Jayapura, Jubi – Lapak baca Jayapura prioritaskan dua program penting. Kedua program penting itu antara lain menulis referensi buku juga pembacaan situasi di Papua dan lapak baca pada setiap hari Kamis di Padang Bulan Jayapura.
Menulis referensi buku juga tulis pembacaan situasi di Papua Lapak baca dan lapak baca ini, dilakukan di bawah naungan Yayasan Greend Papua Community Jayapura.
Tonny Ukago juga sebagai Anggota Yayasan Greend Papua Communty katakan, kerjasama antara Greend Papua dan Komunitas Lapak Baca cukup baik.
“Kerja sama Yayasan Greend Papua dan lapak baca sudah cukup baik dalam bentuk donasi buku juga dalam hal komunikasi,” jelas Tonny Ukago kepada wartawan jubi. Kamis, (14/09/2023)
Sejauh ini, kata Ukago, komunitas lapak baca konsisten diskusi banyak sudut pandang. Mulai dari pandangan demokrasi seperti dalam buku Jalan Panjang Menuju Kebebasan, Surat-Surat dari Bawah Tanah dan lain-lain oleh Nelson Mandela, ada juga buku-buju dari Karl Marx. Selain Filsafat, lapak baca juga konsisten diskusi tentang nasionalisme dalam negeri maupun dunia Barat.
Ditengah kekurangan literasi, Komunitas Lapak Baca terus lakukan baca buku gratis setiap hari Kamis. Selain lapak baca, Komunitas literasi ini juga konsisten terbitkan hasil tulisan cerpen, puisi, prosa, juga esai dalam bentuk buletin satu bulan sekali.
“Setiap hari Kamis tetap lakukan lapak baca. Bebas buku apa saja baca. Tapi kami juga biasa terbitkan butelin. Namanya Koran Kejora. Sekarang sudah edisi ke-sebelas, ” kata Ukago.
Untuk edukasi kepada anak muda di Papua, Komunitas lapak baca juga kerjasama baik dengan Ikatan Pelajar Mahasiswa Nabire Paniai, Dogiyai, Deiyai, atau IPMANAPANDODE di Yogyakarta.
“Beberapa buku akan tiba dalam waktu dekat. IPMANAPANDODE sudah donasikan buku. Mereka sudah kirm, jadi nanti ada buku tambahan. Mereka juga akan kirim buku ke Nabire, karena Nabire juga ada lapak baca,” katanya.
Secara terpisah, Fredy Tebai juga penulis buku “Rintihan Hati yang Merana” Novel diterbitkan oleh penerbit Pena Baswara Publisher Bandung (2022) menambahkan, kurangnya minat baca di Papua sehingga sejumlah cerita rakyat, sejarah, dongeng masih tertahan dengan sastra lisan.
“Saya sebagai guru Bahasa dan Sartara, saya ikuti perkembangan sastra di Papua. Saya juga mengajar sastra Inggris di SMA YPK Tabernakel Nabire. Maka saya menilai minat baca dan tulis anak muda di Papua sangat kurang.” katanya.
Maka dari itu, kata penulis ini, agar literasi di Papua cukup baik, Pemerintah harus perhatikan terhadap literasi non formal. (CR-12)