Jayapura, Jubi – Masyarakat adat di tiga daerah otonomi baru – DOB hasil pemekaran Provinsi Papua, diingatkan tetap menjaga hak atas tanah adatnya.
Pernyataan itu disampaikan anggota komisi bidang pertanahan, pemerintahan, politik, hukum, HAM dan keamanan DPR Papua, Emus Gwijangge pada Kamis (16/03/2023).
Politikus Partai Demokrat itu menyatakan, setelah Undang-Undang Otsus Papua direvisi pada 2021 silam, lahirlah tiga provinsi baru hasil pemekaran Provinsi Papua, yakni Papua Pegunungan, Papua Tengah dan Papua Selatan.
Katanya, hadirnya provinsi baru ini membuka gerbang migrasi bagi warga dari daerah lain di Tanah Papua maupun dari luar Papua.
Hadirnya daerah otonomi baru akan diikuti pembangunan infrastruktur, dan diperkirakan mengundang banyak investor.
“Kehadiran orang dari luar daerah ke daerah otonomi baru, kehadiran investor dan pembangunan infrastruktur sarana pendukung tentu butuh lahan. Masyarakat adat jangan mudah melepas tanah adatnya begitu saja. Sebab tanah itu merupakan identitas diri masyarakat adat,” kata Emus Gwijangge kepada Jubi, Kamis (16/03/2023).
Ia mengingatkan masyarakat adat di tiga provinsi baru, untuk tidak tergiur dengan iming-iming apa pun agar mau merelakan tanah adatnya dijual kepada pihak mana pun.
Katanya, apabila masyarakat adat ingin mengambil manfaat dari tanah adat mereka untuk kepentingan investor atau pembangunan, mereka bisa menerapkan sistem sewa pakai, bukan dijual.
Ia mengatakan, dengan sistem sewa pakai maka tanah itu tetap menjadi milik masyarakat adat, dan masih dapat diwariskan kepada anak cucu.
“Kalau tanah adat sudah dijual, maka masyarakat adat tidak lagi punya hak. Jadi sebaiknya sistem sewa pakai saja. Masyarakat adat mesti menjaga tanah adatnya, terutama masyarakat saya di wilayah adat Lapago atau Provinsi Papua Pegunungan. Jangan tergiur dengan tawaran-tawaran yang bersifat sementara,” ucapnya.
Emus Gwijangge tidak ingin masyarakat adat di wilayah daerah otonomi baru, terutama yang berada di Provinsi Papua Pegunungan kehilangan sebagian besar hak atas tanah adatnya seperti mereka di wilayah adat lain.
Akibatnya, generasi setelah mereka, tidak lagi dapat merasakan manfaat tanah adat sebagai indentitas diri masyarakat adat.
“Misalnya di wilayah Jayapura sekarang ini, sebagian besar tanah masyarakat adat telah pindah hak kepemilikan dan beralih fungsi. Situasi ini jangan terjadi di wilayah adat Lapago, Meepago, maupun Anim Ha karena hadirnya daerah otonomi baru,” katanya.
Perlu regulasi melindungi tanah adat dan hak ekonomi OAP di daerah otonomi baru
Emus Gwijangge yang merupakan Ketua Badan Pembentukan Peraturan Daerah (Bapemperda) DPR Papua itu mengatakan, perlu ada regulasi memproteksi tanah adat di daerah otonomi baru.
Ia berpendapat, dalam regulasi diatur tata cara bagaimana memproteksi tanah masyarakat adat, agar tidak berpindah kepemilikan dangan gampangnya. Misalnya tata cara sistem sewa pakai, dan sebagainya.
Katanya, regulasi ini perlu didorong dari sekarang, agar ketika daerah otonomi baru sudah memiliki gubernur dan anggota DPR provinsi definitif, serta lembaga Majelis Rakyat Papua (MRP) di sana sudah terbentuk, para pihak ini bisa bersama merumuskannya.
Anggota DPR Papua dari daerah pemilihan kabupaten yang kini masuk dalam wilayah Provinsi Papua Pegunungan itu berpendapat, selain perlu regulasi memproteksi tanah adat, juga perlu ada payung hukum yang mengatur keberpihakan terhadap orang asli Papua (OAP) dalam kebijakan ekonomi kerakyatan.
Misalnya diatur agar komoditas perkebunan, pertanian dan peternakan yang bersifat lokal, hanya dikembangkan oleh masyarakat asli Papua.
“Misalnya di Lapago, hasil pertanian dan perkebunan semisal keladi, ubi jalar, buah merah, pinang dan lainnya cukup dikembangkan dan jual oleh orang asli Papua. Begitu juga untuk beternak babi, cukup orang asli Papua di sana. Saudara-saudara dari daerah lain mengembangkan bidang ekonomi lainnya, sehingga saling mendukung,” kata Emus Gwijangge.
Ia pun berharap, apabila nanti pimpinan daerah dan DPR provinsi daerah otonomi baru definitif serta MRP merumuskan atau mengesahkan regulasi proteksi terhadap tanah adat dan ekonomi kerakyatan orang asli Papua di wilayahnya, pemerintah pusat tidak lagi mengintervensi atau menolak regulasi itu.
“Saya pikir pemerintah cukup telah merevisi Undang-Undang Otsus dan memekarkan Provinsi Papua menjadi empat Provinsi. Mengenai kebijakan di daerah otonomi baru, berikan kepercayaan kepada pemangku kepentingan di sana untuk mengaturnya selama itu tidak bertentangan dengan Undang-Undang Otsus,” ucapnya. (*)
