Program jaminan kesehatan Kartu Papua Sehat atau KPS yang lebih fleksibel melayani pengobatan Orang Asli Papua atau OAP dan Non-OAP yang tidak mampu, terancam hilang. Jubi dan Project Multatuli membuat kolaborasi peliputan untuk menyelisik Program Kartu Papua sehat yang terancam hilang, berikut menelusuri upaya berbagai pemangku kepentingan mencari solusinya. Tulisan ini merupakan bagian pertama dari lima laporan kolaborasi peliputan tersebut.
Irene Fatagur (33), warga Kampung Yamara, Distrik Manem, Kabupaten Keerom, Provinsi Papua, pada 2015 mengetahui dari petugas puskesmas ada program Kartu Papua Sehat (KPS). Kartu ‘berobat gratis’ itu khusus untuk Orang Asli Papua (OAP) dan warga non-OAP yang tidak mampu. Ibu dua anak itu segera meminta surat rekomendasi kepada kepala kampung sebagai syarat. Ia dengan mudah mendapatkan KPS dari petugas puskesmas. Sejak itu Fatagur bisa berobat dengan gratis di puskesmas dan juga ketika dirujuk ke rumah sakit.
“Saya jaga, jangan sampai sa anak-anak sakit baru pas trada uang nanti susah,” katanya saat ditemui Jubi di rumahnya ketika ditanya alasannya segera mengurus Kartu Papua Sehat.
Sebenarnya saat itu Fatagur sudah terdaftar sebagai peserta JKN-KIS (Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat) sejak 2014. Ia merupakan peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) atau biasa disebut BPJS PBI. Peserta BPJS PBI adalah warga yang dikategorikan Dinas Sosial sebagai warga miskin. Peserta PBI tidak perlu membayar iuran BPJS Kesehatan karena sudah ditanggung pemerintah.
Meski memegang dua jenis kartu jaminan kesehatan, saat melahirkan anak keduanya yang harus melalui operasi Caesar di RSUD Abepura, Kota Jayapura pada 2016, Fatagur menggunakan Kartu Papua Sehat. Alasannya waktu itu tidak menggunakan KIS karena dia tidak mengikuti proses rujukan berjenjang. Proses berobat berjenjang itu harus dimulai dari puskesmas. Jika puskesmas tidak sanggup mereka akan merujuk ke RSUD Kwaingga di Kabupaten Keerom, dan seterusnya jika RSUD kabupaten itu tidak sanggup maka dirujuk lagi ke rumah sakit rujukan regional, RSUD Abepura. Proses rujukan berjenjang ini syarat layanan BPJS Kesehatan. Sedangkan dengan Kartu Papua Sehat tidak perlu “main rujuk”, langsung ke rumah sakit tetap dilayani.
Karena jadwal melahirkan pada malam hari dan khawatir tidak ada petugas yang berjaga di puskesmas, ia langsung ke RSUD Kwaingga. Dengan kondisinya kala itu yang tidak bisa melahirkan normal, petugas RSUD Kwaingga merujuknya ke RSUD Abepura.
“Karena saya punya KIS dan KPS, petugas bilang ini pakai KPS saja,” ujarnya.
Hanya saat melahirkan operasi Caesar di rumah sakit itulah Irene Fatagur menggunakan Kartu Papua Sehat. Menjelang 2021, masa berakhirnya Otonomi Khusus (Otsus) Papua, publik di Papua ramai membincangkan berlanjut atau tidaknya kebijakan Otsus. Ia mendengar informasi beberapa program yang dibiayai dana Otsus akan dihentikan, termasuk KPS.
“Dari situ kitong tahu, KPS mulai tidak berlaku,” katanya.
Mengantisipasi tidak berlakukanya KPS, ia memutuskan mengaktifkan kembali kartu BPJS Kesehatan-nya. Awalnya ia tidak mengetahui kartu BPJS milik keluarganya sudah mati. Saat mengurus tetangganya berobat ke RSUD Kwaingga, petugas memberitahu bahwa kartu BPJS tetangganya itu sudah tidak bisa digunakan. Padahal ia dan tetangganya mendapatkan kartu itu di puskesmas pada waktu bersamaan. Menyadari itu, Irene kemudian mengurus surat rekomendasi dari Kepala Kampung dan Dinas Sosial, lalu memperbaharui KIS-nya di Kantor Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan Cabang Keerom.
