Melbourne, Jubi – “Berguguran daun daunnya… Apa salahku? Apa dosaku….” Kutipan lirik lagu ‘Hilang’ dari grup band legendaris Asal Tanah Papua, Black Brothers seakan menggambar suasana di Melbourne, Australia yang hendak memasuki musim gugur.
Dingin disertai kabut menyelimuti Melbourne, namun orang-orang tetap beraktivitas seperti biasa pada Jumat (19/4/2024). Ketika itu tim West Papua Mini Film Festival I tiba di Bioskop Acmi di Melbourne untuk menyelenggarakan pemutaran lima Film Jubi Documentary yang disupervisi oleh Watchdoc Documentary.
Lebih seratus orang, baik warga Australia di Melbourne maupun warga diaspora Indonesia dan orang Papua yang suaka di Australia berdatangan memadati bioskop.
Acara dikemas dengan menonton film, menggelar konser musik dari Sorong Samarai Band, dan diakhiri dengan diskusi usai memutar tujuh film, dua lainnya adalah film documenter lain yang juga berkisah tentang West Papua.
Dalam sambutannya, Robert ‘Robbie’ Thorpe, aktivis Aborigin Australia dan presenter Fire First, sebuah program di stasiun radio komunitas 3CR di Melbourne, mengatakan praktik genosida sedang terjadi di atas Tanah Papua.
“Sehingga orang Papua membutuhkan solidaritas dari semua orang untuk penentuan nasib sendiri,” katanya.
Proses genosida itu, lanjut Robbie, bisa dilihat langsung dengan jelas dalam film yang telah diputar.
Pada diskusi yang dimoderatori Valla Hill Smith, hadir tiga pembicara, yaitu pendiri dan penggagas West Papua Mini Film Festival I Victor Mambor, pendiri Rumah Produksi Watchdoc Documentary Dandy Dwi Laksono, dan Aktivis Kemerdekaan Papua Ronny Kareni.
Para penonton menyampaikan pujian dan apresiasi terhadap film-film tersebut. Jacob Rumbiak, aktivis Kemerdekaan West Papua mengapresiasi kegiatan West Papua Mini Film Festival I yang digagas Victor Mambor.
“Saya mengapresiasi Victor Mambor dan kawan kawan yang telah membuat film dokumenter ini hingga dipulikasikan, ini karya dokumenter yang diproduksi oleh anak anak Papua sendiri,” katanya.
Menurut Rumbiak kelima film karya Jubi Documentary mengangkat faka-fakta yang ada di Tanah Papua dan berhasil dibuatkan menjadi film dokumenter.
“Kami harus berjuang terus mengangkat masalah Papua ke dunia international atas kejahatan kemanusiaan dan perampasan tanah-tanah adat yang dilakukan Indonesia atas orang asli Papua,” katanya.
David, warga Australia yang turut menyaksikan film-film tersebut mengaku sedih melihat situasi West Papua yang sangat memprihatinkan dan menyedihkan.
“Saya merasa sedih dengan kondisi yang dialami orang Papua. Pemerintah Indonesia benar-benar menjajah orang West Papua dari berbagai sektor dan saya sangat prihatin dengan situasi kemanusiaan yang terjadi di West Papua,” ujarnya.
Menurut David situasi Papua yang kian hari memburuk dari perlakuan Indonesia ini mengancam keberlanjutan hidup orang Papua.
“Menurut saya Pemerintah Indonesia melakukan genosida dengan perampasan tanah adat, pembunuhan warga, pembungkaman kebebasan berekspresi, dan menciptakan pengungsian,” katanya.
Acara di Bioskop Acmi di Melbourne diawali dengan menonton film tentang kisah Runaweri dan Wilem Zoonggonau yang dicekal Pemerintah Australia ketika hendak menggugat pelaksanaan Pepera di United Nations.
Kemudian dilanjutkan dengan film ‘My Name is Refugee’ (Nama Saya Pengungsi). Film karya Jubi Documentary ini menceriterakan kondisi pengungsi di Tanah Papua akibat konflik bersenjata antara TPNPB dan TNI/Polri. Pengungsi yang tidak mendapatkan pelayanan kesehatan di Tanah Papua.
Kemudian dilanjutkan dengan film ketiga ‘When the Microphone is On’ (Hip Hop Papua) yang menceritakan aktivitas anak muda Papua yang melakukan perlawanan melalui lirik lagu hip hop dan hentakan musik.
Setelah menonton tiga film lalu istrirahat. Kemudian dilanjutkan dengan penampilan Sorong Samarai Band yang melantunkan lagu ‘Mama Pasifika’ dan “Ko Bunuh Saya” karya Ukam Maran, rapper asal West Papua yang juga personel Sorong Samarai Band.
Lalu dilanjutkan dengan pemutaran film ‘Voice of Grime Valley’ (Suara dari Lembah Grime) yang berkisah tentang masyarakat adat Grimenawa yang melawan investasi sawit. Film berikutnya ‘Pepera 1969: A Democratic Integration?’.
West Papua Mini Film Festival I berlangsung secara maraton di sembilan kota di Australia sejak 9 April hingga 21 April 2024. Sebelum di Melbourne pada Jumat (19/4/2024), pemutaran film dilakukan di State Cinema, 375 Elzabeth St, Nort Hobart, Negara Bagian Tasmania pada Kamis (18/4/2024).
Victor Mambor menyebutkan pemutaran film yang diselenggarakan di Hobart dipadati anak-anak sekolah. Mambor menggambarkan ‘mereka sangat antusias’.
“Yang hadir sekitar 20 orang, banyak dihadiri oleh anak-anak sekolah, mereka hadir untuk mengetahui isu-isu Papua,” katanya.
West Papua Mini Film Festival I akan berakhir di Darwin pada Minggu, 21 April 2024. (*)
Discussion about this post