“Saat generasi muda Papua mencari sejarah bangsanya sendiri”
Jayapura, Jubi – Ada ungkapan bahwa sejarah selalu ditulis oleh pemenang. Narasi sejarah yang beredar hingga diajarkan di sekolah hanya mewakili pemenang. Ini terjadi di banyak tempat termasuk Papua. Begitulah narasi dalam film Jubi TV berjudul PEPERA 1969 : Integrasi yang demokratis?
Lalu timbul pertanyaan benarkah pelaksanaan Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) di Tanah Papua yang waktu itu bernama Provinsi Irian Barat, berlangsung secara demokratis sesuai dengan semangat ‘satu orang, satu suara atau one man one vote.’
Sebenarnya pertanyaan pelaksanaan PEPERA 1969 tidak demokratis, pernah pula dilontarkan oleh Pdt Dr Socratez Sofyan Yoman dalam bukunya yang berjudul ‘PEPERA 1969 di Papua Barat Tidak Demokratis’.
Dalam bukunya Yoman mengutip pernyataan Dr Fernando Ortiz Sanz, perwakilan Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) yang menyaksikan pelaksanaan PEPERA 1969 di Tanah Papua menyatakan penyesalannya karena pemerintah Indonesia tidak melaksanakan isi Perjanjian New York Pasal XXII (22) tentang hak dan kebebasan orang-orang Papua.
“Saya dengan menyesal harus menyatakan pengamatan saya tentang pelaksanaan Pasal XXII (22) Perjanjian New York, kebebasan bergerak, kebebasan berkumpul, penduduk asli. Dalam melakukan usaha-usaha yang tetap, syarat-syarat yang penting ini tidak sepenuhnya dilaksanakan dan pelaksanaan administrasi dalam setiap kesempatan diadakan pengawasan politik yang ketat,” demikian tulis Ortiz Sanz sebagaimana dikutip Yoman dari Dokumen PBB, Annex I, A/7723, paragraph 251, halaman 70.
Meski demikian dalam buku Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) di Irian Barat 1969 terbitan Pemerintah Daerah Provinsi Irian Barat, 1973, disebutkan, “Ortiz Sanz menegaskan bahwa misinya hanya sebagai “advise, assist, and participate.” Dalam persiapan pelaksanaan act of free choice dan tidak berwenang “to object nor to reject decision of the Government.”
Senada dengan itu, Menteri Luar Negeri saat pelaksanaan PEPERA 1969, Adam Malik, mengatakan, “Act of free choice” di Provinsi Irian Barat, sesuai dengan Persetujuan New York, 1962. Adam Malik mengatakan dalam tingkat pertama harus ditetapkan “suatu pemilihan yang praktis yang dapat mewakili pikiran rakyat menentukan kehendaknya”. Sistem ini dalam negara maju yaitu one man one vote.
Namun lebih lanjut Adam Malik menegaskan posisi Provinsi Irian Barat dalam kondisi yang begitu rupa sejak jaman Belanda sampai merdeka.” Perhubungan begitu sulit, seluruh Irian Barat yang begitu luas sehingga belum pernah dapat dicapai sampai di daerah daerah pedalaman, karena itu tidak mungkin,” one man one vote.”
Menlu Adam Malik waktu itu menyarankan karena tidak mungkin dilaksanakan one man one vote, maka dilakukan sistem lain di Provinsi Irian Barat. “Kedudukan kepala kepala suku sudah pasti merupakan perwakilan rakyat.”
“Stamhouder“ Tribe Chief. Ini tidak dibantah dan ini dapat dijalankan. Inipun merupakan suatu keputusan baru dalam keputusan yang seksama,” kata Adam Malik kala itu, demikian dikutip Jubi dari buku Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) di Irian Barat 1969 terbitan Pemerintah Daerah Provinsi Irian Barat, 1973 (hal 21).
