Jayapura, Jubi – Direktur Eksekutif Aliansi Demokrasi untuk Papua atau AIDP, Latifah Anum Siregar mengatakan jaringan perdagangan senjata api dan amunisi ilegal di Tanah Papua sangat kuat. Banyak perkara perdagangan senjata api/amunisi ilegal yang telah diputus pengadilan, akan tetapi para pemasok besar dan penyandang dana dalam perdagangan ilegal itu tidak tersentuh proses hukum.
Pada Jumat (1/7/2022), AlDP meluncurkan laporan investigasi “Perdagangan Senjata Api dan Amunisi Ilegal di Tanah Papua” oleh AlDP di Kota Jayapura, Jumat (1/7/2022). Laporan Aliansi Demokrasi untuk Papua itu hasil investigasi terhadap berbagai kasus perdagangan senjata api dan amunisi ilegal pada periode 2011 hingga 2021 yang telah diputus pengadilan.
Siregar menyatakan berbagai perkara perdagangan senjata api/amunisi ilegal yang diputus pengadilan hanya menjangkau para pelaku di lapangan. Siregar menyatakan penelitian AlDP atas berbagai perkara perdagangan senjata dalam kurun waktu 2011 – 2021 tidak menemukan adanya penyandang dana yang diproses hukum.
Padahal, perdagangan senjata api/amunisi ilegal di Tanah Papua melibatkan uang dalam jumlah yang sangat banyak. Para pembeli tidak ragu melunasi barang yang mereka beli sejumlah senjata api/amunisi yang dibeli tersedia.
“Bahkan, uang diterima dulu, tanpa senjata, mereka berani sampai Rp350 juta. Uang Rp2,3 miliar pun mereka percaya. Kenapa? Karena jaringan itu adalah jaringan kuat. Jadi, ‘oke, silahkan, saya sudah bayar, senjata belakangan tidak apa-apa’,” kata Siregar kepada Jubi, pada Jumat (1/7/2022).
Siregar menduga jaringan antara pembeli dan penjual senjata api/amunisi ilegal di Papua sudah lama ada dan terpelihara. Berbagai perkara perdagangan senjata api/amunisi ilegal yang telah diputus pengadilan juga menunjukkan indikasi kuat bahwa jaringan perdagangan senjata api/amunisi ilegal di Tanah Papua berlapis-lapis.
“Jaringanya berlapis-lapis. Bahkan, dalam satu kasus [perdagangan senjata], perantaranya lebih dari tiga orang. Jadi, [antara] yang membayarkan, [yang] memberikan [uang], [dan] yang membutuhkan [senjata yang dibeli] itu jaringannya masih jauh [dan panjang],” ujar Siregar.
Penelitian AlDP juga mengidentifikasi bahwa jaringan perdagangan senjata api/amunisi ilegal di Papua itu melibatkan tentara atau polisi. Dari 51 orang yang dipidana karena kasus perdagangan senjata pada kurun waktu 2011 hingga 2021, sejumlah 14 orang diantaranya tentara, dan enam lainnya polisi.
Selain itu, juga ada pelaku berlatar belakang kombatan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB) sebanyak empat orang, aktivis Komite Nasional Papua Barat sebanyak tiga orang, dan sisanya warga sipil.
Siregar mempertanyakan mengapa para pemasok senjata api ilegal di Tanah Papua tidak diproses hukum. Ia menyatakan setiap senjata api yang diperdagangkan di Tanah Papua memiliki nomor seri yang lengkap, sehingga asal-usul senjata api itu bisa dilacak. Akan tetapi, pelacakan untuk menemukan siapa pemasok besar senjata api di Papua tidak pernah dilakukan.
“Padahal jelas senjata itu ada nomor serinya. Pada saat [penyidik menyusun] Berita Acara Pemeriksaan atau BAP, [mereka] diberi tahu dari mana [senjata itu berasal]. Kenapa tentara atau polisi yang terlibat [sebagai pemasok] tidak diusut? Kenapa nomor serinya tidak diusut? Kalau diusut kan ketahuan. Kalau kami tanya di pengadilan, kenapa tidak diungkap, pengadilan bilang itu tidak diungkap dari pihak kepolisian,” ujar Siregar.
Siregar menerangkan perlu adanya pengawasan dari pemerintah pusat, terutama dari pihak internal TNI dan POLRI untuk mengungkap jaringan perdagangan senjata api dan amunisi ilegal di Tanah Papua. Pemerintah perlu mengungkap pemasok atau penyedia utama, juga penyokong dana pembelian senjata ilegal. “Sebab perdagangan itu menghancurkan nilai-nilai kemanusian dan mengancam proses perdamaian di Tanah Papua,” kata Siregar. (*)