Jayapura, Jubi – Sebanyak 14 calon reporter Jubi diajak Redaksi JubiTV menonton perdana film dokumenter berjudul ‘Nama Saya Pengungsi’ di Lantai 2 Kantor Redaksi Jubi di Waena, Kota Jayapura, Papua pada Sabtu, 12/08/2023 pukul 8.30 WIT.
Hadir pada acara nonton bareng tersebut Pemimpin Redaksi Jubi Jean Bisay, Sekretaris Redaksi Jubi Gustaf Mansawan, redaktur yang juga pelatih calon reporter Jubi Syofiardi Bachyul Jb, dan tim produksi film ‘Nama Saya Pengungsi’ dari Jubi TV, yaitu Angela Flassy, Yuliana Lantipo, dan Jeverson Ferre.
Film dokumenter produksi pertama Jubi TV berdurasi 39 menit 47 detik itu mengisahkan tentang warga Nduga yang mengungsi ke Wamena, Kabupaten Jayawijaya, Provinsi Papua Pegunungan dan warga Maybrat yang mengungsi ke Sorong, Provinsi Papua Barat Daya.
Pemeran utama adalah Jubiana dan anak laki-lakinya berumur 3 tahun yang ia beri nama ‘Pengungsi Kogoya’. Mereka warga Nduga yang mengungsi di Wamena. Kemudian Ema dan anak perempuannya berumur 2 tahun yang ia beri nama ‘Pengungsi Wakom’. Mereka warga Aifat, Maybrat yang mengungsi ke Sorong.
Film menceritakan kondisi kedua perempuan yang terpaksa melahirkan di tengah hutan lalu menamai anak mereka dengan nama “Pengungsi”. Mereka hidup dalam kondisi kemiskinan, layanan kesehatan dan pendidikan yang minim, serta kekurangan bahan makanan. Mereka adalah para pengungsi yang terabaikan oleh pemerintah daerah di wilayah konflik. Mereka hanya contoh untuk ribuan pengungsi dari sejumlah daerah di Tanah Papua, seperti Nduga, Maybrat, Intan Jaya, Yahukimo, dan Pegunungan Bintang.
Pengungsian terjadi akibatkan konflik bersenjata antara Tentara Nasional Papua Barat atau TPNPB dengan Tentara Nasional Indonesia atau TNI yang masing-masing mempertahankan prinsip mereka. TPNPB bertahan untuk kemerdekaan Papua, sedangkan TNI untuk menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Dalam film, Ema di Aifrat terpaksa mengungsi saat hamil 9 bulan. Ia melewati hutan belantara puluhan kilometer. “Saya rasakan betul nasib pengungsi di hutan Aifrat Selatan. Saya melahirkan di sana dan saya beri nama anak saya ‘Pengungsi’,” katanya.
Sedangkan Jubiana menceritakan dari Nduga ia menyusuri hutan hingga tiba di Wamena yang ia tempuh 80 km. “Saya lahirkan anak laki-laki ini di hutan. Saya beri nama ‘Pengungsi Kogoya’,” katanya.
Saat menyaksikan film, beberapa calon reporter Jubi terharu dan ada yang tak kuasa menahan air mata. “Saya terharu melihat perjuangan pengungsi yang tengah hamil untuk bertahan di hidup meninggalkan kampung asalnya,” kata Aida Nursanti Ulim, perempuan 25 tahun, kelahiran Klayili, Sorong.
Pes Yanengga, calon reporter Jubi lainnya mengaku sedih, terlebih menyaksikan nasib Ibu Juda dan Ibu Ema, karena terpaksa melahirkan anak di tengah-tengah hutan belantara.
“Saya tidak bisa bayangkan, seolah-olah film ini membuat saya berada di hutan belantara. Tapi lebih dari itu, bahwa Ibu Jubiana dan Ibu Ema adalah pahlawan sejati. Mereka hebat, kuat,” katanya.
Larius Kogoya juga sedih melihat kondisi pengungsi yang tak ada solusi. “Mau berharap kepada siapa? Pemerintah berjanji, tapi tidak ada realisasinya,” ujar lelaki 26 tahun asal Kabupaten Lanny Jaya tersebut.
Sutradara Yuliana Lantipo mengatakan, untuk membuat film dokumenter seperti itu butuh persiapan yang lama dan matang. Tidak hanya menyiapkan syuting, tetapi juga tranportasi dan jaringan komunikasi di lokasi.
Angela Flassy, salah seorang produser ‘Nama Saya Pengungsi’ mengatakan ada lima film dokumenter yang sama-sama diselesaikan Tim Jubi TV. Empat lainnya tentang musik hiphop, Persipura, lingkungan, dan sejarah. Peluncuran perdana kelima film rencananya dilakukan dalam waktu dekat di lima kota di Indonesia untuk film yang berbeda.
“Film ‘Nama Saya Pengungsi’ dan keempat film lainnya belum di-upload di Youtube, nanti setelah di-launching,” katanya. (*)
[Empat belas Calon Reporter Jubi 2023 berkontribusi pada laporan ini: Sesilius Kegou, Fitri Ramadhani, Melkianus Fransiskus Huby, Larius Kogoya, Amatus Huby, Abigael Eflen Sraun, Ratty Lova Linn Auparai, Pes Yanengga, Veronika Tier, Hans Yullias Makabori, Yuslam Alfred Ambokari, Aida Nursanti Ulim, Adelia Frenska, dan Indah Ratnaningtyas]