Wamena, Jubi – Selama hampir 15 tahun yakni sejak 2009-2024, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Lanny Jaya belum pernah melakukan ganti rugi kepada masyarakat sebagai pemilik hak ulayat tempat dibangunnya kantor Bupati Lanny Jaya, Provinsi Papua Pegunungan. Total harga ganti rugi tersebut senilai Rp 2,5 miliar dengan luas lahan dua hektare lebih.
Karena permasalahan itu, puluhan warga Lanny Jaya dari pemilik hak ulayat menggugat Pemkab Lanny Jaya di Pengadilan Negeri (PN) Wamena, Kabupaten Jayawijaya, Papua Pegunungan, pada Senin (8/1/2023).
Tokoh masyarakat pemilik hak ulayat tanah, Tetinus Yigibalon, mengatakan pada 2009 silam pihak orang tua [ahli waris] telah menyepakati dan menyerahkan tanah tersebut kepada Pemkab Lanny Jaya, untuk dibangun kantor bupati di atasnya. Pihak pemkab juga telah mengurus sertifikat tanah tanpa sepengetahuan, atau koordinasi ke pihak masyarakat sebagai pemilik tanah sebelum ada pelepasan tanah secara resmi.
“Dalam artian sebelum dilakukan ganti rugi dengan nilai yang ditentukan sebesar dua miliar lima ratus juta rupiah. Maka hari ini kami dari masyarakat sebagai pemilik tanah melakukan gugatan secara resmi di PN Wamena, yang didampingi langsung oleh dua kuasa hukum atau pengacara yakni Yance Tenoye dan Benny Wetipo,” katanya.
Ia menegaskan sebelum ada penyelesaian ganti rugi yang telah disepakati antara pihak masyarakat pemilik tanah dan pemerintah daerah, maka aktivitas pemerintahan di kantor Bupati Lanny Jaya tidak boleh dijalankan.
“Kami akan palang kantor hingga ada jawaban pasti dari pemerintah,” katanya.
Menurutnya, pemkab sudah pernah memberi uang ke masyarakat pemilik tanah sebesar Rp 150 juta, tapi uang itu bukan sebagai ganti rugi hanya sebatas tanda permisi ke alam untuk dilaksanakannya pesta secara adat, sebelum pembongkaran lokasi atau lahan baru untuk pembangunan kantor bupati tersebut.
Perwakilan tokoh ahli waris Yance Yigibalon menambahkan, bahwa sebenarnya di era kepemimpinan Bupati Lanny Jaya Befa Yigibalon selama dua periode, bupati pernah berjanji mau menyelesaikan masalah tersebut, tapi sampai di akhir masa jabatannya tidak pernah ada penyelesaian.
“Sebab itu pada 18 Desember 2023 kemarin kami bertemu langsung dengan Asisten I Setda Letren Yigibalon, tetapi beliau tidak terima kami secara baik dan mengatakan tidak tahu menahu dengan persoalan ganti rugi tersebut,” katanya.
Kuasa hukum masyarakat pemilik ahli waris tanah, Yance Tenoye mengatakan dalam kasus ini ada dua hal penting yakni yang pertama masyarakat merasa proses pengalihan tanah kepada pemerintah secara budaya dan prosedur serta aturan belum dilaksanakan secara sempurna, atau seperti yang disepakati dari awal antara pihak masyarakat dan pemerintah.
“Jadi dari tindak lanjut pembicaraan kedua belah pihak itu, secara aturan kalau tanah itu mau dilepaskan ke orang atau pihak lain itu, prosedurnya yang pertama harus disepakati bahwa kedua belah pihak harus setuju untuk saling mengalihkan [hak pemilikan] tanah,” katanya.
Kedua ada biaya atau ganti rugi atas tanah itu. Setelah selesai, kemudian dilakukan pelepasan dan proses sertifikasi atas tanah tersebut.
“Namun masyarakat beranggapan bahwa proses itu tidak dilakukan sama sekali oleh pemerintah daerah, tapi hanya sebatas kesepakatan saja,” katanya.
Ia juga mempertanyakan sertifikat yang dikeluarkan oleh Kantor Pertanahan Jayawijaya dalam hal ini sebagai tergugat tiga, apakah sudah dilakukan sesuai prosedur atau siapa yang memberikan pelepasan tanah.
“Maka kami melakukan gugatan biar nanti yang terakhir hakim yang menilai,” katanya. (*)