Jayapura, Jubi – Keuskupan Timika menggelar ibadah rekonsiliasi masyarakat Mimika Wee yang diikuti umat Katolik dan umat beragama lain di Timika, ibu kota Kabupaten Mimika, Papua, Sabtu dan Minggu (24/4/2022). Administrator Diosesan Keuskupan Timika, Pastor Marthen Kuaiyo menyatakan ibadah rekonsiliasi masyarakat Mimika Wee itu bertujuan memulihkan keselarasan relasi antar manusia dan manusia, manusia dan alam, serta manusia dan Sang Pencipta.
Ibadah rekonsiliasi masyarakat Mimika Wee itu berlangsung di Kokonao, Timika, dan dipadati ribuan umat Katolik. Dalam ibadah itu, mereka mengarak patung Yesus yang diukur dengan gaya ukiran khas Kamoro, masyarakat adat di pesisir selatan Mimika yang dikenal dengan keahliannya mengukir dan membuat patung kayu.
Pastor Marthen Kuaiyo mengatakan kedatangan Gereja Katolik maupun modernisasi menimbulkan perubahan sosial yang sangat cepat dan drastis bagi kehidupan masyarakat adat Kamoro. Kuaiyo menyebut perubahan itu sedikit atau banyak juga menimbulkan luka dan beban bagi masyarakat adat.
“Rekonsiliasi Mimika Wee artinya kita mau menyambungkan sesuatu yang putus di dalam kehidupan orang Mimika Wee. Kami ingin memulihkan semuanya,” kata Kuaiyo saat menyampaikan sambutan dalam rangkaian ibadah rekonsiliasi Mimika Wee.
Kuaiyo menyatakan sebelum Gereja Katolik masuk dan membawa banyak hal baru ke Mimika, kehidupan leluhur masyarakat adat di sana, khususnya masyarakat adat Kamoro, selaras dengan alam. Kuaiyo meminta maaf kepada semua masyarakat adat, jika ternyata masuknya Gereja Katolik dan segala perubahan yang dibawanya membawa perubahan yang juga melukai masyarakat adat.
“Atas nama Gereja, saya memohon maaf atas nama para pastor, suster, biarawan, biarawati, bruder, dewan paroki, katekis, diakon, dan pelayan gereja yang pernah bertugas di wilayah Kokonao. [Jika ada] yang membuat orang Mimika Wee terluka, saya memohon maaf sebesar-besarnya,” kata Kuaiyo.
Kuaiyo juga memohonkan maaf masyarakat adat bagi para guru perintis yang pernah bertugas di Mimika dan melukai mereka. “Saya mohon maaf kepada warga Mimika apabila para guru perintis di Trikora dan sebelum tahun 1962 datang. Sebab, mereka datang ke Mimika atas nama Gereja, bukan karena pribadi. Saya atas nama Gereja Katolik memohon maaf apabila para guru perintis membebani orang Mimika Wee,” ujarnya.
Menurut Kuaiyo, sebagai upaya membangun rekonsiliasi, ibadah Mimika Wee ingin memulihkan keselarasan relasi di antara sesama manusia, relasi manusia dengan alam, maupun relasi manusia dengan Tuhan Sang Pencipta. “Saya mengajak orang Mimika Wee yang berkonflik – baik itu konflik antar kampung, konflik karena menjual tanah, konflik karena pelanggaran adat lainnya – hari ini kamu lepaskan [semua luka karena konflik] dalam kuasa Yesus Kristus pada momentum rekonsiliasi ini,” katanya.
Untuk itu, Kuaiyo pun memohonkan maaf masyarakat adat bagi semua orang dari luar yang datang mencari penghidupan di Mimika. “Mereka yang biasa membeli hasil bumi dari orang Mimika, termasuk mereka umat sesama Kristen ataupun umat muslim yang masuk [dengan] melukai hati atau membuat beban [bagi] orang orang Mimika Wee, tolong maafkan mereka dan lepaskanlah [luka yang pernah ada], sehingga rekonsiliasi benar-benar [membawa] kita semua [dalam keselarasan] hidup baru,” katanya.
Kuaiyo menegaskan Gereja Katolik mengenal ibadah tobat sakramen pangampunan dosa yang juga bertitik berat kepada rekonsiliasi. Menurutnya, rekonsiliasi menghubungkan relasi yang telah hancur dan putus, termasuk antara sesama manusia maupun antara manusia dengan Tuhan.
“Melalui momentum ini, Tuhan Allah memulihkan hubungan kita dengan Dia, melalui Tuhan Yesus Kristus dalam perayaan Paskah. Rekonsiliasi ini adalah bagian dari sakramen pertobatan pengampunan dari Tuhan. Antara kita saling mengampuni. Maka, kesempatan ini kita gunakan untuk saling mengampuni di antara orang Mimika Wee, juga siapa saja yang datang tinggal bersama, untuk memulihkan dan menjaga hubungan di dalam [kasih] Tuhan,” katanya.
Ketua Panitia Rekonsiliasi, Dominikus Mitoro mengatakan penggunaan sebutan Mimika Wee sudah lama menjadi wacana banyak pihak. Menurutnya, secara harafiah sebutan Mimika Wee lebih merepresentasikan pola hidup masyarakat yang menempati bagian pesisir Kabupaten Mimika. Sementara sebutan Kamoro sendiri berarti “orang hidup”.
“Ingat, masyarakat adat Mimika tidak pernah membuat kampung di tengah hutan. Kampung masyarakat adat itu selalu ada di pinggir sungai, karena orang Mimika itu [hidup] dengan filosofi “3S”, yaitu sungai, sampan, dan sagu,” kata Mitoro.
Mitoro berharap ibadah rekonsiliasi itu membawa harapan baru bagi semua orang yang hidup di Mimika, khususnya orang Mimika Wee. “Kami harus bersatu, tidak boleh lagi menyimpan rasa curiga atau rasa beban masa lalu, untuk menatap masa depan bersama-sama,” katanya. (*)