“Sama seperti dorang yang belum punya kartu, urus baru lagi,” ujarnya.
Berbeda dengan Fatagur, Meri Apyaka (32) justru menderita kerugian akibat dihentikannya KPS tanpa ia ketahui. Sebelumnya, Apyaka sekeluarga selalu menggunakan KPS di rumah sakit rujukan. Mereka selalu mendapatkan pelayanan gratis.
Pada pertengahan Februari 2023, Meri Apyaka mengalami patah tulang karena jatuh saat cekcok dengan suaminya. Warga Kampung Koya Tengah, Distrik Muara Tami, Kota Jayapura itu dilarikan keluarganya ke RSUD Ramela Koya Barat. Dari RSUD Ramela, ia dirujuk ke Rumah Sakit Dian Harapan Jayapura.
Saat itulah petugas memberitahunya bahwa KPS sudah tidak berlaku dan kartu BPJS PBI yang dimilikinya sudah mati. Hal itu jelas membuat ia terpaksa membayar pengobatan secara mandiri untuk biaya pendaftaran, jasa dokter, foto rontgen, dan obat-obatan.
“Kitong bayar hampir Rp1 juta,” katanya.
Dokter bedah RS Dian Harapan menyarankan agar ia segera mengaktifkan kembali kartu BPJS Kesehatan. Sebab tanpa kartu BPJS Kesehatan Apyaka harus membiayai sendiri operasi dengan biaya sekitar Rp20 juta. Mendengar biaya yang mahal, ia memutuskan mengobati tangannya kepada tukang urut tradisional.
Orpa Msiren dan adiknya, Martha Wabdoren, mendapatkan informasi lebih awal dan lebih siap daripada Meri Apyaka. Warga Kampung Yeruboi, Distrik Warsa, Biak Utara, Provinsi Papua itu sekeluarga langsung menggunakan kartu JKN-KIS untuk berobat setelah program KPS dihentikan. Mereka mengaku selalu dilayani dengan baik ketika berobat di rumah sakit.
“Tidak ada batasan berapa lama pasien harus dirawat, asalkan memiliki Kartu Tanda Penduduk atau Kartu Keluarga, semua gratis. Kecuali sama sekali tidak memiliki jaminan, maka akan dikenakan biaya Rp400 ribu per hari untuk pasien paru,” kata Martha Wabdoren.
Orpa Msiren (52) bersama adiknya, Martha Wabdaron ditemui di pelataran ruang rawat inap RSUD Biak Numfor pada 24 Mei 2023. Mama Msiren bercerita jika selama membawa anaknya berobat di RSUD Biak sampai dengan menjalani rawat inap, sama sekali tidak dipersulit. Bahkan seluruh biaya perawatan dan obat-obatan ditanggung. Sebab seluruh keluarganya telah terdaftar sebagai peserta BPJS PBI.
Saat ditemui, ia sudah 11 hari menjaga anaknya, Abigael Wabdaron (11) yang sedang menjalani rawat inap akibat sakit paru-paru.
“Ini rumah sakit paling bagus di Papua, mulai dari penanganan medis sampai kebutuhan obat semua terlayani dengan baik,” ujarnya.
Terkait pembelian obat di apotek yang berada luar rumah sakit, menurut Msiren berapa pun besar biaya obat yang dibeli secara mandiri akan diganti oleh pihak rumah sakit. Asalkan dilengkapi dengan bukti kuitansi asli dari tempat keluarganya menebus obat sesuai resep dokter.
“Kami sudah tiga kali beli obat secara mandiri dan nanti itu diklaim untuk diganti pada saat anak saya sudah diperbolehkan pulang. Ini saya bicara sesuai dengan apa yang kami alami dan rasakan selama berobat di rumah sakit dengan menggunakan JKN-KIS,” ujarnya.
Wilem Msiren (46), guru honorer yang tinggal di Kampung Dofyo Wafor juga mengaku tidak mengalami kesulitan berobat gratis setelah program KPS dihentikan.
