Nabire, Jubi – Bangsa West Papua telah mendeklarasikan kemerdekaannya pada 1 Desember 1961. Akan tetapi, pemerintah Republik Indonesia tidak mau mengakuinya. Indonesia dengan pandangan rasis menganggap bahwa wilayah bangsa West Papua telah mendeklarasikan kemerdekaannya tak lebih dari negara boneka bentukan Belanda.
Hal itu disampaikan Penanggung Jawab Umum Aksi Serentak Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) Jeeno Alfred Dogomo, kepada Jubi.id melalui siaran pers , Jumat (1/12/2023).
Katanya, Pemerintah Republik Indonesia yang dipimpin oleh Presiden Soekarno lantas melakukan aneksasi ke wilayah West Papua melalui program Trikora pada 19 Desember 1961. Singga saat ini orang Papua dan solidaritas rakyat bangsa Papua terus melakukan perlawanan.
Dogomo mengatakan, diskusi dan aksi demontrasi peringatan tanggal 1 Desember 2023 dilaksanakan serentak di Jakarta, Yogyakarta, Bali, Denpasar, Makassar, Kendari, Ternate, Kupang, Ambon. Sementara di daerah lain menyelenggarakan diskusi seperti, Jember, Mataram, Minahasa, dan Beberapa Kota Lainnya. Didorong oleh Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) dan Front Rakyat Indonesia untuk West Papua (FRI-WP).
“Sudah 62 yahun lalu kitorang su Deklarasi Kemerdekaan, lalu Indonesia ko paksa, jajah dan duduki tanah air kami. Cukup Sudah. Indonesia segera berikan hak menentukan nasib sendiri bagi Kitorang, Rakyat West Papua jangan putar balik sejarah Papua,” katanya.
Dogomo mengatakan, saat pengakuan kedaulatan Negara Republik Indonesia oleh pemerintah Belanda pada 27 Desember 1949, West Papua merupakan koloni tak berpemerintahan sendiri berdasarkan piagam PBB bagian XI (Non-Self Government). Resolusi PBB No.1514 dikeluarkan setelah perang dunia yang berisi penjaminan bagi negeri-negeri dan rakyat koloni pada Desember 1960.
“Untuk menindaklanjuti hal itu maka pada tanggal 1 Desember 1961 rakyat West Papua mendeklarasikan kemerdekaannya dari penjajahan kolonialisme Belanda secara defacto dan dejure. Deklarasi ini sebenarnya akan dilakukan pada tanggal 1 November 1961 namun otoritas kolonial kerajaan Belanda (Ratu Juliana) sengaja menundanya karena kepentingan kolonialisme,” katanya.
Dogomo mengatakan, saat itu atas desakan rakyat Papua melalui Niuw Guinea Raad (NGR) kepada kolonial Belanda maka deklarasi pun dapat dilaksanakan pada tanggal 1 Desember 1961, dimana bendera bintang kejora dikibarkan bersebelahan dengan bendera Belanda.
“Kemudian saat itu juga lagu kebangsaan West Papua “hai tanahku Papua” dinyanyikan bersama lagu kebangsaan Belanda “Wilhelmus”. Peristiwa deklarasi kemerdekaan ini kemudiaan disiarkan oleh radio Australia dan radio Belanda sebagai salah satu bentuk pengakuan kedaulatan terhadap bangsa West Papua sebagai sebuah bangsa yang telah merdeka dan berdaulat,” katanya.
Dogomo mengatakan, pasca Trikora, Belanda yang semestinya bertanggung jawab dan berjanji untuk melakukan dekolonisasi malah menandatangani Perjanjian New York (New York Agreement) terkait sengketa wilayah West New Guinea pada tanggal 15 Agustus 1962 dengan tanpa melibatkan rakyat West Papua.
“Perjanjian tersebut hanya melibatkan 3 pihak saja di antaranya, Indonesia, Belanda dan Amerika Serikat sebagai penengah, meskipun perjanjian itu berkaitan dengan keberlangsungan hidup rakyat West Papua. Perjanjian yang mengatur masa depan wilayah West New Guinea ini terdiri dari 29 Pasal yang mengatur 3 macam hal; Pasal 14-21 mengatur tentang Penentuan Nasib Sendiri (Self Determination) yang didasarkan pada praktek Internasional yaitu satu orang satu suara, Pasal 12 dan Pasal 13 mengatur proses transfer administrasi dari Badan Pemerintahan Sementara PBB (UNTEA) kepada Indonesia,” katanya.
Dogomo mengatakan pada 1 Mei 1963, ketika pemerintah Indonesia mengambil alih tanggung jawab administratif atas West Papua, teritori ini tetap berstatus koloni tak berpemerintahan sendiri yang berhak atas penentuan nasib sendiri di bawah hukum internasional.
“Hak itu diakui oleh Indonesia dalam New York Agreement yang menguatkan fakta bahwa Indonesia tidak memiliki kedaulatan hukum atas West Papua. Jadi Keberadaan Indonesia di West Papua adalah administrasi kolonial yang bisa bersifat permanen hanya jika rakyat West Papua memilih untuk berintegrasi melalui penentuan nasib sendiri dengan prosedur yang disyaratkan oleh hukum internasional.
