Sentani, Jubi – Dalam lima tahun atau satu lustrum terakhir (2019-2023), kasus Demam Berdarah Dengue (DBD) tertinggi di Kabupaten Jayapura terjadi pada 2023 sebanyak 64 kasus.
Hal itu disampaikan Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit, Dinas Kesehatan Kabupaten Jayapura Pungut Sunarto SKM MM kepada Jubi di ruang kerjanya di Sentani, Kabupaten Jayapura, Provinsi Papua, Senin (29/4/2024).
“Dalam lima tahun terakhir, terjadi peningkatan kasus pada 2022 sebanyak 40 kasus dan puncaknya pada 2023 sebanyak 64 kasus,” ujarnya.
Rincian jumlah kasus DBD yang ditemukan di Kabupaten Jayapura, pada 2023 sebanyak 64 kasus, 2022 sebanyak 40 kasus, 2021 dan 2020 masing-masing terdapat tujuh kasus, dan 2019 sebanyak 30 kasus.
Berdasarkan data tersebut, terjadi penurunan kasus DBD masing-masing sebanyak tujuh kasus pada dua tahun berturut-turut (2020-2021). Hal itu, menurut Sunarto, dipengaruhi oleh perhatian pemerintah dalam persiapan Pekan Olahraga Nasional (PON) yang diadakan di Papua.
“2021 kok kasusnya tidak meningkat, tujuh saja? Ini berkaitan dengan persiapan PON hingga terlaksananya PON. Kemungkinan ini karena intervensi yang dilakukan baik dari Pemerintah Provinsi maupun Pemerintah Kabupaten semua tertuju di Sentani, karena sebagai pusat kegiatan PON dan intervensi tidak hanya melibatkan kabupaten saja melainkan seluruh pihak, jadi mungkin bisa terkendali ya, kalau dikeroyok sama-sama,” ujar pria yang pernah menjabat Kepala Puskesmas Bonggo pada 1989-1985 itu.
Selepas kegiatan PON, lanjut Pungut, kasus DBD kembali meningkat. Menurutnya, peningkatan tersebut diakibatkan cuaca ekstrem dan curah hujan di Kabupaten Jayapura. “Kita tahu cuaca kadang panas, kadang hujan, tidak menentu, sehingga perkembangbiakan jentik Aedes Aegypti meningkat,” katanya.
Ia menambahkan, nyamuk Aedes Aegypti menggigit pada siang hari kebalikan dari nyamuk Anopheles (malaria). “Jadi tugasnya nyamuk Aedes Aegypti mulai dari pukul 6 pagi-6 sore, mereka bergantian,” ujar Sunarto.
Selain faktor cuaca, Pungut mengaku, kurangnya intervensi lintas sektor juga menjadi faktor meningkatnya kasus DBD di Kabupaten Jayapura. “Bila dilihat datanya, mayoritas terjadinya kasus DBD berada pada triwulan pertama (Januari-Maret) dan akhir tahun (Oktober-Desember),” katanya.
Nyamuk Aedes Aegypti, lanjut Pungut, cenderung berkembang biak di genangan air yang relatif bersih. Misalnya di tempat penampungan air di dalam rumah. Ia berpesan agar penampungan air itu harus dibersihkan seminggu sekali, lalu ditutup. Kemudian mengubur barang-barang bekas seperti kaleng atau gelas yang bisa menampung air.
“Apabila kena air hujan, ada sedikit saja dia sudah bisa berkembang dan menetas, lalu siap menjadi vektor penular,” ujarnya.
Sementara itu, berdasarkan wilayah, kasus DBD terbanyak ditemukan di wilayah Sentani. “Kasus di Sentani itu cukup meningkat pada 2023 ada 47 kasus dan satu meninggal,” ujarnya.
Disusul Distrik Waibu ada 13 kasus, Distrik Sentani Timur ada dua kasus, dan Sentani Barat ada dua kasus.
Selanjutnya, berdasarkan golongan umur, kasus DBD yang ditemukan pada 2023 mayoritas menyerang usia 5-44 tahun sebanyak 30 kasus, lalu disusul umur 0-5 sebanyak 10 kasus, dan umur 45 ke atas sebanyak 4 kasus.
Ia juga mengatakan kasus DBD di Jayapura termasuk rendah, namun ia berpesan tetap harus waspada terhadap penyakit itu. “Apalagi pada 2023, sudah ada yang meninggal. Intervensi harus dilakukan terutama 3M (Menguras, Menutup, Mengubur),” ujarnya.
Dengan tingginya kasus DBD yang ditemukan, maka pihaknya telah melakukan fogging dengan radius sekitar 100-200 meter. Selain itu juga penaburan larvasida untuk membasmi jentik Aedes Aegypti saat ditemukan di lapangan.
“Fogging biasa dilakukan kalau ada kasus, sebelum ada kasus, maupun sebelum masa penularan, tapi sesuai petunjuk itu apabila ada kasus dan cenderung terjadi penularan dalam interval seminggu. Jadi yang pertama untuk mengejar kemungkinan adanya nyamuk dewasa, lalu kedua jentiknya yang sudah menetas, seminggu kemudian disemprot lagi,” katanya. (*)
Discussion about this post