Sebelum ada program KPS, ia sekeluarga sudah menjadi peserta BPJS PBI sejak 2018.
“Saya sudah tidak lagi gunakan KPS setelah ada imbauan dari rumah sakit dan aparat kampung yang mengatakan jika program itu sudah dihentikan,” kata Wilem Msiren.
Ketika ditemui ia sedang menjaga istrinya, Maria Ovias (39) yang sedang menjalani rawat inap karena cidera lutut setelah terjatuh. Ovias sudah seminggu dirawat dengan seluruh pembiayaan ditanggung BPJS Kesehatan melalui program JKN-KIS.
Seorang pasien perempuan yang ditemui di RSUD Jayapura, tapi tak mau disebutkan namanya, mengaku terpaksa membayar Rp170 ribu untuk mengecek kesehatan anak bayinya. Hal itu karena anaknya belum terdaftar sebagai peserta BPJS Kesehatan. Karena hanya dia yang memiliki BPJS Kesehatan dan tidak memiliki uang untuk berobat, lalu ia memutuskan ia saja yang melakukan kontrol berobat, bukan atas nama anaknya.
“Tadinya KPS ada kitong senang, sekarang tidak ada bikin tong susah saat berobat,” ujarnya.
Penyempurnaan dari Jamkespa
Kartu Papua Sehat atau KPS merupakan bentuk pelayanan publik di bidang kesehatan oleh Pemerintah Provinsi Papua. KPS diberikan khusus kepada penduduk Orang Asli Papua (OAP) dan non-OAP yang tidak mampu di Provinsi Papua. Program jaminan kesehatan atau pengobatan gratis ini didanai melalui pengalokasian sebesar 15 persen dari dana Otonomi Khusus (Otsus).
Program KPS diatur melalui Peraturan Gubernur Papua Nomor 6 Tahun 2014 tentang Jaminan Pembiayaan Pelayanan Kesehatan Masyarakat Papua dan Peraturan Gubernur Papua Nomor 7 Tahun 2014 tentang Sistem Rujukan Pelayanan Kesehatan. Kemudian ditindaklanjuti dengan Surat Keputusan Kepala Dinas Kesehatan No. 440/5051/2014 Tahun 2014 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan KPS di Provinsi Papua.
Program KPS dibuat untuk penyempurna program Jaminan Kesehatan Papua (Jamkespa) yang ada sebelumnya. Pemprov Papua mengklaim program KPS memiliki peran penting dalam membantu masyarakat asli Papua dan warga non-Papua yang benar-benar tidak mampu.
Untuk menyukseskan program KPS, Pemprov Papua mengalokasikan anggaran pada tahun pertama, 2014, sebesar Rp250 miliar. Pada tahun berikutnya, 2015 hingga 2017, setiap tahun dianggarkan Rp300 miliar.
Peraturan Gubernur Papua Nomor 6 Tahun 2014 menjelaskan pemberian jaminan pembiayaan kesehatan tersebut untuk memberikan pelayanan kesehatan dasar dan pelayanan kesehatan rujukan kepada orang asli Papua, serta warga lain (non-Papua) pada fasilitas Kesehatan. Pelayanan meliputi seluruh biaya administrasi dan pelayanan medis berupa observasi, diagnosis, pengobatan, tindakan medis, perawatan, konsultasi, visite, penunjang medis, pelayanan kefarmasian, dan pelayanan transfusi darah.
KPS berlaku pada fasilitas pelayanan kesehatan di seluruh RSUD Provinsi Papua, rumah sakit mitra, rumah sakit rujukan nasional, puskesmas dan jaringannya, pelayanan 119, dan seluruh pelayanan Palang Merah Indonesia (PMI) di Provinsi Papua. Jaminan meliputi pelayanan rawat jalan dan rawat inap kelas III, termasuk pelayanan pada ruang Instalasi Gawat Darurat, Intensive Care Unit, Intensive Coronary Unit, Neonate Intensive Care Unit, High Care Unit, dan isolasi.
Pada pertengahan 2018, kepala Dinas Kesehatan Provinsi Papua waktu itu, drg Aloysius Giyai menyebutkan dalam tiga tahun pertama saja 3,9 juta penduduk Papua sudah terlayani program Kartu Papua Sehat dan telah menggelontorkan dana Rp800 miliar.