Kemudian, satu-satunya penentuan nasib sendiri yang dilakukan adalah Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) pada tahun 1969 dengan hanya melibatkan 0,2 persen dari populasi penduduk West Papua,” katanya.
Dogomo mengatakan Proses Pepera itu pun dilakukan dibawah tekanan dan intimidasi militer, supaya rakyat Papua setuju untuk berintegrasi dengan Indonesia. Konsep “musyawarah untuk mufakat” dipakai Pemerintah Indonesia untuk melegitimasi pelaksanaan Pepera yang tidak demokratis, penuh teror, intimidasi dan manipulasi.
“Hasil dari pelaksanaan Pepera tersebut dicatat di Sidang Umum PBB lewat Resolusi 2504 (XXIV). Tidak disebutkan bahwa Pepera telah dilaksanakan sesuai dengan New York Agreement. Dan, tidak disebutkan bahwa prosesnya memenuhi standar penentuan nasib sendiri seperti yang diamanatkan oleh Resolusi PBB 1514 dan 1541 (XV),” katanya.
Lanjut Dogomo bahwa penentuan nasib sendiri lewat Pepera tersebut pada dasarnya tidak sah. Dan oleh sebab tidak sahnya proses penentuan nasib sendiri itu, maka West Papua juga bukanlah bagian sah dari Indonesia.
“Kami menyadari bahwa West Papua tetaplah teritori tak berpemerintahan sendiri dan kini sedang berada di bawah pendudukan Pemerintah Indonesia. Sejarah telah membuktikan rakyat West Papua telah mendeklarasikan kemerdekaannya pada 1 Desember 1961 dan keberadaan pemerintahan Indonesia di Papua illegal.
Dogomo mengatakan, sejak aneksasi dilaksanakan pada 1 Mei 1963, Pemerintah Indonesia tidak membawa kesejahteraan dan hanya menambah penderitaan rakyat West Papua.Berbagai operasi militer di West Papua telah menelan banyak korban.
“Teror, intimidasi, diskriminasi rasialis, penangkapan, penculikan, penahanan, penembakan, pembunuhan terhadap rakyat Papua terus terjadi sampai saat ini masih dilakukan penutupan akses jurnalis, pembatasan internet, dan penyebaran disinformasi dilakukan untuk menutupi apa yang sebenarnya terjadi di West Papua. Wilayah West Papua dibagi-bagi melalui Otonomi Khusus dan DOB yang hanyalah gula-gula yang tak menjawab persoalan keadilan bagi bangsa West Papua. Hak Asasi Rakyat Papua tidak ada nilainya bagi Indonesia,” katanya.
Dogomo mengatakan, pada peringatan deklarasi kemerdekaan Bangsa West Papua ini, AMP FRI WP menyerukan kepada dunia internasional untuk membangun konsolidasi solidaritas perjuangan hak menentukan nasib sendiri bagi bangsa West Papua, mengajak rakyat Indonesia untuk mendukung perjuangan bangsa Papua dalam menentukan nasibnya sendiri.
“Kami juga menyerukan kepada seluruh komponen perjuangan, Dewan Gereja, Dewan Adat dan masyarakat sipil West Papua untuk mewujudkan Persatuan Nasional yang demokratis,” katanya.
Berikut Pernyataan Sikap AMP dan FRI-WP
Oleh sebab itu Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) dan Front Rakyat Indonesia untuk West Papua (FRI-WP) menyatakan sikap politik kepada Pemerintah Republik Indonesia bahwa :
1. Berikan hak penentuan nasib sendiri sebagai solusi demokratis bagi bangsa West Papua.
2. Cabut dan Tolak Otonomi Khusus dan DOB.
3. Buka akses jurnalis seluas-luasnya di West Papua.
4. Tarik militer organik dan non-organik dari West Papua.
5. Hentikan segala bentuk diskriminasi, intimidasi dan kriminalisasi terhadap Haris, Fatia, Agus Kossay, Beni Murib serta seluruh pejuang demokrasi dan kemerdekaan Papua.
6. Bebaskan seluruh tahanan politik West Papua tanpa syarat.
8. Tutup PT Freeport, BP, LNG Tangguh serta tolak pengembangan Blok Wabu dan Migas di timika.
10. Tangkap, adili, dan penjarakan jenderal pelanggar HAM.
11. Hentikan rasialisme dan politik rasial yang dilakukan Pemerintah Republik Indonesia dan TNI-Polri.
12. Hentikan Operasi militer di Nduga, Intan Jaya, Puncak Jaya, Maybrat, Yahukimo, dan seluruh wilayah West Papua lainnya.
13. Cabut dan tolak Omnibus law, RUU KUHP, UU ITE, seluruh kebijakan kolonial yang tidak memihak rakyat.
14. Mendukung kemerdekaan Palestina dari penejajahan kolonial Israel.
15. Stop Adu Domba dan Pecah Belah Rakyat dan Gerakan Pembebasan Papua!
Demikian pernyataan sikap ini dibuat, kami berterima kasih atas dukungan, partisipasi dan kerja sama dari semua pihak. (*)
Untuk melihat lebih banyak content JUBI TV, click here!