Oleh: Thomas Ch Syufi*
Diplomat senior Indonesia, Nana Sutresna dalam bukunya βOtobiografi Nana Sutresna, Jejak Seorang Diplomatβ (2009) mengatakan, pelanggaran HAM di Timor Timur memang telah mencapai tahap di luar kewajaran.
βDunia luar mengetahui itu (pelanggaran HAM)), tetapi kita sendiri (Indonesia) tidak mengetahuinya. Misalnya, ketika terjadi pembantaian di Santa Cruz, semua informasi yang diterima dari Jakarta tentang kasus Santa Cruz sangat bertolak belakang dengan laporan pers asing di media mereka. Semua bahan suplai informasi itu memang dari Departemen Luar Negeri, namun Deplu sendiri memperoleh informasi tersebut dari pihak intelejen,β kata Nana.
Nana Sutresna pernah menjabat Duta Besar Luar Biasa Berkuasa Penuh RI untuk PBBβmerangkap Bahamas, Jamaika, dan Nikaragua (1988-1992) dan Dubes LBBP RI untuk Inggris Raya dan Irlandia (1999-2002).
βMenurut yang saya dengar dari wakil tetap kita (Indonesia) di PBB, Anwar Sani, para diplomat kita di sana tidak jarang diberi informasi yang tidak benar. Artinya, para diplomat (perwakilan Indonesia di PBB) itu dibohongi dengan bahan-bahan yang diberikan telah dimanipulasi,β ujar Ketua Delegasi RI pada Konferensi Pelucutan Senjata di Jenewa, Swiss (1981-1983) dan Dirjen Politik Deplu (1983-1988) itu.
G20 dan isu HAM Papua
Indonesia menjadi tuan rumah Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Kelompok 20 atau Group of Twenty (G20) Bali, September 2022, sesuai kesepakatan KTT G20 di Roma, Italia, 30-31 Oktober 2021. Negara-negara G20 terdiri dari 19 negara dengan perekonomian besar di dunia, seperti, Afrika Selatan, Amerika Serikat, Rusia, Perancis, Australia, Italia, Jerman, Cina, Kanada, Jepang, Arab Saudi, Inggris, Argentina, Australia, Brazil, dan Indonesia, ditambah dengan satu organisasi antar-pemerintahan dan supranasional, yaitu Uni Eropa.
Namun, sebelum proses penyelenggaran KTT G20 di Bali, berbagai pihak, terutama para pemimpin Pasifik telah menyinggung tentang isu pelanggaran HAM di Tanah Papua (Provinsi Papua dan Papua Barat). Mereka mendesak pemerintah Indonesia segera mengizinkan kantor Komisioner Tinggi untuk HAM PBB mengunjungi Tanah Papua, sebelum pertemuan para petinggi dari negara-negara anggota G20 di Bali. Tujuannya agar hasil penyelidikan tentang situasi HAM di Tanah Papua oleh badan HAM PBB tersebut menjadi rekomendasi dan bahan pertimbangan di KTT G20.
Para tokoh senior Pasifik itu adalah Hilde Heine (mantan Presiden Republik Kepulauan Marshall), Thomas Remengesau (mantan Presiden Republik Kiribati), Emele Sopoaga (mantan Perdana Menteri Tuvalu), Dame Meg Taylor (mantan Sekjen PIF), Robert Underwood (mantan Kongres AS dan Presiden University of Guam), dan Kaliopate Tavola (Duta Besar dan mantan Menteri di Fiji). Mereka mengeluarkan surat pernyataan, yang diterbitkan pada 21 April 2022.
Dalam surat itu disebutkan bahwa mereka meminta Indonesia memperbolehkan kunjungan Komisioner Tinggi HAM PBB ke Tanah Papua, atas sejumlah laporan mutakhir yang memperlihatkan semakin memburuknya situasi HAM di Papua, seperti eksekusi ekstrayudisial, penghilangan paksa, dan masifnya pengungsi internal orang Papua.
Desakan mereka mengingatkan kembali komunike bersama pemimpin negara-negara Pasifik yang terhimpun dalam Forum Kepulauan Pasifik atau Pacific Islands Forum (PIF) di Tuvalu tahun 2019. Ketika itu PIF menyambut baik undangan Indonesia untuk misi ke Papua oleh Kantor Komisaris Tinggi HAM PBB.
Komunike sangat mendorong agar sebelum pertemuan PIF tahun 2020, kedua pihak menyelesaikan waktu kunjungan dan membuat laporan informasi yang berbasis bukti tentang situasi HAM di Tanah Papua, untuk diberikan pada pertemuan PIF 2020.