Buku “Jejak Kaki Penuh Kasih Menjangkau ujung Bumi Papua” yang ditulis drg Aloysius Giyai M Kes dan diterbitkan Puslitbang Ekologi Kesehatan, Badan Litbangkes Papua pada 2018 mencatat pada Desember 2014 Pemprov Papua telah membagikan sebanyak 1,5 juta Kartu Papua Sehat kepada 29 kabupaten dan kota di Provinsi Papua. Nomor kartu dibuat berdasarkan kabupaten dan kota di mana warga peserta berdomisili. Artinya, setiap kabupaten dan kota memiliki nomor kode yang berbeda. Kartu juga didistribusikan ke rumah sakit, seperti RSUD Abepura 12.623 kartu, RSUD Yowari 11.743 kartu, dan RSUD Dok II Jayapura 20.197 kartu.
Buku Giyai juga mencatat sepanjang 2014 hingga 2018 sekitar Rp1,7 triliun dana KPS telah digunakan untuk memberikan pelayanan bagi pasien OAP.
Pertengahan 2018 muncul informasi Kartu Papua Sehat akan dihentikan pada tahun berikutnya. Solusinya, peserta KPS akan dialihkan menjadi peserta JKN-KIS (Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat), salah satu program layanan BPJS Kesehatan. Jubi mengutip pernyataan anggota Komisi IX DPR RI Robert Rouw di Kota Jayapura pada 12 Juli 2018. Rouw saat itu mengimbau masyarakat Papua untuk segera mengurus KIS atau BPJS Kesehatan, karena KPS akan dihilangkan pada 2019. Karena pendaftaran KIS atau BPJS menggunakan KTP elektronik, Rouw juga mengimbau masyarakat Papua untuk segera mengurus KTP elektronik.
Kabar penghapusan KPS semakin menguat setelah pemerintah menetapkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua (UU Otsus Papua Baru) pada 19 Juli 2021. Salah satu perubahan signifikan dalam undang-undang baru itu adalah pemerintah pusat mentransfer langsung dana Otsus kepada pemerintah kabupaten/kota, bukan lagi kepada pemerintah provinsi. Akibatnya, Pemprov Papua tidak lagi biasa membiayai program lintas kabupaten/kota seperti Kartu Papua Sehat.
Namun program KPS ternyata masih berjalan hingga 2022. Pada 31 Januari 2023 sekretaris Direktorat Jenderal Bina Keuangan Daerah, Kementerian Dalam Negeri mengirimkan surat kepada Pemprov Papua berisi permintaan data Kartu Papua Sehat. Data tersebut dikirimkan Sekretaris Daerah Pemprov Papua Ridwan Rumasukun atas nama gubernur pada 9 Februari 2023 perihal Penyampaian Data KPS.
Data tersebut memuat jumlah pasien KPS selama empat tahun (2019-2022) di sejumlah rumah sakit dan klinik per kabupaten. Data per kabupaten-kota itu telah dikelompokkan dalam empat provinsi, Provinsi Papua dan tiga provinsi baru. Data juga mencantumkan anggaran yang telah dikeluarkan selama empat tahun itu.
Data itu mencatat, pada 2019 jumlah penduduk yang berobat dengan KPS sebanyak 317.603 orang. Pada 2020 sebanyak 266.077 orang, 2021 sebanyak 256.032 orang, dan 2022 sebanyak 315.693 orang. Total jumlah pasien yang menggunakan KPS selama empat tahun itu adalah 1.155.405 orang.
Jubi belum mendapatkan data lima tahun awal, periode 2014 hingga 2018. Namun jika merujuk pernyataan kepala Dinas Kesehatan Provinsi Papua bahwa pasien yang dilayani KPS pada tiga tahun awal sebanyak 3,9 juta orang, maka pasien periode 2019-2022 ini tidak sampai setengahnya.
Sedangkan dana yang telah digelontorkan untuk seluruh layanan untuk peserta KPS (di wilayah Papua, Papua Pegunungan, Papua Tengah, dan Papua Selatan) pada 2019 sebanyak Rp272,37 miliar, 2020 sebanyak Rp190,16 miliar, 2022 sebanyak Rp231,77 miliar, dan 2022 sebanyak Rp296,96 miliar.