Jika disimak lebih lanjut, ternyata para wakil anggota Dewan Musyawarah Pepera (DMP) dari 1026 orang yang mewakili jumlah penduduk Irian Barat saat itu, 815.904 orang. Tercatat pula ada unsur-unsur utusan lain, yaitu unsur partai politik PSII (1 orang); Partai Natahdatul Ulama (1 orang); Partai Muslimin (akan ditentukan kemudian); Partai Katolik (2 orang); Partai Kristen Indonesia (2 orang dan satu orang akan ditentukan kemudian); Partai Nasional Indonesia (1 orang).
Termasuk pula unsur Golongan Karya ABRI antara lain Kodam XVII Tjenderawasih (1 orang); Kodamar (AL) 10 Irian Barat (1 orang); DAUD (AU) Irian Barat (1 orang), dan Komdak XXI Irian Barat (Polisi) (1 orang).
Selain itu masih ada pula unsur Golongan Karya non ABRI antara lain, Pemuda (2 orang); Tjendekiawan (2 orang); Wanita (2 orang); Buruh (1 orang); Tani (1 orang); Pengusaha (1 orang); Nelayan (1 orang); Gerakan Koperasi (1 orang); Hansip/Wanra (1 orang); Veteran Pejuang (1 orang); Angkatan 45 (1 orang); Rohaniawan Protestan (2 orang); Rohaniawan Katolik (2 orang), dan Rohaniawan Islam (1 orang).
Sebaliknya, para intelektual yang dianggap pro Papua Merdeka atau oleh pemerintah Indonesia disebut pemimpin gerakan separatis harus diamankan alias tinggal di pos-pos militer. Di Kota Jayapura yang paling terkenal adalah Ifar Gunung.
“Ifar Gunung adalah tempat tahanan. Saya tinggal di dalam tahanan. Gunung Cycloop yang tinggi, aku kini dalam tahanan. Itulah syair dan lagu para tahanan politik di kaki bukit Ifar Gunung di Sentani Kabupaten Jayapura-Papua pada era 1968, menjelang pelaksanaan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) 1969.”
Di tempat itu pula, Herman Wayoi, tokoh pejuang Papua dan mantan pejabat Pemerintah Provinsi Papua, pernah dijebloskan selama sembilan bulan, setelah memimpin demo menuntut satu orang satu suara dalam Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) 1969.
Mereka yang ditangkap dan ditahan itu menurut buku Pepera 1969 di Irian Barat sebagai tahanan politik dan terpaksa para pengganggu keamanan dan para pemimpinnya diamankan, demi ketenangan suasana dan keamanan pribadi mereka.
Salah seorang mantan tahanan Ifar Gunung, Amos Ruben Marey, mantan Kepala Distrik Mindiptana-Merauke, ikut diamankan. Belakangan keluarga baru tahu kalau orang tua mereka telah bebas dari tahanan di Angkatan Laut Sorido di Biak.
”Kami baru tahu kalau bapak ditahan di markas Angkatan Laut di Biak,” kata Hengky Marey, putra mendiang Amos Ruben Marey mantan Kadistrik Tanah Merah dan juga alumni APDN Malang 1967, rekan seangkatan Jacob Pattipi, mantan Gubernur Irian Jaya.
Selama sembilan bulan di tahaan Ifar gunung, Herman Wayoi tak pernah diadili atas tuduhan pelanggaran berdemo di depan Gedung Negara Dok V guna bertemu Ferdinand Ortiz Sanz, Wakil PBB dalam pengawasan pelaksanaan Pepera 1969 di Tanah Papua.
Laporan penelitian dari Prof Dr Drooglever terjemahan Indonesia berjudul Tindakan Pilihan Bebas ! Orang Papua dan Penentuan Nasib Sendiri menyebutkan bahwa tercatat ada beberapa tahanan politik berjumlah 346 yang ditahan kala itu, termasuk mantan Gubernur Irian Barat pertama mendiang, Eliezer Jan Bonay.
Pemilihan Umum Wakil Rakyat di Papua 1961
Meski dibilang agak terlambat, pemerintah Belanda melalui Nederlands Nieuw Guinea mulai membentuk Dewan Nieuw Guinearaad atau Parlemen zaman Belanda sekitar 1960-1961. Itupun bisa terjadi karena pemerintah Indonesia membawa masalah Irian Barat ke PBB dan juga akibat dari Konferensi Meja Bundar 1949 di mana Frans Kaisiepo ikut mewakili Nederlands Nieuw Guinea.
