Jayapura, Jubi – Direktur Eksekutif Lembaga Penelitian, Pengkajian dan Pengembangan Bantuan Hukum atau LP3BH Manokwari, Cristian Yan Warinussy menilai putusan bebas yang dijatuhkan Pengadilan Hak Asasi Manusia atau Pengadilan HAM Makassar bagi terdakwa tunggal kasus Paniai Berdarah, Mayor Inf (Purn) Isak Sattu merupakan bentuk konkrit dari tidak adanya penghargaan negara atas HAM Orang Asli Papua. Hal itu disampaikan Warinussy kepada Jubi, pada Jumat (9/12/2022).
βBebasnya terdakwa Isak Sattu semakin menunjukkan kepada kita dan dunia, betapa lemahnya sistem penegakan hukum di bidang perlindungan HAM di Indonesia hingga saat ini,β ujar Warinussy.
Pada Kamis (8/12/2022), Pengadilan HAM Makassar menjatuhkan vonis yang menyatakan Isak Sattu tidak terbukti secara sah dan menyakinkan melakukan pelanggaran HAM berat. Majelis hakim yang dipimpin Hakim Ketua Sutisna Sawati bersama Hakim Anggota Abdul Rahman, Siti Noor Laila, Robert Pasaribu, dan Sofi Rahman Dewi membebaskan terdakwa dari segala tuntutan, karena tidak terbuktinya unsur pertanggungjawaban komando. Dari kelima hakim perkara itu, dua hakim menyampaikan pendapat berbeda (dissenting opinion) atas putusan itu.
Warinussy menyatakan putusan majelis hakim kasus Paniai Berdarah yang mengadili perkara terdakwa Isak Sattu sudah mengungkapkan fakta terjadinya serangkaian tindakan kejahatan kemanusiaanΒ atauΒ crime againts humanityΒ yang melibatkan sejumlah aparat TNI/Polisi pada tragedi Paniai Berdarah yang terjadi pada 8 Desember 2014. Akan tetapi, majelis hakim maupun Jaksa Penuntut Umum dari Kejaksaan Agung belum mampu membuktikan siapa komandan lapangan harus mempertanggungjawabkan kejahatan kemanusiaan dalam kasus Paniai Berdarah.
Warinussy menyatakan diperlukan reformasi hukum di sektor promosi dan perlindungan HAM. Langkah utama mesti dimulai dari revisi terhadap Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, dengan melakukan penyesuaian sesuai perkembangan putusan hakim dalam kasus dugaan pelanggaran HAM berat di Tanah Papua, termasuk kasus Paniai Berdarah.
βSerta pula menyimak beberapa ketentuan dalam Kitab Undang Undang Hukum Pidana Indonesia yang baru saja disahkan dalam sidang DPR RI pada 6 Desember 2022,β kata Warinussy.
Warinussy mendesak Dewan HAM PBB di Jenewa, Swiss, untuk ikut memantau perkembangan penegakan hukum di Indonesia, khusus bagi kasus dugaan pelanggaran HAM berat di Tanah Papua. Menurutnya, hingga kini sangat sulit, bahkan terkesan ikut disulitkan oleh negara, bagi Orang Asli Papua (OAP) untuk memperoleh keadilan dalam kasus pelanggaran HAM berat seperti kasus Wasior, Wamena, Paniai dan lainnya. (*)