Permintaan kunjungan Komisioner Tinggi HAM PBB ke Tanah Papua bertujuan agar PBB memastikan tentang situasi dan dinamika HAM di Tanah Papua. Melalui kunjungan itu, para observer Komisioner Tinggi HAM PBB bisa membandingkan secara langsung antara data atau laporan yang diperoleh dengan fakta di lapangan. Bahkan memburuknya situasi HAM di Papua juga telah menjadi sorotan Komisioner Tinggi HAM PBB, dan karenanya mereka meminta Indonesia segera menjawab pertanyaan dan mengatasi hal tersebut.
βDugaan pelanggaran HAM itu di antaranya pembunuhan anak, penghilangan, penyiksaan, dan pemindahan massal orang, sedikitanya 5.000 penduduk asli Papua oleh pasukan keamanan. Pengungsi di Papua dan Papua Barat mencapai 60.000-100.000 orang sejak eskalasi kekerasaan pada Desember 2018. Mayoritas pengungsi itu belum bisa kembali ke rumah mereka karena kehadiran pasukan keamanan yang ketat dan bentrokan senjata antara TNI-Polri dan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat-Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM) terus terjadi di daerah konflik. Beberapa pengungsi juga tinggal di tempat penampungan sementara atau tinggal bersama kerabat. Ribuan penduduk desa yang mengungsi itu juga melarikan diri ke hutan tanpa akses makanan, perawatan kesehatan, dan fasilitas pendidikanβ (Kompas, 3 Maret 2022).
Itulah sedikit potret buramnya situasi HAM di Tanah Papua tahun 2018-2022. Belum lagi pelanggaran HAM yang terjadi sejak 1 Mei 1963. Tidak hanya korban (rakyat Papua) yang bisa memastikan objektivitas data para korban pelanggaran HAM di Papua selama 50 tahun lebih, tetapi juga dari pengamatan dan penyelidikan terhadap kasus pelanggaran HAM di Papua oleh badan resmi yang independen dan imparsial, dengan memiliki reputasi dan kredibilitas internasional, yaitu Komisioner Tinggi HAM PBB.
Kalau pemerintah Indonesia belum mengizinkan Komisioner Tinggi HAM PBB ke Tanah Papuaβseperti yang didesak oleh PIF, Melanesian Spearhead Group (MSG), kelompok negara Afrika, Karibia, dan Pasifik (ACP), Parlemen Uni Eropa, Parlemen Belanda, maupun Komisi HAM PBBβsama halnya Indonesia sendiri tengah melapangkan jalan untuk mengulangi sejarah referendum Timor Leste.
Apalagi permintaan kunjungan tersebut harus dilakukan sebelum KTT G20, karena mata dunia akan tertuju pada KTT G20di Bali, September mendatang.
Kelompok pemerhati isu HAM Papua akan memberikan tekanan keras kepada 19 perwakilan G20 tentang memburuknya situasi HAM di Tanah Papua. Mereka meminta para pemimpin G20 untuk melihat dan menyelesaikan kasus kejahatan kemanusiaan di Tanah Papua selama 50 tahun Papua menjadi bagian dari NKRI.
Aksi lompat pagar di Kedubes AS oleh 29 aktivis mahasiswa Timor Leste 28 tahun lalu itu, bisa saja dilakukan oleh aktivis mahasiswa Papua saat KTT G20 di Bali. Konsulat negara-negara G20 di Bali serta beberapa kota studi di seluruh Indonesia akan digeruduk anak-anak muda Papua, demi menuntut penyelesaian status politik dan pelanggaran HAM di Tanah Papua.
Bila itu terjadi, tentu akan menyedot perhatian para pemimpin negara G20, hingga menggerus reputasi Indonesia dan mengancam eksistensi Indonesia sebagai negara berdaulat, yang menganut sistem politik demokrasi sekaligus telah meratifikasi Deklarasi Universal HAM 10 Desember 1948, melalui UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM.
Jadi, tekanan dan intervensi dunia internasional bisa terjadi kapan saja bila Indonesia lalai menyelesaikan kemelut kemanusiaan di Tanah Papua, termasuk tidak mengizinkan Komisioner Tinggi HAM PBB ke βBumi Cenderawasihβ. Kasus HAM juga bisa menjadi βpintuβ masuk kemerdekaan Papua seperti kemerdekaan Timor Leste. Selesai. (*)
Penulis adalah Koordinator Papuan Observatory for Human Rights (POHR) dan Advokat muda Papua
Discussion about this post