Setengah penduduk belum ber-KTP
Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Papua dr Robby Kayame SKM M Kes menjelaskan Kartu Papua Sehat merupakan program yang sesuai dengan vis-misi Gubernur Papua Lukas Enembe dan wakil-nya, almarhum Klemen Tinal. Selama kepemimpinan Enembe-Tinal (dua periode sejak 2013), mereka menyiapkan anggaran yang besar untuk mengimbangi program jaminan kesehatan pemerintah pusat yang berlaku nasional yang dikelola BPJS. Alasannya, BPJS Kesehatan tidak bisa menanggung semua kebutuhan Orang Asli Papua.
“Masyarakat Papua berbeda dari masyarakat di daerah lain, kalau pergi berobat, mama, bapa, saudara juga ikut, sehingga dalam rujukan KPS itu kelebihan-kelebihan juga ditanggung,” katanya.
Selain itu, jelas Kayame, KPS juga menanggung biaya transportasi, biaya rujukan, penyediaan peti mati jika pasien meninggal, pengobatan korban kasus kekerasan dalam rumah tangga, dan korban kecelakaan akibat pertikaian.
“Itu bisa dibiayai melalui KPS. Bahkan klinik-klinik yang ada di wilayah pedalaman, seperti milik gereja dan swasta, semuanya bisa dibiayai lewat progam KPS,” ujarnya.
Menurut Kayame, sejak KPS bergulir pada 2014, setiap tahun Rp5 miliar sampai Rp10 miliar anggaran kesehatan diberikan ke setiap rumah sakit regional yang ada di Papua. Anggaran itu untuk mempermudah dan meminimalisir keluhan pihak rumah sakit ketika orang Papua datang berobat. “Jadi manfaat KPS sangat terasa bagi orang Papua,” katanya.
Menurut Kayame program KPS tidak akan berlanjut lagi di Papua. Karena itu, dalam dua tahun terakhir, 2022 dan 2023, Dinas Kesehatan dan Dinas Sosial Provinsi Papua bekerja keras untuk mengintegrasikan KPS kepada program JKN yang dikelola BPJS Kesehatan. Salah satu caranya adalah mengupayakan agar semua orang Papua memiliki Nomor Induk Kependudukan (NIK).
Namun NIK merupakan masalah yang besar di Papua, karena masih banyak penduduk yang belum memiliki NIK. Padahal NIK menjadi syarat utama kepesertaan JKN.
Meski begitu BPJS Kesehatan mengklaim seluruh provinsi di Tanah Papua sudah mencapai cakupan kesehatan semesta atau Universal Health Coverage (UHC). Artinya, 95 persen penduduk di Provinsi Papua, Papua Tengah, Papua Selatan, Papua Pegunungan, Papua Barat, dan Papua Barat Daya, sudah terlindungi dan menjadi peserta program JKN.
Hanya saja, menurut Kayame, faktanya, 41 sampai 50 persen penduduk di Provinsi Papua masih belum memiliki KTP, meskipun mereka secara sistem telah terdaftar menjadi peserta JKN. Kondisi ini, katanya, membuat hak mereka otomatis hilang ketika ingin berobat ke rumah sakit manapun.
“Ini yang sedang kami komunikasikan dengan pemerintah daerah dan pusat, bagaimana masyarakat Papua yang belum memiliki KTP, minimal mengetahui nomor NIK-nya, supaya tidak ada alasan bagi BPJS untuk tidak membayarkan karena anggaran kesehatan sudah diberikan seluruhnya,” katanya.
Kayame terlihat lesu menanggapi ketika ditanya tentang dana Otsus bidang kesehatan yang kini langsung ditransfer oleh pemerintah pusat kepada pemerintah kabupaten dan kota. Peralihan itu menyebabkan jaminan kesehatan orang Papua kini menjadi tanggung jawab masing-masing kabupaten dan kota.
“Silahkan ditanyakan ke sana (pemkab dan pemkot-red), apakah 20 persen dana kesehatan yang asalnya dari dana Otsus ada diperuntukan khusus untuk jaminan kesehatan orang Papua atau tidak? Sekarang semua tergantung visi-misi dari para bupati dan wali kota,” ujarnya.
