Jayapura, Jubi – Sidang pembacaan tuntutan Viktor Yeimo dari jaksa harus kembali ditunda dalam persidangan, Senin (17/4/2023), di Pengadilan Neger Kelas 1A Jayapura.
Hal itu jelas membuat kecewa tim kuasa hukum maupun terdakwa sendiri. Pasalnya, sudah dua kali sidang pembacaan tuntutan ini ditunda, dengan alasan rencana tuntutan dari jaksa perlu dikoordinasikan bersama Kejaksaan Agung Republik Indonesia.
Menurut Viktor Yeimo, hal ini sangat tidak memberikan pendidikan hukum bagi rakyat Papua. Bahkan ia beranggapan dan berkesimpulan, jika hukum menjadi alat kekerasan negara untuk menindas orang Papua.
“Hukum digunakan oleh jaksa, polisi untuk menindas orang Papua. Itu yang kita bisa dapat dari proses peradilan yang panjang ini,” kata Yeimo.
Lantas jika hukum itu menindas orang Papua, katanya, lalu dipaksa untuk harus tunduk di bawah hukum, apa yang ingin diharapkan kalau tidak ada pendidikan hukum, tidak bisa mencerdaskan rakyat untuk patuh terhadap hukum.
“Sehingga saya bingung bagaimana untuk membuat kami percaya terhadap hukum di negara ini, agar kami melihat bahwa negara ini betul-betul ada untuk kami orang Papua,” katanya.
Ia berucap jika di dalam KUHP itu dalam tata persidangan ada azas persidangan cepat, tepat, murah atau biaya ringan. Namun dalam perkara yang dialaminya, Yeimo merasa alasan penundaan tuntutan seperti ini sangat tidak mendasar.
“Saya sudah sejak 2021 proses perkara ini, sehingga bisa dibayangkan ditunda begini kan menjadi pendidikan hukum bagi rakyat Papua yang tidak baik. Apalagi terjadi di depan publik di Kota Jayapura ini saja dipertontonkan sebuah peradilan yang tidak menerapkan azas-azas peradilan yang cepat, tepat, murah itu,” katanya.
Selain itu ia mempertanyakan penangkapan dirinya apakah untuk diadili secara hukum atau ada pendekatan politik lain untuk menggiring, menghukum Viktor Yeimo atau ada rencana lain.
“Silakan buktikan di sini. Selama ini saya sudah sangat kooperatif. Tunda-tunda lagi begini saya jadi curiga, saya ditangkap bukan untuk diadili di dalam negara ini,” ucapnya.
Sementara itu, Presiden Gereja Injili Di Indonesia (GIDI), Pdt. Dorman Wandikmbo, mewakili dewan gereja Papua yang hadir di persidangan Viktor Yeimo itu menilai jaksa tidak berani ambil keputusan padahal persoalan terjadi di Papua.
“Dewan gereja minta masalah di Tanah Papua ini pejabat-pejabat di Papua yang putuskan, jangan lagi ke Kejaksaan Agung atau lainnya di Jakarta. Di sini ada Kapolda, Kepala Kejaksaan Tinggi, dan Pengadilan Papua, harusnya bisa selesaikan persoalan di Papua,” kata Pendeta Dorman Wandikbo.
Selain itu, katanya, masalah Viktor Yeimo ini masalah rasisme, bukan masalah pembunuhan atau penculikan. Karena rasisme itu musuh seluruh dunia, musuh Indonesia, dan rasisme musuh orang Papua.
Untuk itu gereja minta kasus rasisme yang menjerat Viktor Yeimo ini tidak boleh lagi libatkan dan tambahkan pasal-pasal lain dari kasus-kasus lain. Jika berani tambahkan pasal kasus lain itu berani mengundang konflik horizontal di Tanah Papua untuk semua orang.
“Gereja mau tanah damai. Ini tanah Tuhan. Karena itu, salah satu solusi terbaik untuk peradilan ini, tolong selesaikan dengan hukum yang berlaku dan keadilan yang betul,” katanya.
Ia pun meminta agar hakim ketua yang memimpin jalannya persidangan Viktor Yeimo selama ini tidak dulu dipindahkan, biarlah menyelesaikan tunggakan sidang Yeimo sebelum pindah tugas.
“Hakim jangan pindah dulu, biar selesaikan kasusnya Viktor dulu baru dipindahkan, karena kasus Viktor dia yang tahu dari awal yang menangani, sehingga tidak boleh dulu dipindahkan. Ini gereja yang minta, lebih baik cepat selesaikan dulu baru bisa dipindahkan. Kami juga harap sidang tunda di 27 April 2023 nanti yang terakhir, tidak lagi tunda dan hakim yang sama,” katanya. (*)