masyarakat adat ke depan? Kalau semua hutan sudah di ambil alih oligarki. Masyarakat dia punya hak hidup di alam. Alam sebagai sumber kehidupan masyarakat adat, dan itu sangat penting,” ujarnya.
Ketua PTUN Jayapura, Jusak Sindar SH mengatakan tidak mempunyai kewenangan dalam putusan gugatan masyarakat adat Awyu. Suku Jusak mempersilahkan masyarakat adat Suku Awyu melakukan upaya banding di Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Manado. (*)