Dokter Kayame menaruh harapan besar agar anggaran kesehatan yang diberikan melalui BPJS bisa benar-benar dimanfaatkan masyarakat, khususnya OAP. Ia mengingatkan jangan sampai setiap orang Papua tidak mendapat jaminan kesehatan.
“Yang jadi soal ketika ada masyarakat atau mahasiswa Papua yang sakit lalu meninggal dan jauh dari tempat asalnya. Pembiayaan transportasi dan peti jenazahnya itu bagaimana, sebab KPS sudah tidak ada lagi,” ujarnya.
Tawaran solusi: BPJS khusus
Ketua Komisi V DPR Papua Kamasan Jack Komboy mengatakan perubahan UU Otsus Papua Baru bagi Provinsi Papua akan terasa sekali, khususnya di bidang pendidikan dan kesehatan.
Khusus di bidang kesehatan, kata Komboy, dengan tidak dilanjutkannya program KPS, siapapun orang Papua diharuskan memiliki NIK atau e-KTP untuk bisa menjadi peserta JKN-KIS. Persoalannya, baru sekitar 80 hingga 90 persen penduduk Papua yang sudah melakukan perekaman e-KTP. Sedangkan sisanya, yaitu umumnya penduduk di wilayah Papua Pegunungan dan Papua Tengah, masih ada yang belum melakukan perekaman.
“Dampak perubahan itu akan sangat terasa karena KPS tidak berbicara terkait NIK, e-KTP, atau Kartu Keluarga. Artinya, orang Papua siapapun dia sudah dianggarkan dalam anggaran Otsus untuk mendapatkan fasilitas layanan kesehatan secara gratis. Ini jelas akan berimbas bagaimana untuk memiliki kartu JKN-KIS. Ini yang menurut saya akan menimbulkan masalah baru,” ujarnya.
Menurut Komboy perlu ada semacam BPJS khusus yang berlaku di daerah khusus seperti Papua. Artinya, harus ada jaminan kesehatan yang fleksibel seperti Kartu Papua Sehat. Sebab lewat KPS semua yang dibutuhkan orang Papua terpenuhi alias “no limit” (tanpa batasan). Sementara pada BPJS ada belasan item yang tidak di-cover atau ditanggung. Ini menurutnya akan menjadi masalah ketika orang Papua datang berobat ke rumah sakit.
“Komisi V pernah berbicara dengan Deputi BPJS, makanya kami sementara berkoordinasi dengan pemerintah pusat, dan pada prinsipnya mereka (pusat) tidak ada masalah, hanya mereka meminta untuk bagaimana mengubah regulasinya sehingga bisa fleksibel di daerah-daerah khusus,” ujarnya.
Menurut Komboy, dampak hilangnya KPS mulai dirasa warga Papua, meskipun jumlahnya tidak sampai puluhan. Masalah itu menurutnya ada sehingga rumah sakit membutuhkan jaminan agar tetap bisa melayani dan merawat pasien. Sebab kalau tanpa jaminan, rumah sakit tidak bisa melaksanakan proses itu.
“Persoalan ini, beberapa kami (Komisi V) temukan terjadi di RSUD Jayapura dan RSUD Abepura. Kalau hari ini kan dampaknya apabila seseorang tidak memiliki jaminan kesehatan, maka akan dianggap pasien swasta,” ujarnya.
Karena itu, menurut Komboy, perlu ada regulasi khusus yang mengatur beberapa item yang sebelumnya ada di KPS, juga bisa tercover BPJS Kesehatan. Sambil menunggu regulasi khusus tersebut, ia berharap masing-masing pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten, dan kota di Papua mulai saat ini memikirkan bagaimana mengalokasikan anggaran khusus untuk kesehatan.
“Anggaran Otsus sekarang ada pada kalian pemerintah provinsi, kabupaten, dan kota, kenapa kalian tidak bikin semacam jaminan kesehatan untuk masyarakat sehingga di manapun orang Papua berobat dibiayai sepenuhnya oleh pemerintah,” ujarnya.