Dalam buku karya Prof Dr PJ Drooglever berjudul An Act Of Free Choice: Decolonization And The Right To Self-Determination In West Papua, memberikan penelitian dan laporan bagaimana zaman Belanda atau pemerintahan Nederlands Nieuw Guinea melakukan pemilihan umum anggota Nieuw Guinea Raad di Tanah Papua.
“Di sentra kota besar seperti Hollandia dan Manokwari pemilihan dapat diikuti dengan satu sistem pemilihan sederhana langsung. Untuk 14 distrik pemilihan yang lain, saat itu di Papua Barat terbagi dalam 24 distrik pemilihan umum. Cara pemilihan tidak langsung rupanya paling cocok, di mana untuk tiap 50 orang yang berhak pilih akan ditunjuk seorang kiesman atau seorang yang mewakili warganya sesuai dengan aturan zaman kolonial Belanda. Artinya dalam pemilihan umum bagi anggota Nieuw Guinearaad kala itu dengan partai politik telah digunakan cara pemilihan langsung bagi warga di kota, sedangkan di wilayah terpencil memakai pemilihan tidak langsung dengan memilih wakil-wakil mereka untuk menjadi anggota Niewu Guinearaad atau Dewan Papua Barat kala itu.”
Terlepas dari pro dan kontra soal demokratis atau tidak, pelaksanaan Pepera 1969 di Provinsi Irian Barat, mendiang Filep Karma telah mengingatkan bahwa ada sesuatu yang aneh. Pemerintah Indonesia melakukan Kontrak Karya dengan perusahaan Freeport pada 1967 atau dua tahun sebelum pelaksanaan Pepera 1969.
“Pada tanggal 5 April 1967, di bawah sorotan kamera televisi, Menteri Pertambangan Slamet Branata dan Perwakilan Freeport menandatangani Kontrak Karya selama 30 tahun untuk pengembangan tambang Ertsberg. Inilah Kontrak Karya pertama yang pernah ditandatangani oleh Indonesia di bawah UU Penanaman Modal Asing,” demikian dikutip dari buku berjudul Grasberg : Mining the richest and most remote deposit of cooper and gold in the world, in the mountains of Irian Jaya, Indonesia, karya ahli geology George A Mealey,1999.
Tak heran kalau hasil penelitian Prof. PJ. Drooglever, An Act Of Free Choice: Decolonization And The Right To Self-Determination In West Papua telah memberikan pengetahuan lain tentang sejarah Papua. Pihak yang berkepentingan dengan permasalahan di Papua adalah Belanda, Indonesia, dan Amerika Serikat. Masyarakat Papua tidak pernah terlibat sama sekali dalam seluruh proses pengambilan keputusan mengenai diri dan masa depan mereka.
Manuel Kaisiepo, mantan jurnalis Kompas, dalam pengantar sejarah perjuangan JA Dimara menulis, pengenalan dan pengetahuan yang terbatas itu, merupakan hal yang wajar dan bisa dipahami, mengingat tidak semua orang yang terlibat dan berperan dalam setiap fase perjuangan masa lampau akan serta merta tercatat dalam sejarah. Apalagi kalau diingat bahwa pada hakekatnya tidak pernah ada penulisan sejarah yang secara murni menggambarkan “sebagaimana terjadi sesungguhnya,” seperti yang menjadi ideal menurut sejarawan terkemuka Jerman, Leopold von Ranke (1795-1886).
“Ada peristiwa tertentu dan tokoh tertentu dalam suatu periode masa lalu yang mendapat tempat yang penting dalam suatu penulisan sejarah. Sebaliknya pula ada peristiwa dan tokoh tokoh tertentu lainnya yang hanya mendapat sedikit perhatian, bahkan ada yang terlewatkan dalam penulisan sejarah.” (*)