Cara lain, kata Komboy, segera lakukan kerja sama dengan rumah sakit rujukan yang ada sehingga siapapun yang berobat berdasarkan perjanjian atau MoU yang sudah dilakukan.
“Jadi mereka tetap akan terlayani kesehatannya,” katanya.
Program KPS tetap ada, tapi jauh berkurang
Sekretaris Dinas Kesehatan Provinsi Papua dr Aaron Rumainum mengatakan setelah Otsus Jilid II pemerintah provinsi di Tanah Papua memiliki kedudukan yang sama dalam hal penerimaan besaran dana Otsus dari pemerintah pusat. Dana juga langsung ditransfer ke masing-masing kabupaten dan kota.
Selain itu, katanya, semua program sekarang harus dengan proposal. Jika pelaporan penggunaan anggaran Otsus bagus, maka alokasinya bisa ditambah oleh pemerintah pusat.
“Tetapi jika kinerja dan laporannya tidak bagus maka akan dikurangi,” kata Rumainum kepada Jubi, Selasa (4/7/2023).
Menurut Rumainum, program Kartu Papua Sehat (KPS) tetap ada. Program tersebut dijalankan Pemprov Papua tapi disesuaikan dengan keadaan anggaran yang sudah berkurang sangat jauh. Dulu dengan anggaran Otsus Papua bisa Rp16 triliun, maka Pemprov Papua bisa menganggarkan untuk KPS Rp500 miliar dan Rp250 miliar dibagi kepada pemerintah kabupaten dan kota.
“Sekarang dana KPS hanya Rp1,5 miliar yang ditaruh di satu rumah sakit swasta, yakni Rumah Sakit Dian Harapan Waena, Kota Jayapura [sebagian besar] untuk membayar utang 2022 sebesar Rp997 juta,” katanya.
Berkurangnya dana KPS dalam jumlah yang sangat besar mulai 2023, selain karena sebagian dari 29 kabupaten/kota di Provinsi Papua sudah masuk ke tiga provinsi baru, juga karena kabupaten dan kota di Provinsi Papua sudah UHC (Universal Health Coverage). Artinya, lebih dari 95 persen penduduk di kabupaten atau kota itu sudah terdaftar sebagai peserta BPJS Kesehatan.
Menurut Rumainum situasi yang dihadapi Provinsi Papua sekarang berbeda dari 2014, saat program KPS dibuat. Sekarang, selain UHC atau jangkauan BPJS Kesehatan yang sudah tinggi, Provinsi Papua, Provinsi Papua Tengah, dan Provinsi Papua Pegunungan kemungkinan sudah sampai kepada tahapan hanya dengan NIK (Nomor Induk Kependudukan) saja penduduknya sudah bisa dijamin oleh BPJS dengan persyaratan yang berlaku.
Hal ini menurutnya tantangan bagi KPS ketika berhadapan dengan BPJS Kesehatan, selain karena BPJS terlalu kuat asuransinya.
“Kartu itu masa lalu. Semua orang harus berubah menjadi lebih baik. Kalau dulu dia menikmati KPS Rp250 miliar, dia harus tahu sekarang Otsus Jilid II. Artinya, semua hal tidak bisa dipaksakan dengan kondisi saat ini, apalagi menuntut KPS,” ujarnya.
Kemudahan kepesertaan BPJS Kesehatan tanpa kartu itu, kata Rumainum, tidak berlaku untuk Kabupaten Waropen, karena Waropen masih memiliki tunggakan dan enggan untuk membayarnya.
Sedangkan Provinsi Papua juga memiliki tunggakan kepada BPJS Kesehatan. Namun ketika dulu Provinsi Papua saat ingin membuat 29 kabupaten/kota bisa UHC menyumbang Rp2.100 x 3 juta orang x 12 bulan yang jumlahnya dulu Rp60 miliar.
“Tapi kini setelah DOB (Daerah Otonomi Baru) hanya menyumbang Rp2.200 x 600 ribu orang x 12 bulan yang jumlahnya mencapai Rp17 miliar, tetapi menurut BPJS hanya Rp13 miliar setahun,” katanya.
Ia menyebutkan Kementerian Dalam Negeri mewajibkan Provinsi Papua menyumbang dana kepesertaan BPJS Kesehatan karena pemerintah pusat membayar Rp38 ribu per penduduk, sedangkan Provinsi Papua hanya Rp2.200.
Sampai di sini, kata Rumainum, untuk kepesertaan penduduk Provinsi Papua di BPJS Kesehatan sudah ada kemajuan. “Bagaimanapun itu harus kita akui, karena [dengan BPJS Kesehatan] biaya terkendali, mutu terkendali, laporannya jelas, akuntabilitasnya dinilai BPK (Badan Pemeriksa Keuangan), dan pelaporannya wajar tanpa pengecualian,” ujarnya.
Aaron Rumainum meminta daerah lain di Provinsi Papua belajar dari apa yang dilakukan Kepala BPJS Cabang Wamena dr Frida Imbiri yang mau bekerja sama dengan Dinas Kesehatan dan Dinas Kependudukan sehingga bisa menolong Pemerintah Provinsi Papua Pegunungan membayar Rp36 ribu per orang untuk pasien asal Kabupaten Yahukimo dan Pegunungan Bintang sehingga bisa mendapat pelayanan kesehatan yang baik.
Caranya pemerintah manaruh uang di BPJS Kesehatan sebesar Rp36 ribu x 47 ribu orang x 12 bulan. Jadi kalau ada penduduk dari dua kabupaten itu datang berobat ke Kota Jayapura tetapi belum memiliki NIK, pihak rumah sakit bisa langsung menghubungi beliau [dr Frida Imbiri] agar bisa diterbitkan NIK. Dengan begitu warga itu bisa ditanggung biaya kesehatannya dengan BPJS Kesehatan.
“Kalau Provinsi Papua Pegunungan saja bisa seharusnya Provinsi Papua, Provinsi Papua Selatan, dan Provinsi Papua Tengah bisa. Tidak ada cerita tidak bisa,” katanya.
Solusi lain: KPS setelah BPJS
Aaron Rumainum menjelaskan Pemerintah Provinsi Papua, dalam hal ini Dinas Kesehatan Provinsi Papua, masih mempertahan program KPS karena untuk membiayai orang-orang yang tidak bisa dibiayai oleh BPJS Kesehatan. Hanya saja, sekarang dengan anggaran yang tidak besar dan hanya melibatkan Rumah Sakit Dian Harapan dan beberapa klinik yang ada di provinsi induk.
“Meskipun demikian, intinya harus ada NIK dulu, kemudian BPJS, lalu ketiga KPS. Mekanismenya seperti itu dulu biar tidak bikin bingung,” ujarnya.
Ia berharap provinsi lain juga melakukan hal yang sama, yakni membuat program kesehatan, karena itu merupakan amanat dari Undang-Undang Otsus. Sebab, tidak semua pembiayaan bisa dijamin oleh BPJS, seperti kasus akibat kerusuhan, kekerasan seksual, kejadian yang disengaja, dan kejadian luar biasa.
“Kota Jayapura sudah anggarkan Rp7 miliar, begitu juga dengan Kabupaten Sarmi, Kabupaten Keerom, dan Kabupaten Biak Numfor. Intinya 29 kabupaten/kota di Papua harus membuat program seperti KPS, sebab sekarang dana Otsus sudah langsung ke daerah. Masa tidak mau, padahal sudah terima dana Otsus besar-besar,” ujarnya.
Rumaiunum sepakat jika anggaran KPS juga disalurkan ke RSUD Dok 2 Jayapura, RSUD Abepura, dan RS Jiwa Abepura. Tetapi kalau rumah sakit lainnya juga meminta, menurutnya, itu merupkan hal yang tidak mungkin, sebab anggaran sudah tidak ada.
“Saya harap tiga provinsi baru di Papua ini juga bisa bekerja sama dengan rumah sakit yang ada di Kota Jayapura, Dinas Kesehatan, dan Dinas Kependudukan agar jika ada penduduknya yang belum memiliki NIK bisa langsung terlayani dengan baik. Intinya, pemerintah daerah juga memiliki kewajiban untuk menjamin warganya,” katanya. (*)
Untuk melihat lebih banyak content JUBI TV, click here!